Rabu, 24 November 2010

Menyusui Anak (ar-Radha'ah)

Ajaran “penyusuan anak” [ar-radhâ’ah] secara eksplisit dan tegas dikemukakan di dalam Kitab Suci al-Qur’ân dan kemudian mendapatkan penjelasan dari hadits Nabi SAW.Namun sebagaimana umumnya ayat dalam al-Qur’ân, ajaran itu masih membuka ruang interpretasi [tafsir] yang luas. Hampir semua kitab fiqhdari pelbagai madzhab membahas topik ar-radhâ’ah dalam pasal tersendiri di bawah pembahasan bab “nikâh. Namun, pembahasan mereka umumnya berkisar pada dua hal pokok. Pertama, pembahasan tentang teknis penyusuan yang menyebabkan menjadi mahram [haram dinikahi]. Kedua, pembahasan mengenai hubungan upah penyusuan di antara pihak-pihak terkait. Sementara posisi persusuan sebagai hak anak [haqq ar-radhî’] untuk menjamin kesehatan dan cara hidup yang baik, serta perlindungan kesehatan bagi ibu yang menyusui [haqq al-murdhi’ah] belum banyak disinggung, bahkan terkesan “tak dipikirkan” [allâ mufakkira fîh, l’impensé].


Secara etimologis, ar-radhâ’ah atau ar-ridhâ’ah adalah sebuah istilah bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang. Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui itu [ar-radhî’] berupa anak kecil [bayi] atau bukan.[1] Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqhmendefinisikan ar-radhâ’ah sebagai berikut:

“Sampainya [masuknya] air susu manusia [perempuan] ke dalam perut seorang anak [bayi] yang belum berusia dua tahun, 24 bulan.” [2]

Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa disebut ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah [persusuan yang berlandaskan etika Islam]. Yaitu, pertama, adanya air susu[3] manusia [labanu adamiyyatin]. Kedua, air susu itu masuk ke dalam perut seorang bayi [wushûluhu ilâ jawfithiflin]. Dan ketiga, bayi tersebut belum berusia dua tahun [dûna al-hawlayni]. Dengan demikian, rukun ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah ada tiga unsur: pertama, anak yang menyusu [ar-radhî’]; kedua, perempuan yang menyusui [al-murdhi’ah]; dan ketiga, kadar air susu [miqdâr al-laban] yang memenuhi batas minimal. Suatu kasus [qadhiyyah] bisa disebut ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah, dan karenanya mengandung konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus berlaku, apabila tiga unsur ini bisa ditemukan padanya. Apabila salah satu unsur saja tidak ditemukan, maka ar-radhâ’ah dalam kasus itu tidak bisa disebut ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi hukum syara’ tidak berlaku padanya.

Adapun perempuan yang menyusui itu disepakati oleh para ulama [mujma’ ‘alayh] bisa perempuan yang sudah baligh atau juga belum, sudah menopause atau juga belum, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak hamil. Semua air susu mereka bisa menyebabkan ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang disusuinya.[4]

Landasan Hukum

Setidak-tidaknya ada enam buah ayat dalam al-Qur’ân yang membicarakan perihal penyusuan anak [ar-radhâ’ah]. Enam ayat ini terpisah ke dalam lima surat, dengan topik pembicaraan yang berbeda-beda. Namun, enam ayat ini mempunyai keterkaitan [munâsabah] hukum yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam ayat ini, ar-radhâ’ah juga mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut. Baik al-Qur’ân maupun al-Hadits, kedua-duanya sangat berarti bagi kekokohan landasan hukum dan etika “menyusui”.

Enam ayat al-Qur’ân yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, ayat 233 Surat al-Baqarah [2]: “Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’rûf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih [sebelum dua tahun] dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Secara umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk Allah SWT kepada para ibu [wâlidât] agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara sempurna, yakni selama dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua, kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istrinya yang sedang menyusui dengan cara yang ma’rûf. Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak [sebelum dua tahun] asalkan dengan kerelaan dan permusyawaratan suami dan istri. Keempat, adanya kebolehan menyusukan anak kepada perempuan lain [al-murdhi’ah].

Kedua, ayat 23 surat An-Nisâ’ [4]: “Diharamkan atas kamu [mengawini] ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan ....”

Ayat ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak [ar-radhâ’ah] dapat menyebabkan ikatan kemahraman, yakni perempuan yang menyusui [al-murdhi’ah] dan garis keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya [ar-radhî’].

Ketiga, ayat 2 al-Hajj [22]: “[Ingatlah] pada hari [ketika] kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua perempuan yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala perempuan yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.”

Keempat, ayat 7 surat al-Qashash [28]: “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai [Nil]. Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah [pula] bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya [salah seorang] dari para rasul.”

Kelima, ayat 12 surat al-Qashash [28]: “Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui[nya] sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?” Tiga ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang menyusui anaknya dalam sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi Musa. Dijelaskan betapa pentingnya air susu ibu [kandung] untuk anaknya, hingga Nabi Musa kecil dicegah oleh Allah untuk menyusu kepada perempuan lain. Dan dijelaskan pula kedahsyatan goncangan hari kiamat, bahwa semua perempuan yang tengah menyusui anaknya akan lalai tatkala terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut.

Keenam, ayat 6 surat ath-Thalaq [65]: “Tempatkanlah mereka [para istri] di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan [hati] mereka. Dan jika mereka [istri-istri yang sudah ditalak] itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak]mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya.”

Sementara ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan penyusuan anak. Pertama, dalam ayat ini ditekankan adanya jaminan hak upah dari sang suami bagi sang istri muthallaqah [yang sudah ditalak] jika ia menyusukan anak-anaknya, di luar kewajiban nafkah yang memang harus diberikan selama belum habis masa‘iddah. Kedua, adanya kebolehan dan sekaligus hak upah bagi seorang perempuan yang menyusukan anak orang lain, asalkan dimusyawarahkan secara baik dan adil.

Hak Upah Susuan

Jika seorang perempuan menyusui anaknya sendiri, apakah ia berhak menuntut upah atas susuannya itu? Kepada siapakah sang perempuan itu menuntut upahnya? Jawabannya, tentu tergantung dari kondisi sang perempuan itu sendiri dalam hubungannya dengan suami. Wahbah az-Zuhaily dalam konteks ini menjelaskan tiga kondisi sang perempuan ketika menyusui, dan masing-masing terdapat hukumnya, yang semuanya berkaitan dengan kewajiban nafkah.[5]

Kondisi pertama, menurut ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ikatan perkawinan atau di tengah-tengah ‘iddah dari talak raj’iy, maka ia tidak berhak menuntut upah secara spesifik dari susuannya. Karena dalam kondisi ini, sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah kepada sang istri, maka istri tidak boleh menuntut upahujrah[] yang lain meskipun sebagai imbangan menyusui. Kebutuhan menyusui bisa dimasukkan ke dalam jumlah besarnya nafaqah sehari-hari.
           
Akan tetapi, pada kondisi kedua, jika sang perempuan yang menyusui sudah ditalak dan selesai dari ‘iddah, atau dalam ‘iddah wafat, disepakati oleh para ulama bahwa sang perempuan boleh menuntut upah atas susuannya itu, dan ayah dari anak yang disusuinya wajib memberikan upah itu secara adil. Sebab, bagi istri yang sudah ditalak dan habis ‘iddahnya atau dalam ‘iddah wafat dalam ketentuan fiqhsudah tidak ada lagi nafkah yang harus diterimanya dari sang suami. Hal ini didasarkan pada Suratath-Thalâq [65] ayat 6, [… fa`in ardha’na la kum fa â`tûhunna ujûrahunna wa’tamirû baynakum bi ma’rûfin…] [… kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak]mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik… ].

Menurut sebagian ulama Hanafiyah, padakondisi ketiga, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ‘iddah talak bâ`in, maka ia berhak menuntut upah dari susuannya. Ini didasarkan pada kenyataan hukum bahwa status perempuan yang ditalak bâ’in sama dengan perempuan yang tidak memiliki hubungan perkawinan [al-ajnabiyyah]: ia tidak lagi memperoleh hak nafkah. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh ulama Malikiyyah. Alasan mereka, surat ath-Thalâq [65] ayat 6 [fa`in ardha’na la kum fa â`tûhunna ujûrahunna] adalah pernyataan yang tegas tentang tuntutan hak upah atas susuan bagi perempuan yang ditolak bâ`in.

            Dalam ayat yang sama, terutama pada lafadz [“… wa in ta’âsartum fa saturdli’u lahû ukhrâ”] [… dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya], sang ayah juga wajib memberikan upah yang adil kepadanya, apabila mereka memang istirdhâ’ [meminta bantuan orang lain untuk menyusukan anaknya]. Sampai kapan hak upah susuan itu berlaku? Mengenai batasan waktu pemberlakuan hak upah susuan, para ahli hukum Islam bersepakat hanya dua tahun saja dari usia anak. Tidak adanya perbedaan ini karena ketegasan [sharîh al-lafdhi wa al-ma’nâ] surat al-Baqarah [2] ayat 233. Ayat ini menegaskan bahwa seorang ayah wajib memberikan upah susuan kepada perempuan yang menyusuinya sampai dengan usia anak dua tahun. Ini dibebankan karena sang ayah berkewajiban memberikan nafkah kepada anak dan istrinya.

Sedangkan mengenai besar upah susuan, fiqh tidak mengaturnya secara rinci dalam bentuk angka atau prosentase. Ditentukan bahwa upah susuan yang harus diberikan adalah upah mitsil, yakni upah kepatutan-sosial yang pada umumnya diterima oleh perempuan lain ketika ia menyusui seorang bayi di tempat dan di mana upah itu diberikan. Keputusan tentang jumlah besar soal ini agaknya diserahkan pada keputusan masyarakat sendiri dengan mempertimbangkan keadilan social yang berlaku pada masanya dan saatnya. Tentu saja ukuran keadilan menurut satu masyarakat dengan masyarakat lain berbeda-beda, karena itu besar upah pun dapat berbeda-beda asalkan memenuhi rasa keadilan di antara pihak yang terlibat.




Waktu Penyapihan

Dalam tradisi kita, dikenal luas istilah “penyapihan anak”. Yakni, masa pemutusan atau pemberhentian penyusuan anak dari ibunya. Oleh masyarakat, cara ini dilakukan dengan berbagai bentuk. Di antaranya adalah dengan memisahkan [paksa] anak dari pergaulan ibunya sehari-hari, atau sang ibu memakan makanan yang membuat rasa air susunya tidak disukai oleh anak, sehingga sang anak tidak lagi mau menyusu. Ini dilakukan dengan berbagai motif. Di antaranya adalah karena memang sudah tiba saatnya anak untuk disapih, akibat ada masalah dengan payudara ibu, atau karena keengganan ibu untuk menyusui anaknya.

Berkaitan dengan kasus ini, al-Qur’ân tegas menyatakan bahwa batas waktu boleh menyapih sebaiknya adalah ketika anak telah berusia dua tahun. Batas waktu ini berkait dengan batas maksimum kesempurnaan menyusui. Karena itu, sifat batas waktu ini tidak imperatif [ghairu mulzimun bih], tetapi lebih sebagai keutamaan dan kesempurnaan. Apabila memang hendak disapih sebelum batas maksimum ini, maka sebaiknya dimusyawarahkan dan dipertimbangkan secara matang antara bapak dan ibunya. Musyawarah penting dilakukan untuk menjamin hak-hak anak dalam memperoleh kehidupan dan kesehatan yang layak, dan jangan sampai penyusuannya membuat kesengsaraan [madlarat] bapak maupun ibu anak itu. Ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233, surat Luqmân (31) ayat 14, dan surat al-Ahqâf (46) ayat 15. Padahal boleh jadi penyapihan ini, terutama apabila kurang dari dua tahun, bias berdampak negatif bagi anak. Oleh karena itu, ketentuan Allah di atas menjadi penting baik dalam konteks pemeliharaan hak-hak anak untuk memperoleh susuan maupun dalam konteks penghargaan hak-hak ibu untuk menikmati kesehatan dan kenyamanan dalam kehidupannya.

Atas dua pertimbangan ini, Allah memberikan keringanan [rukhshah] bias menyapih anak kurang dari usia dua tahun, asalkan telah dimusyawarahkan di antara bapak dan ibu. Sebab diakui dalam kenyataan kehidupan anak-anak ada di antara mereka yang sudah mampu memakan makanan yang keras [taghaddi] sebelum berusia dua tahun. Akan tetapi, dalam konteks ini diperlukan pertimbangan yang masak dan kehati-hatian yang tinggi dari orang tua. Karena merekalah yang paling menyayangi dan mengetahui rahasia anak. Orang tua dilarang melakukan hal-hal yang memadharat-kan anak. Demikian juga anak tidak boleh menjadi madlarat bagi kehidupan orang tuanya.

Menyusui: Hak Anak atau Kewajiban Ibu?

Dijelaskan oleh Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, dalam kitab tafsirnya, para ahli hokum Islam [Islamic jurists] bersepakat bahwa menyusui dalam pandangan syara’ hukumnya wajib bagi seorang ibu kandung. Kelak sang ibu dimintai pertanggunganjawab [almas’ûliyyah] di hadapan Allah atas kehidupan anaknya.[6] Oleh Wahbah az-Zuhaily diperjelas, kewajiban ini terkena baik bagi ibu yang masih menjadi istri dari bapak anak yang disusui [ar-radhî’] maupun istri yang sudah ditalak [al-muthallaqah] dalam masa ‘iddah.[7] Ibnu Abi Hatim dan Sa’id Ibn Zubair ketika membicarakan surat al- Baqarah [2] ayat 233 juga mengatakan hal yang sama bahwa laki-laki yang menceraikan istrinya dan memiliki seorang anak, maka ibu anak itulah yang lebih berhak untuk menyusukan anaknya.[8] Demikian juga Waliyullah ad-Dihlawy, dengan pertimbangan rasional menyatakan bahwa ibu adalah orang yang diberi otoritas untuk memelihara bayi dan lebih menyayangi anak.

Dari sejumlah pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa “menyusui” dianggap sebagai kewajiban syara’ yang harus dipenuhi oleh setiap perempuan (ibu kandung). Pendapat ini tentu mengagetkan karena dari sejumlah ayat al-Qur’ân yang berbicara tentang persusuan tak satu pun yang menunjukkan kewajiban ini. Karena itu, perlu klarifikasi tentang bentuk kewajiban itu: apakah itu kewajiban legal-formal normative ataukah kewajiban moral-kemanusiaan? Dan dalam posisi tersebut, apakah hakim bisa memaksa kaum ibu atau tidak untuk memenuhi kewajiban itu? Pada tataran ini, para ulama juga masih berbeda pendapat. Madzhab Malikiyah, misalnya, berpendapat bahwa hakim boleh memaksa sang ibu untuk menyusui anaknya. Akan tetapi, berdasarkan surat ath-Thalâq [65] ayat 6, terutama pada dictum [fa`in ardha’na la kum fa`tûhunna ujûrahunna], madzhab Malikiyyah bersikap bahwa hukum menyusui tidak wajib bagi sang ibu yang sudah ditalak bâ`in oleh sang suami.

Sementara jumhur ulama mempunyai pendapat lain, bahwa hakim tidak boleh memaksakannya, kecuali dalam kondisi dharûrat.[9] Dalam pandangan jumhur ulama, kewajiban menyusui anak bagi seorang ibu lebih merupakan kewajiban moral kemanusiaan [diyânatan] ketimbang legal-formal [qadhâ`an].[10] Maksudnya, kalau si ibu tidak mau melakukannya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak memaksanya untuk menyusui. Menurut mereka, surat al-Baqarah [2] ayat 233 adalah perintah anjuran [mandûb] bagi sang ibu untuk meyusui anaknya. Dengan kata lain, menyusui anak adalah hak bagi ibu, tetapi juga hak bagi anak untuk memperoleh susuan yang memadai. Kecuali kalau si anak tidak mau menerima air susu selain ibunya, atau si ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka baru menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya. Argumentasi bahwa menyusui adalah hak bagi ibu sekaligus juga hak bagi anak terdapat dalam surat ath-Thalâq [65] ayat 6: [wa in ta’âsartum fa saturdhi’û lahu ukhrâ].[11] Dalam ayat itu dinyatakan “jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya.”

Memperkuat pendapatnya, yang oleh ulama lain dijadikan landasan hokum wajib “menyusui”, jumhur ulama menafsiri ayat [yurdhi’na awlâdahunna], ke dalam dua pengertian yang berkaitan. Pertama, sebagian mereka menyatakan bahwa kendatipun kalimat tersebut berbentuk kalâm khabar, tetapi bermakna insyâ`. Artinya, meski ayat tersebut memiliki arti perintah, namun, kedua, arti perintah yang terkandung dalam kalimat tersebut tidak termasuk perintah wajib.[12] Dengan demikian, meskipun “menyusui” diperintahkan oleh Allah SWT, tetapi perintah itu menunjukkan pada dorongan moral kemanusiaan untuk menyelamatkan dan memberikan perlindungan kesehatan bagi sang anak.

Meski begitu, para ahli hukum Islam memberikan ketegasan lain. Mereka bersepakat bahwa pekerjaan menyusui bisa menjadi wajib bagi seorang ibu kandung secara pasti jika terjadi dalam tiga keadaan berikut. Pertama, jika si anak tidak mau menerima air susu selain air susu ibunya sendiri. Kewajiban ini tentu lebih untuk menyelamatkan kehidupan anak dari kerusakan jasmani maupun rohani. Kedua, jika tidak ditemukan perempuan lain yang bisa meyusui, maka wajib bagi ibu kandung untuk menyusui anaknya agar kehidupan dan kesehatan anak terjamin. Dan ketiga, jika tidak diketahui bapak anak itu, dan si anak itu tak memiliki biaya untuk membayar perempuan yang menyusuinya, maka ibu kandung wajib menyusuinya agar si anak tersebut tidak meninggal dunia.[13]

Ketegasan preferensial ini dikuatkan oleh pendapat ulama Syafi’iyyah. Menurut mereka, sang ibu kandung justru wajib memberikan air susunya kepada sang bayi, terutama, pada masa awal keluarnya dari rahim. Sebab, sang bayi yang baru lahir biasanya tidak bisa hidup tanpa air susu ibunya.[14]

Dari perbincangan para ulama di sini jelaslah bahwa tugas “menyusui” adalah tugas para ibu [kaum perempuan], karena secara biologis merekalah yang dapat mengalirkan air susu sebagai minuman atau makanan bagi para bayi [anak].[15] Namun, apakah tugas ini semata-mata tugas kemanusiaan yang didorong oleh kesadaran regenerasi umat manusia atau kewajiban legal-normatif kodrati selaku orang yang melahirkannya, ternyata para ulama bersilang pendapat. Dari kompilasi pendapat yang terlacak, ada benang merah yang bisa kita tarik atas perbedaan pandang ini. Kita bisa memahami bahwa meskipun dikatakan wajib syar’iy, tetapi kewajiban ini dalam kerangka moralitas kemanusiaan. Demikian juga kita bisa memahami, meskipun dinyat akan sebagai tugas kemanusiaan, tetapi mempertimbangkan kebutuhan dlarûry bagi sang anak untuk mempertahankan kehidupannya, tugas moral ini bisa menjadi kewajiban legal bagi perempuan [bukan ibu kandung]. Tetapi di atas semua itu, adalah suatu kebajikan yang patut dilakukan oleh kaum perempuan untuk menyusui seorang anak. Dan adalah pemaksaan yang tidak manusiawi jika ibu kandung serta merta dikenai kewajiban legal menyusui anaknya, tanpa ada keseimbangan kewajiban pertanggungan dengan sang bapak. Al-Qur’ân menjelaskan bahwa penyusuan tidak boleh menjadi sumber kesusahan bagi kedua orang tua. Asalkan suami isteri mempunyai keinginan yang sama dengan cukup tersedianya perbekalan (jaminan) untuk si ibu dalam menyusui, mereka bisa memungut perempuan lain untuk menyusui anaknya.

Mempertegas konteks hukum di atas, di manakah posisi anak dan bapak kandung dalam tugas penyusuan ini? Seperti telah disebutkan berkali-kali di muka, tidak ada makanan atau minuman yang tepat bagi seorang anak yang baru lahir selain air susu ibu. Dengan begitu, kebutuhan air susu ibu betul-betul mempertaruhkan kehidupan sang anak. Maka, adalah menjadi hak [asasi] bagi seorang anak untuk memperoleh air susu ibu secara memadai. Posisi ini haruslah disesuaikan dengan penempatan radhâ’ah pada konteks hak-hak anak dalam literatur fiqh. Sementara posisi bapak [suami]--yang secara biologis tidak mungkin bias “menyusui”--adalah memberikan perlindungan kepada keduanya (ibu dan anak), baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi, sehingga penyusuan ini dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan anak. Bapak [suami] secara ekonomi wajib memberikan nafkah baik kepada ibu [istrinya] maupun kepada anaknya.[16] Kepada anaknya, bapak mempunyai lima kewajiban nafkah, yaitu [1] upah susuan, [2] upah pemeliharaan, [3] nafkah kehidupan sehari-hari, [4] upah tempat pemeliharaan, dan [5] upah pembantu jika membutuhkannya.[17] Lima hal ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan kerja “menyusui” dan memelihara anak, termasuk kepada istrinya sendiri.


[1]Abdurrahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz IV, [Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1987], hlm.250-251.
[2] Ibid.
[3] Ulama Hanafiyyah mengajukan syarat bagi air susu ini. Bagi mereka, air susu harus berbentuk benda cair. Kalau yang disusukan itu sudah berbentuk benda padat, seperti keju dan sebagainya, tidak menyebabkan adanya hubungan kemahraman. Baca al-Jaziri, Ibid., Juz IV, hlm. 254.
[4] Ibn ar-Rusyd al-Qurthubiy al-Andulusiy, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, Juz I, [t.tp.: t.p., t.t.], hlm. 30. Baca juga Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, hlm. 92.
[5] Ibid., hlm. 700-701.

[6] Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsîr al-Marâghiy, Juz I, [Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabiy, t.t.], hlm. 185.
[7] Wahbah az-Zuhayli, Op. Cit., hlm. 698. Baca juga Muhammad Husain adz-Dzahabiy, asy-syarî’ah al-Islâmiyyah, [Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1968], hlm. 398. Bandingkan juga dengan Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Op. Cit., hlm. 185
[8] Jalaluddin as-Suyuthi, Op. Cit., hlm. 687.
[9] Menurut al-Hamawy, darurat merupakan limit akhir keterpaksaan yang jika tidak menerjang sesuatu meski dilarang ia terancam jiwanya. Baca Hâsyiyah al-Hamawy ‘alâ al-Asybah wa an-Nadhâ’ir li Ibn Nujaym, hlm. 108. Pendapat ini juga selaras dengan sebagian pendapat dari kalangan ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
[10] Muhammad Ali as-Shabuniy, at-Tibyân fiy ‘Ulûm al-Qur’ân, (Makkah: t.p., 1980), hlm. 1146.
[11] Wahbah az-Zuhayli, Op. Cit., hlm. 699. Baca juga Muhammad Ali as-Shabuniy, Rawâ`i al-Bayân: Tafsîr Ayât al-Ahkâm min al-Qur`ân, [Makkah al-Mukarramah: t.p., t.t.], hlm. 353.
[12] Sebagai perbandingan, asy-syarbiniy memasukkan tugas “menyusui” ke dalam pembahasan al-hadlânah [pengurusan dan pemeliharaan anak]. Di situ disebutkan, jika al-hâdlinah [orang yang mengurus dan memelihara] tidak mempunyai air susu atau tercegah untuk menyusui karena suatu sebab, maka ia tidak terkena keharusan hadlânah. Bahkan kata al-Bulqiniy meskipun mempunyai air susu tetapi ada halangan menyusui, juga tidak ada keharusan hadlânah. Baca Muhammad asysyarbiniy al-Khathib, al-Iqnâ’ fiy Hill Alfâdh Abî Syujâ’, Juz I, [Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.], hlm. 196.
[13] Muhammad Husain ad-Dzahabiy, asy-syarî’ah al-Islâmiyyah, [Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1968], hlm. 398.
[14] Wahbah az-Zuhayli, Op. Cit., Juz VII, hlm. 699.
[15] Ini berkaitan dengan sabab an-nuzûl ayat 233 Surat al-Baqarah [2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id bin Jubair, bahwa firman Allah “wal wâlidâtu yurdli’na awlâdahunna hawlayni kâmilayni” berkaitan dengan seorang laki-laki yang mentalak istrinya, sementara ia memiliki seorang anak dari istri tersebut. Dalam posisi ini, maka sang istri lebih berhak dengan anak tersebut karena ia menyusuinya. Jalal ad-Din as-Suyuthiy, Op. Cit, Juz I, hlm. 687.
[16]Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, Juz I [Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabiy, t.t.], hlm. 185
[17] Wahbah az-Zuhayli, Op. Cit., Juz VII, hlm. 704.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar