Hukum bukan merupakan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan yang akan harus membawa kita kepada ide yang dicita-citakan.[1]
Apabila kita berpegangan apa yang dikatakan di atas, maka kita perlu terlebih dahulu mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia.
Baru setelah diketahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, dapatlah dicari sistem hukum yang bagaimana yang dapat membawa rakyat kita keaerah masyarakat yang dicita-citakan itu, dan politik hokum yang bagaiman yang dapat menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki itu.
Namun demikian, politik hukum itu tidak terlepas dari pada realita social dan tradisional yang terdapat di negara kita, dan dipihak lain, sebagai salah satu anggpta masyarakat dunia, politik hukum Indonesia tidak terlepas pula dari realita dan politik hukum internasional.
Dengan demikian factor-faktor yang akan menentukan politik hukum nasional itu tidaklah semata-mata ditentukan oleh apa yang dicita-citakan, atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan oleh perkembangan hukum dilain-lain negara, serta perkembangan hukum internasional. Dengan lain perkataan ada factor-faktor diluar jangkauan bangsa kita, yang ikut menentukan politik hukum masa kini dan di masa yang akan datang.
Setelah beberapa pertimbangan di atas, baiklah kini kita meninjau masalah perspektif politik hukum nasional itu secara lebih mendalam.
A. Tentang Masyarakat yang Dicita-citakan
Pembukaan Undang-undang 1945 alinea keempat menyatakan, bahwa tujuan pembentukan negara RI adalah:
- Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.;
- Memajukan kesejahteraan umum;
- Mencerdaskan kehidupan bangsa;
- Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Semua itu harus dicapai berdasarkan filsafah Pancasila “idaman masyarakat adil dan makmur dalam kehidupan bangsa Indonesia merupakan maslah pokok sepanjang sejarah”[2]
Dengan demikia, rakyat Indonesia hendak mencapai masyarakat yang adil dan makmur secara merata itu dengan mengikuti “de gulden midenweg” dengan menghindari perbedaan-perbedaan yang menyolok dan cara-cara yang ekstrim.
Akibatnya, kita menolak mencapai keadilan dan kemakmuran itu melalui cara yang dianggap tepat oleh paham kapitalisme, komunisme, ataupun cara-cara yang fanatic, religius.
Ketiga cara ini merupakan paham yang ekstrim, oleh karena kapitalisme mengagap bahwa manusia perorangan (individu) adalah yang paling penting, komunisme mengagap masyarakat yang terpenting di atas segala-galanya,sedang aliran fanatic dan religius melupakn realitas bahwa manusia hidup di duania ini, dimana ia harus bergulat untuk mempertahankan hidupnya (survice).
Maka politik hukum lita pasti tidak akan menggnakan cara-cara kapitalis, kominis maupun panatik religius, apalagi karena komunis sendiri di Socviet risia dan lain-lain Negara komunis sudah semakain pudar, bahkan sedah terbukti kegagalannya membawa keadilan dan kemakmuran dalam masyarakat yang menganutnya
Politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal negara . tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan, pertama adalah sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh penerintah untuk menciptakan suatu system hukum nasional yang dikehendaki, kedua dengan system hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar. Mengenai dua hal diatas lebih jelasnya sebagai berikut.
Sistem hukum nasional terbentuk dari dua istilah, sistem dan hukum nasional. Sistem yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari beberapa bagian, atau hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur.
Dalam kamus besar Indonesia, kata system memiliki toiga macam arti. Di antara tiga arti tersebut, arti pertama tampaknya sesuai dengan permasalahan, yaitu kelompok atau bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud,. Seperti system pemerintahan. Dari pengertian diatas, kita dapat memahahami dan mendefenisiskan bahwa yang dimaksud dengan system adalah himpinan unsure yang melakukan suatu nkegiatan atau menysusn suatu skema atau tata cara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan, untuk mencapai suatu tujuan.[3]
Adapun hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideology dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945, atau hukum yang dibangun diatas kreativitas atau aktivitas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu, hukum nasional sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan ber kembang sekarang. Dengan perkatan lain, hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi semua rakyat Indonesia.
Dalam rangka membangun sistem hukum nasional itu pemerintah menetapkan kebijakan untuk memanfaatkan tiga sistem hukum yang eksis di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, Islam dan Barat (Belanda) sebagai bahan bakunya. Pada era colonial tiga system hukum itu kerap diperhadapkan sebagai sistem-sitem hukum yang bermusushan. Kondisi konflik itu tidakj terjadi secara alami tetapi sengaja diciptakan oleh pihak penjajah. Menu rut Busthanul Arifin, konflik-konflik hukum mengandun g arti konflik-konflik nilai-nilai social budaya yang timbul secara wajar. Kalau ada pertemuan antara dua atau lebih nilai sistem yang asing bagi suatu masyarakat, akan selalu selesai dengan wajar. Karena setiap masyarakat mempunyai daya serap dan daya penyesuaian tergadap konflik-konflik sistem nilai tersebut. Namun, kalau konflik sistem nilai itu ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-kadang dengan cara artifisil sesuai dengan kebutuhan politik colonial waktu itu, sulitlah menghapuskan konflik-konflik itu secara memuaskan. Itulah sebabnya Indonesia dalam tahap pembangunan hukum nasional masih dalam tahap mencari-cari konsep hukum nasional yang akan benar-benar dapat menunjang segala usaha serta harapan bangsa yang sedang berbenah.[4]
Analisis Busthanul Arifin tersebut dapat dimengerti, karena terbukti kendati pihak colonial hengkang dari bumi nusantara tetap saja suasana konflik tiga sistem hukum itu terjadi. Masih ada kecenderungan para ahli hukum memepertentangkan ketiganya, bahkan mengunggulkan satu atas yang lain, tanpa berusaha untuk mencari titik temu. Bagi mereka yang mempelajari hukum adat lebih menonjolkan pemikiran hukum adatnya, bagi mereka yang mempelajari hukum Islam lebih menonjolkan hukum Islamnya dan bagi mereka yang mempelajari hukum barat lebih menonjolkan pemikiran hukum baratnya.
Kondisi itu tentu saja tidak sehat bagi proses pembangunan sistem hokum nasional yang baik. Selain juga berspektif epistemology kita belum memiliki apa yang disebut sebagai ilmu hukum nasional atau teoritisasi hukum Indonesia. Padahal kita amat memerlukannya sebagai landasan teoritasuntuk merumuskan dan menyususn hukum yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia, karena kita tidak mungkin selamuanya memanfaatkan teiri-teori hokum yang berasal dari barat. Sebab setiap ilmu pengetahuan hukum selalu bersifat local atau nasional. Tidak ada ilmu pengetahuan hukum yang bersifat universal. Artinya sesuai dengan sifat ilmu yang tidak bebas nilai (non-value free), maka diatas landasan nilai (value), pandangan dunia dan norma yang diyakini masyarakat dimana teori hokum itu disusun. Karena ilmu hukum yang kita pelajari di pendidikan tinggi hukum merupakan warisan Belanda, dapat dipastikan ilmu hukum sarat dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat Eropa ketika itu.
Dari elaborasi singkat di atas tampak bahwa antara ilmu hukum nasional dan hukum nasional memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya berkelindan satu sama lainkarena aspek pertama (ilmu hukum nasional) merupakan landasan teoritis bagi perumusan dan pengembangan aspek yang kedua (hukum nasional). Ini berarti, pilihan dan corak “sistem hukum nasional yang dikehendaki” untuk diterapkan dalam negara Republik Indonesia, sangat ditentukan oleh ilmu hukum macam apa yang digunakan.
Dari penjelasan diatas, terungkap bahwa jita belum memiliki sistem hukum nasional yang representative. Namun, itu bukan berarti pula bahwa idealitas tentang “sistem hukum nasional yang dikehendaki” itu tidak turut untuk didiskusikan. Tentang hal ini sebenarnya tidak kurang pemerintah dan pihak kampus telah mengadakan ragam pertemuan ilmiah yang berskala local dan nasional guna merumuskannya atau bahkan para ahli hukum sendiri. Dalam hal ini Arief Sidharta mengusulkan, tatanan hukum nasional Indonesia harus mengandung ciri:
§ Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;
§ Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
§ Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
§ Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran, rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
§ Aturan procedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
§ Responsive terhadap peekembangan aspirasi dan ekspektasi mayarakat.
Senada usulan di atas adalah hasil seminar tentang hukum nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, yang setelah dibukukan berjudul Identitas Hukum Nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun haruslah:
1) berlandaskan Pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konstitusional);
2) berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban social, mendukung pelaksaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan.
Dua kutipan di atas dapat membantu kita dalam memperkirakan bagaimana sebenarnya sosok “sistem hukum nasional yang dikehendaki” itu. Dalam rangka mewujudkan cita hukum ideal itu tentu tidak mudah. Diperlikan rumusan yang jelas dari politik hukum nasional dari kinerja yang sistematik dari komponen-komponen sistem hukum yang ada.
B. Tradisi dan Realita Sosial di Negara Kita
Menoleh kepada realita sosial dan tradisi di negara kita dapatlah dikatakan, bahwa secara ekonomis masyarakat kita pada tahun 1966 masih merupakn suatu masyarakat agraris yang sejak 25 tahun terakhir ini secara bertahap mencoba mengubah strukturnya menjadi struktur ekonomi yang lebih modern melalui industrialisasi. Hal ini tercermin pula dan rencana-rancana pembangnan lima tahun pertama sampai kelima yang mengatakan bahwa:[5]
- Repelita pertama meletakkan yiyik berat pada sektor pertanian dan industri yang mendukung sector pertanian;
- Repelita Kedua meletakkan titik berat pada sector pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
- Repelita ketiga meletakkan titik berat pad sector pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi.
- Repelita keempat masih meletakkan titik berat pada sewktor pertanian tetapi dengan meningkatkan industri yang dapat meghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun industri ringan.
- Repelita kelima sector pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya. Sector industri, khususnya industri yang menghasilkan untuk ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian serta industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.
Secara sosial mesyarakat kita dapat dikatakn mengalami perkembangan kedua arah yang saling bertentangan. Disatu pihak masyarakat kita masih bercorak feudal atau neo feudal, oleh karena dalam suasana kemerdekaan sekarang inisecara kenegaraan tidak lagi diakui eksistensi raja-raja di kepualuan Indonesia.sekalipun dengan demikian corak feodalistis yang telah berubah menjadi suasana demokratis dalam 20 tahun sejak proklamasi kemerdekaan, berangsur-angsur berubah kembali menjadi neo feodalistis melalui penggalian nilai-nilai keratin yang tradisional dan usaha menelusuri asal usul pribadfi daeri keturunan bangsawan.
Dengan kata lain, dalam 20 tahun terakhir ini secara sosial keadaan hierarki atau tinggi rendah lebih diperkuat daripada kesadaran persamaan dan kesamaan, sekalipun kita telah menolak mentah-menrah pengertian “kelas” dalam filsafah kapitalis maupun komunis.
Tidaklah mengherankan, maka Mokhtar Lubis menganggap manusia Indonesia masa kini itu manusia munafik, oleh karena disatu pihak mendengung-dengungkan bersamaan dan demokrasi, akan tetapi dalam kehidupan sehari-sehari memupuk perbedaan status dan membentuk sekat-sekat sosial yang sulit diterobos oleh orang luar.[6]
Dilain pihak tidak dapat disangkal pula, bahwa sebagai akibat pembangunan ekonomi, taraf hidup sebagian penduduk Indonesia mengalami perbaikan dan peningkatan. Derasnya keinginan untuk memasuki universitas-universitas merupakan bukti, bahwa pendidikan tinggi tidak lagi hanya tersedia bagi anak-anak bangsawan, usahawan dan akademis saja. Akan tetapi dalam hamper setengah abad bangsa kita merdeka sesudah puluhan, kalau bukan ratusan ribu anak-anak desa yang pernah menikmati pendidikan tinggi, sehingga kini menjadi sarjana, atau perwira yang menduduki jabatan dan menikmati gaya hidup yang dulu tidak mungkin menjadi impian petani, anak buruh atau anak seorang pegawai rendahan.
Sebaliknya, cukup banyak ana-anak akademisi atau bengsawan ayng tidak kebagian tempat atau tidak mampu menikmati pendidikan tinggi, sehingga pola dan gaya hidupnya justru dalam alam kemerdekaan ini secara ekonomis dan sosial menurun, dibandingkan dengan orang tuanya.
Mungkin perkembangan inilah yang dapat menerangkan mengapa kini di negara kita, banyak orang yang berasal dari keluarga miskin atau sederhana, tetapi kini trermasuk golongan kaya atau mendapat jabatan penting, ingin meniri kehidupan keratin atau kehidupan orang-orang Belanda di masa Hindia Belanda, sebagaimana dikenalnya dari cerita-certa orang tuanya.
Bagaimana pun juga ledakan permintaan ke sekolah-sekolah, terutama ke universitas yang disertai dengan urbanisasi, disamping hal-hal yang negative yang juga mengandung segi-segi positif, yaitu demokrasi sususnan dan corak masyarakat Indonesia.
Agaknya masyarakat kita memang masih memerlukan beberapa generasi lagi, agar supaya benar-benar dapat berkembang menjadi masyarakat yang demokratis secara hakiki.
Juga Prof. Koendjoroningrat dalam bukunya “Manusia dan Kebudayaan Indonesia” menilai bahwa “sikap mental sebagian besar dari orang Indonesia belum cocok untuk pembangunan”.
Adapun pengertian sikap mental menurut Koendjoningrat mengandung dua konsep yang dengan istilah ilimiah disebut “sistem nilai budaya” dan “sikap”. Sehingga perubahan mental paternalistik neofeodalistik ini harus diubah menjadi sitem budaya dan sikap yang lebih menunjang pembangnan.
Koendjoningrat menjelaskan selanjutnya, bahwa sistem nilai budaya yang cocok untuk pembangunan meliputi paling sedikit lima konsep:[7]
Pertama bahawa orang harus menilai tinggi sikap yang aktif dan bukan sikap yang fasif dan fatalistis terhadap hidup, dan bahwa kesengsaraan, bencana, dosa dan keburukan dalam hidup adalah untuk diperbaiki. Tidaklah tepat orang masih berpegangan pada anggapan seakan-akan rezeki itu dapat datang tanpa usaha yang nyata. Malahan alm pikiran orang menganggap seakan-akan hidup didunia fana ini adalah pada hakikatnya suatu ahal yang buruk, sehingga lebih baik mengingkari hidup dan melarikan diri kedalam alam kebatinan, sama sekali tidak menunjang pembangunan.
Kedua harus dinilai tinggi konsepsi bahwa orang mengintensifkan karya untuk menghasi lebih banyak karya lagi.Bahwa yang penting adalah peningkatan mutu karyanya,sehingga orang terus menerus akan berusaha untuk menyempurnakan karyanya. Kegembiraan dan kebanggaan berkarya tertuju pada karya itu sendiri, bukan berkarya semata-mata untuk mencari nafka dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang primer(sandang-pangan,papan), atau untukkedudukan atas kenaikan pangkat saja.
Ketiga orang harus merasakan suatu keinginan untuk dapat menguasai alam serta kaidah-kaidahnya.
Di Indonesia, menu rut koentjoroningrat konsep bahwa manusia itu harus dapat mencapai keselarasan dengan alam yang mengelilinginya, mengurangi keinginan manusia untuk menyelami dan mencapai pengertian tentang kaidah-kaidah alam. Padahal konsep inilah yang merupakan sumber kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan menuju industrialisasi.
Keempat orang harus dapat sebanyak mungkin berorientasi ke masa depan, tidak hanya memikirkan masa kini saja, atau seperti kebanyakan priyayi Indonesia “masih suka berorientasi ke masa yang lampau dan merindukan kekayaan nenek moyang zaman dahulu”
Orientasi ke masa depan ini sangat perlu untuk pembangunan karena sikap ini kecuali akan mendorong niat untuk menabung (dimana hasil tabungan rakyat yang akumulatif akan dapat menjadi modal untuk negara bagi pembangunan ekonomi),juga “mendorong orang untuk merencanakan hidupnya setajam mungkin,sampai sejauh mungkin ke masa yang akan datang.
Kelima dalam membuat keputusan orang harus bisa berorientasi kesesamanya (erspek pada sesama manusia), menilai tinggi kerja sama dengan orang lain, tanpa meremahkan kualitas individu dan tanpa menghindari tanggungjawab sendiri.
Dalam rangaka ini dikemukakan oleh Koendjoroningrat, bahwa masih ada sikap yang menghambat pembangunan, karena menghambat perkambangan individu dan meremehkan kualitas individu. Terutam kinsep memandang buruk, apabila seseorang menonjol yang merupakan salah satu aspek dari pranata gotong royong menjadi penghalang bagi manusia Indonesia unrtuk berkembang dan terus menerus menyempurnakan mutu karyanya, disebabkan oleh ejekan-ejekan dan tuduhan, masyarakat, bahwa ada orang yang mau maju sendiri.
Aebagaimana dikatakan Koendjoroningarat:
Pranata gotong royong di Indonesia terlampau bersifat menyamaratakan semua individu, kurang memberi kesempatan berkembang kepada individu-individu dengan kesadaran dan kepribadian yang khas adan kurang menghargai hasil karya individu.
Bahkan disamping itu perkembangan kepribadian individu juga terhambat oleh mental yang terlampau memandang kepihak atasan. Sikap ini kuat terdapat dikalangan pegawai sehingga orang juga tidak berani bertanggungjawab sendiri, tetap[I selau menyandarkan diri kepada orang tua atau orang yang lebih tinggi pangkatnya.
Jelaslah bahwa masih banyak sifat-sifat yang melekat kepada kepribadian Indonesia yang perlu diubah, agar supay benar-benar menjadi manusia pembangun. Perubahan nilai sikap ini sendiri merupakn bagian dari pembangunan dan merupakn proses yang akan makan waktu yang amat lama, karena perubahan itu terutama harus terleksana melalui pendidikan.
Namun demikian, kiranya prose situ dapat dipercepat melalui pembentukan (kaidah-kaidah) hukum yang mendorong sikap warga masyarakat kearah sikap yang lebih menunjang pembangunan.berhubungan dengan itu maka hukum juga merupakan suatu sarana pendidikan masyarakat.[8]
C. Realitas Hukum dan Pengembangan Hukum Nasional
Dalam menilai realitas hukum di negara kita tentang proses perkembangan masyarakat dari suatu masyarakat yang diatue oleh adat kebiasaan kemasyarakat negara yang diatur oleh hokum.
Menurud Diamond adat dan hukum merupakan siatem kaidah yang sifatnya saling bertentangan. Kebiasaan atau adat yang bersifat otonom dan spontan, sedang hokum merupakan suatu produk dari kekuasaan yang terorganisasi yang disebut Negara. Kebiasaan tidak diberi sanksi oleh suatu kekuasaan politik yqng terorganisir, sebaliknya sanksi yang sangat penting bagi pelaksanaan hukum.
Disamping itu hukum adat lebih tertuju pada sipelaku atau orang yang bersangkutan dengan segala aspek dan sifat-sifatnya yang khusus. Sedang hukum tertulis hanya tertulis dan terpusat pada perbuatannya, oleh karena hukum dimaksudkan berlaku secara umum.
Agaknya kenyataan bahwa ada kaidah-kaidah hukum adat yang secara diametral bertentangan dengan hukum nasional yang tertulis yang berakar pada hukum adat, atau bahkan memeperkuat hukum adat, menyebabkan mengapa dalam proses pembinaan hukum dewasa inikadang-kadang terasa dan terjadi pertentangan antara hukum adat dan hukum baru. Tetapi kadang kala pula hukum baru itu justru memperkuat hukum adat.
Hal yang pertama terjadi misalnya dalam bidang hukum tanah, setelah diundangkannya undang-undang pokok agrarian dan yang kedua dalam hal pengangkatan anak dan kemampuan bertindak seorang istri didepan pengadilan.
Jadi dalam proses perkembangan hukum baru tidak semua kaidah hukum baru bertentangan dengan hukum yang lama. Demikian pula tidak semua kaidah hukum nasional harus dan akan bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum colonial. Sebab dal;am membina suatu masyarakat selau ditemukan syarat-syarat dan nilai-nilai yang harus dipegang teguh oleh semua lingkungan masyarakat, apalagi karena dalam proses perubahan dari hukum colonial menjadi hukum nasional yang diatur itu adalah masyarak Indonesia yang berdiam dikepulauan nusantara juga, maka tidaklah mengherankan apabila da nanti ada unsur-unsur yang sama dalam hukum nasional yang sudah ada dalam hukum adat ataupun didalam hukum colonial.
Akan tetapi, karena bentuk organisasi masyarakat, ideologi negara, kurun waktu dan suasana dunia internasional dimasa kini dan dimasa yang akan datang berbeda dengan bentuk organisasi kemasyarakatan, ideologi negara dan suasana dunia internasional dimasa yang lampau, mustahil pula hukum nasional itu hanya diharapkan melanjutkan kaidah-kaidah hukum adat, apalagi kaidah-kaidah hukum colonial itu.
Disinilah terletak tantangan kepada generasi sarjana hukum masa kini dan masa mendatang untuk dapat menemukan bentuk dan isi hukum nasional kita.
D. Realitas Dunia Internasional
Corak negara-negara maju dewasa ini ditandai oleh perubahan dari suatu masyarakat industri dalam mana bagian terbesar daripada angkatan kerja terlibat dalam kegiatan produksi barang kemasyarakat post-industri atau masyarakat jasa.[9]
Menurut Daniel bell pada saat ini Amerika hanya 30% dari angkatan kerja terlibat dalam kegiatan produksi barang. Itupun hanya 17% yang benar-benar secara langsung merupakan buruh, yang 13% merupakan pegawai-pegawai pemasaran. Dengan demikian sebenarnya 83% (70% + 13%) dari angkatan kerja Amerika bekerja dalam bidang jasa.
Bagi suatu negeri agrarian tanah, air, hewan dan tenaga manusia merupakan unsure-unsusr yang paling penting, sedang untuk suatu masyarkat industri uang, teknologi, mesin, tenaga manusia, energi batubara, minyak dan gas, bentuk perusahaan dan kontraktorlah yang merupakan factor-faktor yang sangat menentukan.
Sehubungan dengan itu dalam suatu negeri agrarian hukum tanah, hukum keluarga dan hukum waris adalah sangat penting, sedang bagi negara industri hukum kekayaan terutama hak milik, hukum kontrak, hukum perusahaan, hukum patent, hukum perbankan dan hukum perburuhan sangat penting disamping hukum tanah, hukum laut, hukum pertambangan, hukum pengangkutan, hukum dagang, hukum pidana dan hukum perang.
Akan tetapi dengan berkembangnya masyarakat industri menjadi masyarakat post-industri, maka bidang-bidang gukum hukum ini ditambah pula serentetan bidang hukum yang mengatur pertukaran jasa dan pemberian pelayanan seperti hukum perdagangan (intrnasional) dan penanaman modal (asing), hukum angkasa, hukum laut, hukum telkomunikasi, hukum lingkungan, dan sebagainya.
KESIMPULAN
Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Adapun kata nasional diartikan sebagai wilayah berlakunya politik hukum itu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah wilayah yang tercakup dalam kekusaan negara Republik Indonesia.
Politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal negara . tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan, pertama adalah sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh penerintah untuk menciptakan suatu system hukum nasional yang dikehendaki. Kedua dengan system hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.
Sistem hukum nasional terbentuk dari dua istilah, sistem dan hukum nasional. Sistem yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari beberapa bagian, atau hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur.
Dalam kamus besar Indonesia, kata sistem adalah kelompok atau bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud,. Seperti sistem pemerintahan. Dari pengertian diatas, kita dapat memahahami dan mendefenisiskan bahwa yang dimaksud dengan sistem adalah himpinan unsure yang melakukan suatu nkegiatan atau menysusn suatu skema atau tata cara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan, untuk mencapai suatu tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Ø Sunnaryati Hartono, S.H., Politik Hukum Nasional Serta Sistem Hukuml Nasional, Bandung: Alumni, 1991.
Ø Sunnaryati Hartono, S.H., Beberapa Maslah Transnasional dalam Penanaman Modal asing di Indonesia, 1972, Bandung: Alumni, 19996.
Ø Sunnaryati Hartono “Apakah The Rule of Law itu” Alumni, Bandung, 1976.
Ø Sunario Waluyo, prospek Adil-Makmur, Sasaran GNP per kapita 5000 dollar, Pusat Pengembangan Agrabisnis, 1979.
Ø Teuku Mohammad Radhie, Permasalahan Hukum Islam dalam Prespektif Pembangunan hukum Nasional, Bandung: Angkasa, 1995.
Ø Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, Jakarta: Idaya, 1977.
[1] . Sunnaryati Hartono “Apakah The Rule of Law itu” Alumni, Bandung, 1976, hal 17.
[2] . Sunario Waluyo, prospek Adil-Makmur, Sasaran GNP per kapita 5000 dollar, Pusat Pengembangan Agrabisnis, 1979, hal.19.
[3] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. Dasar-dasar Politik Hukum, hal.60.
[4] Teuku mohammad Radhie, Permasalahan Hukum Islam dalam Prespektif Pembangunan hukum Nasional, Bandung: Angkasa, 1995, hal. 5.
[5] . Sunnaryati Hartono, S.H., Politik Hukum Nasional Serta Hukum Nasional, hal 5.
[6] . Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, Idaya, Jakarta, 1977, hal. 23.
[7] . Sunnaryati Hartono, S.H., Politik Hukum Nasional Serta Sistem Hukuml Nasional, hal 8-10.
[8] . Sunnaryati Hartono, S.H., Beberapa Maslah Transnasional dalam Penanaman Modal asing di Indonesia, 1972, hal 76.
[9] Sunnaryati Hartono, S.H., Politik Hukum Nasional Serta Sistem Hukuml Nasiona, hal 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar