Jumat, 12 November 2010

I J A R A H


 
A.     Defenisi Ijarah
            Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة   yang artinya menjual manfa’at. Demikian pula artinya menurut terminology syara’. Ulama Syafi’i memberikan defenisi sebagai berikut :
                             عقد على منفعة مقصودة معلومة محابة قابلة للبذل والاباحة بعوض معلوم   
akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”

Ulama Hanafiayah
عقد علي المنا فع بعوض
 “akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”

Ulama Malikiyah dan Hanabilah
تمليك منا فع شيئ مباحة مدة معلومة بعوض
“menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan mengganti.”

            Ada yang menerjemahkan ijarah sebagai jual beli jasa (upah mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang[1]
            Jumhur ulam fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat, dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untu diambil susunya, dan lain sebagainya, yang semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.[2]
            Mengenai pendapat diatas, Wahbah Al-Zuhaili mengutip pendapat Ibn Qayyim dalam I’lam Alk-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal ijarah sebagaiman ditetapkan ulama fiqh adalah asal  fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dalam Al-Qur’an, sunnah, ijma’ maupun qias yang shahih. Menurutnya benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedekit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya pohon yang mengeluarkan buah, pohonnya tetap ada dan dapat dihukumi manfaat, sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Dengan deminikian sama saja antara arti manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.[3]

B.     Landasan Syara’
            Hampir semua ulama fiqh sepakat bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam, baik  dalam Al-Qur’an , sunnah maupun ijma’. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan Al-Basri, Al-Qashany, Harawi, dan Ibn Kaisan, mereka beralasan ijarah adalah jual beli kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang. Sesuatu yang tidak dapat dikategorikan jual beli.
            Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut adat.[4]
Firman allah dalam Al-qur’an:  

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (At-Thalaq.:6).


ااعطوا الاجير اجره قبل ان يجف عرقه. (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
“berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” ( HR.Ibn Majah dari Ibn Umar).

Sedangkan dari ijma’ adalah ummat Islam pada masa sahabat selalu berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.

C.     Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut ulama Hanafiayah, rukun ijarah adalah ijab dan kabul, antara lain dengan menggunakan kalimat al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada empat, yaitu:               
a.      Aqid (orang yang menyewa dan mempersewakan)
Adapun syarat akid adalah
a)      Berakal
b)      Kehendak sendiri, (bukan paksaan)
c)      Keduanya tidak bersifat mubazzir
d)      Balig
b.      ‘Shighat ‘akad
c.       Ujrah (upah)
Adapun sayarat upah adalah:
a)      Berupa harta tetap yang dapat diketahui
b)      Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
d.      Manfaat
Adapun sayarat manfaat adalah:
a)      Manfaat yang berharga,
b)      Keadaan manfaat dapat diberikan oleh orang yang mempersewakan
c)      Diketahui kadarnya, denga jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau satu tahun, atau diketahui dengan pekerjaan, seperti menyewa mobil dari tempat A ke tempat B.[5]

Sedangkan syarat ijarah terdiri empat macam, sebagaiman syarat jual beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad, syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah dan syarat lazim.

D.    Sifat dan Hukum Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada  firman Allah SWT. اوفوا بالعقود  , yang boleh dibatalkan. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada pemenuhan akad.
Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan pendapatnya dari ayat diatas.
Berdasarkan dua pandangan di atas, menerut pandangan Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal tetapi berpindah kepada ahli warisnya.[6]
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan barang, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Hukum ijarah rusak, menu rut ulama Hanafiyah, jik penyewa sudah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Tetapi jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.[7]
Jafar dan ulama Syafi’iyah  berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.

E.     Pembagian dan Cara Memanfaatkan Barang Sewaan
Iajarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
a.      Pemanfaatan barang
  1. Sewa rumah
Jika seseorang menyewa rumah, dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
  1. Sewa tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan maka ijarah dianggap rusak.
  1. Sewa kenderaan
Dalam menyewa kenderaan, baik hewan atau kenderaan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu waktu ndan tempat, juga haus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkat.
b.      Perbaikanbarang sewaan
Menurut ulam Hanafiyah, jika barang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain sebagainya, pemiliknya hanyalah berkewajiban memperbaikinya, tetapi tidak boleh dipaksa sebab pemilik barang tidak boleh dipaksakan untuk memperbaiki barangnya sendiri. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah karena dianggap sukarela.
Adapun hal-hal kecil, seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.[8]


F.      Tanggungjawab Penyewa ( ajir ) dan Gugurnya Upah
a.      Ajir Khusus
Ajir khusus adalah orang yang bekarja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu rumah tangga, jika ada barang yang rusak, ia tidak bertanggungjawab untuk menggantinya.
b.      Ajir Musytarik
Ajir musytarik adalah oaring yang bekerja lebih dari satu orang, diman mereka sama-sama memanfaatkan seperti para buruh disuatu pabrik, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan tanggungjawab mereka.
  1. Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah
Pendapat yang paling shahih adalah mereka tidak bertanggungjawab atas kerusakan, sebab kerusakan itu bukan disebabkan oleh mereka, kecuali bila disebabkan oleh permusuhan diantara mereka
  1. Imam Ahmad
Golongan ini berpendapatbahwa ajir bertanggungjawab atas kerusakan bila kerusakan disebabkan mereka walaupun tidak sengaja, kecuali jika disebabkan oleh hal-hal yang umum terjadi.

  1. Ulama Malikiyah
Pekerja bertanggungjawab atas kerusakan yang disebabkannya walaupun tidak disengaja atau karena kelalaiannya

G.    Menyewakan Pohon Untuk Diambil Buahnya
Ulama berpendapat bahwa manfaat yang disewa itu hendaklah jangan sampai mengandung lenyapnya sesuatu yang berupa zat, hanya harus semata-mata manfaat saja. Ulama yang berpendapat demikian tidak memperbolehkan menyewa pohon-pohon untuk mengambil pohonnya, begitu juga menyewa hewan untuk mengambil bulu dan sebagainya.
Ulama yang lain berpendapat bahwa tidak ada halangan menyewa pohon-pohon karena buahnya, berlaku seperti menyewa perempuan untuk menysukan anak. Sedangkan menyewa seorang perempuan untuk mengambil manfaat susunya, jelas boleh menurut ayat, akrena faedah yang diambil dari sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya sama artinya dengan manfaat.[9]

H.    Menyewakan Binatang
Boleh menyewakan binatang, dengan syarat dijelaskan tempo waktunya, atau tempatnya. Dan disyaratkan pula dijelaskan kegunaan penyewaan, seperti untuk mengangkat barang atau untuk tunggangi.
Bila binatang yang disewakan itu terjadi kecelakaan, dan terjadi cacat dan kemudian celaka maka penyewaan  menjadi batal. Dan apabila binatang tersebut tidak cacat dan kemudian mati, penyewaan tidak batal. Dan orang yang menyewa wajib manggantinya dengan yang lain, dia tidak mempunyai hak untuk membatalkan akad.[10]

I.       Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yang salah satu pihak yang berakad tidak memiliki hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran, kecuali terjadi hala-hal yang menyebabkan batalnya ijarah.
Ijarah  tidak batal dengan matinya salah satu dari dari yang berakad, sedangkan yang diakadkan masih utuh dan ahli warisnyalah yang menggantikan posisinya. Kemudian ijarah tidak batal dengan dijualnya barang yang disewakan untuk pihak penyewa atau  lainnya, dan pembeli menerimanya jika ia bukan sebagai penyewa sesudah berakhirnya masa ijarah.[11]

Ijarah menjadi batal karena hal-hal sebagai berikut:
§         Terjadinya cacat pada barang sewaan yang disebabkan penyewa dan berlangsung lama.
§         Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah dan binatang yang merupakan ain dari ijarah tersebut.
§         Rusaknya barang yang diupahkan, seperti baju yang yangb ditempahkan, karena akad tidak mungkin terpenuhi karena barangnya sudah rusak.
§         Terpenuhinya manfaat yang diakadkan. Atau selesainya pekerjaan, atau berakhirnya masa yang disepakati, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah batalnya ijarah.
Pemgikut mazhab Hanafi berpendapat boleh membatalkan ijarah, karena adanya uzur sekalipun dari salah satu pihak. Seperti seorang yang menyewa took untuk berdagang, kemudian hartany terbakar, dicuri atau bangkrut, maka ia boleh membatalkan ijarah.

J.      Pengembalian Barang Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu berbentuk barang dapat dipindah, ia wajib menyerahkannya kepada pemeliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak bergerak, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya dalam keadaan kosong.
Jika berbentuk tanah pertanian, ia wajib menyerahkannya dalam keadaan tidak bertanaman, kecuali jika terdapat uzur seperti yang telah lalu, maka ia tetap berada ditangan penyewa sampai tiba masa panen, dengan membayar upah yang sama.
Menu rut pengikut mazhab Hanbali berpendapat, manakala ijarah telah berakhir, penyewa harus mengangkat tangannya, dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan, karena ia merupakan akad yang tidak menuntut jaminan, sehingga tidak mesti mengembalikannya dan menyerahterimakannya. Mereka berkata, setelah berakhirnya waktu, maka ia adalah amanat yang apabila terjadi kerusakan tanpa dibuat, tidak ada kewajiban menggantinya.[12]







KESIMPULAN

Ijarah adalah menjual manfaat, dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untu diambil susunya, dan lain sebagainya, yang semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya
Rukun ijarah ada empat, yaitu:                                                             
a.      Aqid (orang yang menyewa dan mempersewakan)
b.       ‘Shighat ‘akad
c.       Ujrah (upah)
d.      Manfaa
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat.
Ijarah adalah jenis akad lazim, yang salah satu pihak yang berakad tidak memiliki hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran, kecuali terjadi hala-hal yang menyebabkan batalnya ijarah.
Ijarah  tidak batal dengan matinya salah satu dari dari yang berakad, sedangkan yang diakadkan masih utuh dan ahli warisnyalah yang menggantikan posisinya. Kemudian ijarah tidak batal dengan dijualnya barang yang disewakan untuk pihak penyewa atau  lainnya, dan pembeli menerimanya jika ia bukan sebagai penyewa sesudah berakhirnya masa ijarah.









DAFTAR PUSTAKA

  • Prof. Dr. Rachmat Syafe’i. Fiqh Mu’amalah, Pustaka Setia, Bandung, cet 2, 2004.
  • Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 13, Al-Ma’arif, Bandung, cet 7, 1997.
  • H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, cet 27, 1994.
  • Drs. H.Aliy As’ad, Terjamah Fathul Mu’in jilid III, Menara Kudus, Kudus,1979
  • Syarah Al-Kabir lil Dharir, juz IV, Darul Khair, Cairo, Mesir.



[1] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i. Fiqh Mu’amalah, hal 122.
[2] Syarah Al-Kabir lil Dharir, juz IV, hal 2.
[3] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i. Fiqh Mu’amalah, hal 122-123.
[4] Ibid, hal 123.
[5] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, hal 304.
[6] Drs. H.Aliy As’ad, Terjamah Fathul Mu’in jilid III, hal  286.
[7] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i. Fiqh Mu’amalah, hal 130-131.
[8] Ibid. hal133.
[9] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, hal 304-305.
[10] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 13, hal 30.
[11]  Ini menu rut mazhab Maliki dan Ahmad. Abu Hanifah mengatakan tidak boleh dijual kecuali dengan ridha penyewa, atau dia mempunyai hutang yang persoalannya berada ditangan hakim, maka ia boleh menjualnya untuk menutupi hutangnya.
[12] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 13, hal 34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar