Saya pernah terkesan dengan sebuah kisah yang saya dapat ketika saya masih belajar di bangku Madrasah Aliyah Program Khusus Surakarta.
Kisah itu disampaikan oleh seorang ustad untuk memotivasi kami agar tidak meremehkan sebuah tanggung jawab sekecil apa pun. Kisah tentang bejana raja yang berisi air. Saat itu saya tidak tahu dari mana ustad mendapatkan kisah itu.
Dari buku apa, dari kitab apa? Belakangan saya mendapati kisah serupa termaktub juga dalam buku Lentera Hati karya Prof Quraish Shihab. Dikisahkan, suatu ketika seorang raja yang bijaksana ingin menguji kesadaran dan loyalitas rakyatnya. Sang raja menitahkan agar setiap orang pada malam yang telah ditetapkan, membawa sesendok madu, untuk dituangkan dalam bejana yang telah disediakan di puncak sebuah bukit tak jauh dari ibu kota kerajaan. Seluruh rakyatnya pun memahami benar perintah tersebut dan menyatakan kesediaan mereka untuk melaksanakannya. Akan tetapi, ada seorang rakyat yang berpikiran nakal, terlintaslah satu cara untuk mengelak dari titah raja. Dalam hati ia berkata, ”Aku akan membawa sesendok penuh, tetapi bukan madu. Aku akan membawa air. Kegelapan malam akan melindungi dari pandangan mata seseorang. Tak akan ada yang tahu. Raja juga tidak akan tahu kalau aku cuma bawa sesendok air. Dan Bukankah sesendok air tidak akan mempengaruhi satu bejana berisi madu yang dibawa oleh seluruh rakyat negeri ini” Malam yang ditentukan telah berlalu. Dan tibalah saat yang bersejarah untuk melihat isi bejana.
Betapa kagetnya sang raja, juga seluruh rakyatnya, ternyata bejana yang besar itu hanya penuh dengan air saja. Rupanya seluruh rakyat negeri itu memiliki pikiran nakal yang sama. Punya ide negatif yang sama. Mereka berpikir hanya dirinyalah yang membawa sesendok air, yang lain pasti membawa madu. Mereka berpikir bahwa jika cuma dirinya saja yang membawa sesendok air dan seluruh rakyat membawa madu, maka tidak apa apa.
Tidak berpengaruh apa-apa. Seluruh rakyat berpikiran yang sama, jadinya bejana itu tidak berisi madu seperti yang diharapkan sang raja, tapi berisi air. Dulu, saat mendengar cerita itu saya sempat tersenyum karena lucu. Namun belakangan ini, ketika mengingat kembali kisah bejana berisi air itu di sela-sela aktivitas saya, saya tidak lagi bisa menemukan perasaan lucu itu.
Sebaliknya, yang terbit justru perasaan miris, yang tiba-tiba mencengkeram batin saya. Ada rasa takut bahwa dua adegan dalam kisah di atas tidak lagi menjadi cerita dongeng belaka, tapi telah sungguh-sungguh, menjelma menjadi sebuah potret atas kenyataan yang sedang berlangsung di negeri kita. Di mana seluruh penduduknya adalah aktor dengan watak yang serupa dalam dua cerita di atas. Jujur, kita masih sangat sering menjumpai dan mendengar adanya oknum pegawai negeri yang keluyuran di tengah tengah jam kerja. Dia mungkin berpikir, ”Ah cuma setengah jam. Tidak akan mengganggu kinerja. Tidak akan merugikan negara. Tidak akan menghambat kemajuan negeri ini. ”Cobalah kita renungkan jika ada ratusan ribu pegawai negeri yang berpikiran dan berperilaku seperti itu, berapa besar kerugian negara ini. Berapa besar jumlah uang rakyat yang digunakan untuk menggaji orang-orang yang kerjanya keluyuran seperti itu.
Beberapa waktu yang lalu kita mendengar ada oknum guru yang membocorkan kunci jawaban ujian nasional. Mungkin guru itu berpikiran sangat pragmatis, ”Ah yang aku beri tahu kunci jawaban itu cuma satu dua orang muridku. Tidak akan mempengaruhi SDM bangsa Indonesia. ”Saya sangat khawatir jika ternyata yang berpikiran tidak disiplin dan sembrono seperti itu ternyata tidak satu dua guru, bagaimana jika puluhan ribu guru? Kita juga masih sering mendengar berita pejabat dan anggota dewan yang berperilaku amoral. Hotel prodeo sesak oleh oknum pejabat dan anggota dewan yang terbukti korupsi. Mungkin saat mereka melakukan korupsi berpikiran, ”Ah jika aku ambil sedikit kan tidak apa apa.
Negara ini kaya, diambil sedikit tidak kentara dan tidak berpengaruh apa-apa.” Bagaimana jika pikiran jahat seperti itu masih mengakar di kepala para anggota dewan. Apa yang akan terjadi pada negeri ini? Berita meninggalnya Sophan Sophian mengejutkan kita semua. Beliau meninggal karena kecelakaan di jalan raya, di Sragen. Kecelakaan karena lubang kecil saja di jalan raya. Mungkin pejabat yang bertanggung jawab saat tahu ada jalan yang lubang, dalam benaknya muncul pikiran, ”Ah cuma lubang kecil. Tidak apa apa. Tidak mempengaruhi maju mundurnya Indonesia.” Ya, cuma lubang kecil. Bagaimana jika yang jatuh kemudian tewas karena lubang kecil di jalan itu adalah orang nomor satu atau nomor dua di Indonesia? Bagaimana jika yang jatuh adalah seorang ilmuwan yang sangat penting bagi Indonesia dan dunia? Untuk menyelamatkan Indonesia sebenarnya tidak perlu teori yang muluk-muluk dan njelimet.
Cukuplah dimulai dari membenahi cara berpikir seluruh elemen negeri ini. Jika seluruh elemen bangsa ini, seluruh rakyat, dan seluruh aparatur pemerintahnya berpikir positif, bersih, jujur, bertanggung jawab dan tidak mementingkan diri sendiri, insya Allah bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar.
Namun, jika ada satu orang saja di negeri ini berpikiran jahat, culas, mengkhianati negara, maka sangat berat untuk membangun Indonesia sebagai negara yang besar, makmur, dan sejahtera. Cukuplah jika Indonesia meminta sesendok madu, jangan sekali-kali––mulai presiden sampai rakyat jelata––berpikir untuk membawa sesendok air, apalagi berpikir tidak membawa apa-apa.
Berilah Indonesia sesendok madu, maka bejana Indonesia akan penuh madu. Jika Indonesia meminta untuk tidak korupsi, untuk bertanggung jawab, jangan pernah ada yang tebersit untuk korupsi meskipun hanya sebutir kerikil, insya Allah kita akan bangkit, maju, dan jaya. Mari kita beri sesendok madu untuk bejana Indonesia. Mari!
Jakarta, 19 Mei 2008
Sumber: SINDO, May 2008 oleh Habiburrahman El Shirazy (Budayawan Muda, Penulis Novel Ayat-Ayat Cinta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar