BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kedudukan
fiqh merupakan suatu kajian tentang penilaian suatu tindakan. Fiqh mengkaji apa
yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah melalui lima hukum utama
(haram, halal, wajib, sunnah, dan makruh). Menurut Ibn Kholdun fiqh adalah
sebuah bentuk pengetahuan terhadap aturan Tuhan yang ditujukan kepada tingkah
laku manusia dimana mereka mesti harus taat kepada bentuk aturan tersebut
yang meliputi wajib, haram, mandub, mubah dan makruh.(([1]
Oleh
karena itu fiqh mengkaji hukum Tuhan untuk menentukan tinjauan terhadap bentuk
perilaku manusia (muslim). Dalam permasalahan filsafat, tinjauan tentang bentuk
tingkah laku manusia (moralitas) juga dibahas dan terfokuskan pada cabang
filsafat Ethika. Cabang filsafat ini membicarakan tentang moralitas, atau
pembahasan tentang arahan nilai bagi tindakan-tindakan. Ethika juga mencakup
mempelajari tentang Apa yang benar atau salah dalam hubungan antar manusia.([2])
Sehingga ia juga mempelajari penilaian tentang tingkah laku manusia sebagaimana
yang dipelajari dalam fiqh Islam.
Dalam
perdebatan Filsafat kontemporer, penilaian atau pandangan tentang sesuatu
dikaitkan dengan kesadaran. Suatu hal yang dianggap baik atau buruk ataupun
segala sesuatu yang berkaitan dengan permasalahan pandangan dunia, acap
dikaitkan dengan “bentuk kesadaran yang terkonstruksikan” oleh mekanisme
kondisi sosial tertentu. Pembahasan tentang “kesadaran” ataupun “ideologi” acap
dikaitkan dengan kesadaran palsu atau sebagai produk hubungan (relasi) manusia.
Pemikiran Filsuf besar seperti Marx, Freud, maupun Foucault, tidak memandang
suatu bentuk ideologi (sesuatu yang dianggap benar) sebagai suatu kebenaran,
melainkan bentuk kesadaran palsu. Bahkan dalam sebagian pemikiran Teori
Kritis, ideologi (juga meliputi agama, dimana fiqh menjadi bagian dari “alat
penjelas”nya) tak lebih dari sebuah bentuk dominasi yang harus dirobohkan
dengan pemikiran kritis.(([3]
B.
Rumusan Masalah :
A.
Fiqh Sebagai Proses Pencarian Hukum Tuhan
B.
Etika Sebagai Cabang Ilmu Filsafat Nilai Tindakan (Moral)
C.
Kritik Terhadap Moralitas (Fiqh)
D.
Fiqh Dalam Pendekatan Hermeneutika
BAB II
PEMBAHASAN
- Fiqh Sebagai Proses Pencarian Hukum Tuhan
Fiqh
merupakan kaedah yang dipakai ulama dalam menentukan suatu hukum. Fiqh
mempelajari untuk menentukan bagaimana kehendak Tuhan yang disampaikan lewat
ayat suci maupun perkataan utusanNya. Hal ini diasumsikan bahwa Tuhan mempunyai
suatu otoritas dalam menentukan tingkah laku manusia, sehingga tingkah laku
manusia dapat disesuaikan dengan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan disampaikan
kepada Rasulnya dan melalui rasulNya itu, manusia dapat memahami dan mengerti
apa-apa yang dikehendaki Tuhan untuk dikerjakan oleh manusia.
Tuhan
Sang Pencipta Alam, mengutus seorang utusan kepada manusia. Ia membawa suatu
misi menyampaikan risalah Tuhan untuk disampaikan kepada manusia, risalah
tersebut berupa pengetahuan akan Tuhan, alam, manusia dan hari akhir. Selain
memuat keterangan hal itu, Tuhan juga menghendaki manusia agar bertingkah laku
sesuai dengan kehendakNya, oleh karena itu didalamnya juga terkandung hukum
moral.(([4]
Untuk
memahami hukum Tuhan tersebut, maka diperlukan beberapa kaedah pokok untuk
menentukan benar atau salah di mata Allah. Beberapa kaedah tersebut meliputi
tingkatan pengambilan hukum yaitu dengan merujuk langsung kepada Al Qur’an dan
Sunnah, ataupun mengikuti Imam Syafi’i ada beberapa kaidah lain yang harus
diperhatikan dalam menentukan sebuah hukum, yaitu ijma’ atau
ketetapan otoritas ulama, Qiyas, dan Istihsan.(([5]
Kaedah
tersebut, bukanlah ditentukan oleh Sang Utusan (Nabi Muhammad) itu sendiri,
melainkan dibentuk melalui semacam kesepakatan. Nabi hanya menyatakan bahwa Al
Qur’an dan As Sunnah merupakan pedoman, tetapi tidak meninggalkan dengan cara
bagaimana kita mesti menafsirkan al Qur’an ataupun dengan kaedah apa yang
dipakai untuk mengambil darinya suatu hukum tersebut, tetapi para sahabat
biasanya mengambil secara tekstual (pendekatan bayani) dalam menentukan suatu
hukum, sebagaimana dipraktekkan pada zaman Nabi.
Ketika
menyebarnya islam ke berbagai bangsa dan menghadapi perbedaan kultur dengan
bangsa arab, maka ditemukan banyak suatu peristiwa yang memerlukan suatu
ijtihad untuk menentukan suatu hukum. Maka diperlukan suatu studi tentang ushul
fiqh, pada masa inilah fiqh mengalami suatu pertumbuhan dikarenakan suatu
tuntutan zaman yang menghendaki adanya suatu kepastian moral. Tetapi pada
perkembangan selanjutnya, sesuai dengan potensi akal manusia, maka ditemukan
banyak perbedaan dalam menetapkan suatu hukum. Perbedaan tersebut dikenal
dengan Mahdzab (aliran) dengan nama aliran sesuai dengan ulama bersangkutan.([6])
B.
Etika Sebagai Cabang Ilmu Filsafat Nilai Tindakan (Moral)
Filsafat
merupakan studi tentang permasalahan dengan menggunakan suatu pemikiran kritis,
mendalam/radikal, koheren, universal tentang segala sesuatu. Ia berusaha
mempertanyakan hakekat segala sesuatu dengan mempertanyakan, menyelidiki, serta
mencari suatu kebenaran([7])
yang meliputi eksistensi, pengetahuan, keindahan, keadilan, kebenaran,
validitas pengetahuan, fikiran dan bahasa.(([8]
Dalam
memikirkan hakekat dari segala sesuatu tersebut, maka banyaknya hal yang
berbeda dalam realitas, maka pembahasan tentang hakekat segala sesuatu
tersebut, dibagi dalam beberapa bidang untuk lebih memudahkan suatu
penyelidikan. Maka dalam filsafat ada cabang-cabangnya, yang meliputi;
metafisika, logika, dan epistemologi.([9])
Dari
beberapa bidang tersebut, suatu cabang filsafat yang mempelajari tentang
hakekat tindakan manusia dibahas dalam bidang etika. Dalam cabang filsafat,
kita mempertanyakan segala sesuatu yang berhubungan dengan ”bagaimana suatu
tindakan itu dibenarkan/mungkin” atau melalui standart apa suatu tindakan
itu dianggap sebagai suatu hal yang benar. Darinya lalu dirumuskan beberapa
asumsi, misalnya yang menyatakan bahwa tindakan dikatakan benar sejauh mana
tindakan itu membawa pada kenikmatan, sedangkan yang lain menyatakan sejauh
tindakan itu bermanfaat. Sehingga dari sini, timbullah beberapa aliran dalam
ethika.([10])
Aliran
etika tersebut meliputi hedonisme, sebagaimana sudah dikemukakan di muka,
aliran ini meletakkan ukuran baik dan buruk tergantung pada apakah suatu
tindakan tersebut mampu mendatangkan kenikmatan. Aliran yang lain adalah aliran
stoisme (Stoic) dimana meletakkan kebajikan pada kepuasan emosional dan
spiritual. Pandangan terhadap moralitas tersebut didasarkan pada tujuan apa
yang terkandung dalam suatu bentuk tindakan untuk menentukan benar atau
salahnya suatu tindakan.
Hal
ini merupakan suatu hal yang logis, karena manusia dihadapkan pada situasi
untuk menentukan arahan moral. Situasi tersebut menuntut manusia untuk segera
merealisasikannya. Yaitu kebutuhan fisik (yang meliputi makan, minum, dan
seksual), kebutuhan emosional (ketenangan, kearifan, kedamaian, dsb), kebutuhan
sosial (kerjasama, interaksi sosial, komunikasi dll), dan kebutuhan spiritual.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu direalisasikan dalam kehidupan yang nyata,
sehingga ada beberapa bentuk tindakan yang dinilai berdasarkan pada
tujuan-tujuan perealisasian dari kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Sedangkan
dalam pemikiran Kant, suatu hal yang baik atau buruk sudah ditentukan, sehingga
kebaikan merupakan suatu prinsip yang bersifat transendental tanpa meliputi
tujuan. Kebajikan merupakan suatu yang di luar situasi kemanusiaan dan tidak
berhubungan dengan tujuan perealisasian tujuan-tujuan atau perealisasian dari
tuntutan manusiawi sebagaimana hal diatas, melainkan merupakan suatu hal yang
inhern pada manusia. Kant memberikan isitlah suatu bentuk moral yang inhern
tersebut dengan istilah Imperatif Categoris.([11])
Etika
dalam sudut pandang Agama Abrahamik dinisbahkan kepada Tuhan. Bahwa Tuhan
menciptakan nilai di luar perspektif manusia, yang darinya manusia mesti
bertindak dan mampu membedakan antara tindakan yang baik untuk dilaksanakan dan
tindakan yang buruk untuk dicegah. Etika dalam pandangan agama Abrahamik,
berbeda dengan konsep etika sebagaimana yang disebutkan dalam filsuf tersebut.
Agama Abrahamik tidak memberikan tujuan tindakan bagi perealisasian kebutuhan
manusia, melainkan sebagai suatu nilai dari Tuhan melalui konsep pewahyuan.
Sehingga wahyu merupakan suatu hal yang pokok untuk memberikan arahan penilaian
tentang moralitas.([12])
Dalam
sub bab ini, maka kesimpulannya adalah bahwa fiqh merupakan bentuk pencarian
ketentuan moralitas berdasarkan pada salah satu sudut pandang keagamaan
Abrahamik (Islam), melalui perujukan pada wahyu (sebagaimana dalam tradisi
Yahudi dan Nasrani). Dimana perujukannya kepada wahyu terdapat beberapa metode untuk
menentukan mana yang benar atau salah dalam memberikan penilaian terhadap suatu
perbuatan (Istinbath) yang dikenal dalam istilah fiqh.
Dalam
perkembangan selanjutnya terdapat pendekatan-pendekatan yang tidak selalu
bersifat tekstual melainkan juga pendekatan fenomenologis. Pendekatan ini
mengacu pada bagaimana agama mampu dirasakan secara langsung dalam pengalaman
beragama.([13])
Tetapi, baik pendekatan fenomenologis maupun tekstual, sama-sama mengasumsikan
bahwa nilai itu terletak pada Tuhan, sehingga tugas manusia itu menggalinya
dengan merujuk pada wahyu yang tertulis melalui kitab suci maupun melalui
pengalaman keberagamaan manusia atau religious experience, sebagaimana dalam
tradisi tasawuf yang cenderung memakai pendekatan fenomenologis dalam
menentukan pemahaman keagamaan.
- Kritik Terhadap Moralitas (Fiqh)
1. Kritik Foucault-ian
Dalam
kajian moralitas dalam sudut pandang Michael Foucault, moralitas dianggap
sebagai suatu Kuasa. Kuasa yang mengatur, mendisiplinkan, serta mengontrol
tubuh. Tubuh disiplinkan lewat gereja, sekolah, rumah sakit jiwa, penjara, dsb.
Tubuh merupakan sebuah organ pasif yang menerima proses obyektivasi atas dirinya.
Tubuh akan menerima hukuman apabila ia tidak disiplin.
Dalam
pemikiran Michael Foucault ada hal yang perlu diperhatikan, bahwa dalam
pemikirannya, subyek (manusia) bukanlah seorang yang mampu berfikir secara
mandiri ataupun mampu mendasarkan diri pada tindakan sadarnya. Melainkan apa
yang ia fikirkan atau apa yang ia lakukan adalah produk dari struktur sosial,
epistemologi, ataupun apa yang ia sadari sebagai suatu kebenaran tak lebih dari
produk kuasa yang bermain dalam ruang lingkup diskursus. Begitu juga
permasalahan makna, pengalaman, fikiran dan Kebenaran tak lebih dari produk
kuasa yang memberi identitas kepada kita. Suatu bentuk pandangan terhadap dunia
bersifat given. Sehingga dalam pemikiran Michael Foucault tidak dijumpai bentuk
pemikiran Kritis Emansipatoris sebagaimana kita temukan dalam teori Kritis
Mahdzab Frankfurt misalnya.([14])
Melalui
gereja, tubuh diajarkan untuk bersikap lembut, menyelaraskan aturan, mematuhi
hukum dan tubuh harus tunduk di bawah tuntutan normatif. Begitu juga tubuh
harus dilatih, agar ia dapat terampil. Agar dapat terampil, maka tubuh perlu
disekat dalam ruangan yang dipisahkan. Individu harus disiplin, dan siap
menghadapi tugas yang akan diembannya setelah tubuh itu dilatih melalui ruang
kelas. Tubuh juga perlu dibagi-bagi. Tubuh yang terampil dan tubuh yang tidak
terampil, tubuh yang tidak terampil maka tubuh itu diberikan imbalan yang
sedikit. Sedangkan tubuh yang terampil, maka ia perlu ditempatkan pada tingkat
yang tinggi. Mesti diatur berdasarkan pada ketrampilan atau fungsi tubuh, serta
kekuatan tubuh itu, karena tingkat kemampuan tubuh berbeda-beda.
Disiplin,
kontrol, pengawasan, dan pengaturan pada tubuh itulah dilakukan oleh Kuasa
(Power). Power tersebut meliputi bagaimana suatu bentuk kontrol terhadap tubuh
itu menjadi mungkin. Hubungan timbal balik antara apa yang dianggap benar dan
mekanisme kuasa atau mekanisme yang didalamnya “rezim politik berkuasa”
dinamakan sebagai genealogi. Pendekatan foucault menegaskan bahwa suatu
normativitas yang disepakati, baik itu berupa hati nurani atau panggilan hati,
ide tentang moralitas baik, norma adat istiadat dsb semuanya merupakan bentuk
identitas subyek historis. Ia ada karena konstruk hubungan timbal balik antara
manusia, yang dipertahankan, atau diubah untuk mengontrol tubuh manusia untuk
disiplin.
Pendekatan
ini apabila dikaitkan dengan fiqh menjadi fiqh sebagai pengatur, alat kontrol,
pengawas, dan pendisiplinan terhadap tubuh. Tubuh tidak boleh begini dan
begitu, tubuh harus bersama di suatu ruangan (masjid), dan kenikmatan tubuh
seksual diatur. Norma inilah yang ditekankan dan dijadikan pedoman bagi tubuh
untuk mengatur serta mengawasinya. Norma ini (fiqh) menjadikan tubuh secara
berjenjang menjadi orang yang berkuasa mengawasi dan mengontrol (ulama) dan
tubuh yang dikontrol (awam), tapi di sisi lain, tubuh-tubuh itu untuk disiplin
dalam suatu pola sikap tertentu.
Dalam
pendekatan Foucault, mekanisme kuasa (power) atau kekuatan dalam pengaturan
tubuh, tidaklah bersifat represif. Ia bersifat produktif, ia menjadikan tubuh
disiplin, menjadikan wacana, memproduksi pengetahuan serta mendistribusikan
nilai. Fiqh merupakan bentuk pengetahuan yang diproduksi dalam suatu bentuk
relasi antar tubuh, berdasarkan pada kesepakatan yang dibuat sebelumnya (ijma’
terdahulu), dan menghasilkan pengetahuan baru (ijtihad yang baru), dan
pengetahuan yang baru itu didistribusikan kepada tubuh yang lain, untuk
mengontrol dan mengawasi yang lain. Foucault menyebut sifat bentuk Kuasa
sebagai governmentality. Bentuk Kuasa tersebut lebih cenderung untuk
menggunakan bentuk strategi, prosedur, ataupun penggunaan pihak-pihak (agen)
yang berusaha untuk melakukan kontrol ataupun pengaruh dalam bentuk tingkah
laku dengan menggunakan sarana pengetahuan, Kebenaran, dan kebijakan ekonomi
dan politik.daripada penggunaan kekerasan. Sistem Kuasa ditunjang dengan seni
kepemimpinan dengan menghendaki adanya kerelaan subyek yang dipimpin daripada
penggunaan bentuk kekuasaan.([15])
Mekanisme
kuasa itu menyebar, ulama, guru, ustadz, guru TPA, orang tua, sampai laskar
FPI. Mereka mempunyai kuasa untuk mengontrol dan mengawasi bagaimana tubuh
tetap disiplin serta memberikan hukuman pada tubuh yang tidak disiplin. Oleh
karena itu kuasa itu bukan kuasa yang terpusat, tetapi kuasa itu menyebar.
Sehingga tak hanya lembaga agama, tetapi semua bentuk Kuasa.
2. Kritik Freud-ian
kritik
ini mendasarkan diri pada kritik terhadap ”kesadaran akan kebenaran”. Apa yang
dianggap benar, merupakan hasil ilusi, ia bukan lah realitas nyata yang
diyakini di luar persepsi manusia. Tuhan, Agama, Jalan Keselamatan (Syari’ah),
ritual, merupakan suatu bentuk dari gejala penyakit neurosis, suatu gejala
dimana tindakan tidak dilakukan berdasarkan pilihan yang rasional tetapi terus
dikerjakan dan terpaksa diulangi secara terus menerus, serta menguatkan ilusi
tetnang adanya sesuatu di luar sana yang mempunyai kekuatan tertinggi.
Apa
yang dialami dalam pengalaman keberagamaan tidak lebih dari suatu ekspresi dari
tubuh, untuk menolak ketidaknyamanan atau ketidakmampuan manusia, sehingga
secara tidak sadar (digerakkan oleh alam bawah sadar), untuk mencari sosok yang
darinya, emosi kita dapat tenang karena merepresentasikan tentang sosok ayah.
Sosok yang melindungi kita serta memberikan rasa nyaman kepada kita. Kebenaran
agama bukanlah kebenaran mutlak, ia merupakan halusinatif. Ia merintangi
seorang untuk berfikir sehat, dan dapat hidup secara otentik, serta darinya
dapat mengekspresikan kemampuan total. Apa yang dilakukan oleh agama adalah
melakukan terbaik untuk tuhan, ia tidak hidup dalam dunianya yang kongkret, ia
tetap sibuk pada ketidaksadarannya.([16])
Kesadaran
manusia hanyalah merupakan bagian terkecil yang menentukan pribadi, pilihan
hidup, serta penentuan akan tindakan. Tindakan manusia sebagian terbesar
ditentukan oleh alam bawah sadar kita, termasuk pada tindakan dalam melakukan
tindakan beragama. ([17] )
Tindakan
beragama merupakan bagian dari mekanisme pertahanan diri manusia bagaimana
untuk menyelaraskan atau mendamaikan antara prinsip Id dan Superego. Instink
manusia itu meliputi dua hal, yaitu: insting hidup (makan, hidup dan seksual)
dan insting mati (dorongan agresif). Keduanya ditekan melalui suatu cara agar
dapat melindungi individu dari kecemasan yang berlebih. Cara yang digunakannya
adalah selalu menolak insting tersebut, memalsu, memutarbalikkan, ataupun
mengubah perspepsi.
Hal
ini berarti keinginan untuk melakukan seks bebas dan keinginan untuk menyerang
orang lain sebagai watak dasar spesies yang selalu memperebutkan sumber
pemuasan instingtual. insting tersebut ada pada manusia, tetapi ia ditekan. Dan
sarana penekanannya (sebagai mekanisme pertahanan diri) adalah agama. Kedudukan
fiqh dalam kritik Freudian adalah fiqh merupakan suatu praktek yang didasarkan
pada penghindaran pada prinsip kebebasan, ia adalah suatu praktek untuk
memproduksi mekanisme pertahanan secara bersama-sama. Kritik ini mempunyai
bentuk materialisme, dimana agama direduksi menjadi sebuah mekanisme pertahanan
dari libido atau energi instingtual.
3. Paradigma Kritis
Kritik
ini biasanya diarahkan pada agama sebagai suatu yang bersifat konservatif,
jumud anti perubahan, memproduksi kesadaran palsu, serta memanipulasi kesadaran
manusia. Agama, melalui fiqh, menyediakan perangkat ide dan didokrtinkan pada
tiap individu dalam suatu kultur, dan memberikan suatu gambaran tentang
gambaran realitas untuk diyakininya. Fiqh dalam hal ini merupakan sebagai
bentuk aparatus yang memberikan suatu gambaran tentang realitas, dan gambaran
realitas itulah diberikan secara taken for granted melalui proses sosialisasi
dan internalisasi.
Paradigma
kritis selalu melihat ”gambaran tentang realitas” (ideologis) yang dibentuk
oleh agama ataupun budaya, secara dialektik. Bahwa semua gambaran tersebut
dihasilkan oleh suatu proses yang sifatnya dinamis dan dibentuk melalui
relasi-relasi sosial yang tidak berimbang. Paradigma ini menegaskan bahwa ”pandangan
dunia:” tidaklah hadir dari ruang hampa, melainkan dibentuk oleh sebuah
hegemoni atau semacam konsensus dimana kelas atas banyak yang berperan untuk
menentukan kesadaran manusia. Dan sebagai sebentuk konsensus ideologi bukanlah
suatu hal yang bersifat statis, sempurna dan sakral, melainkan terus berubah.([18])
Fiqh
merupakan bagian dari fungsi keagamaan, yang berfungsi sebagai praktek diskursus
untuk menentukan gambaran tentang dunia, dan darinya dapat diberikan suatu
bentuk kesadaran terhadap individu tentang apa itu dunia dan harus bagaimana
ktia dengan dunia ini. agama hanyalah sebuah superstruktur kesadaran yang
dibentuk dari infrasutruktur ekonomi, ia tercipta melalui relasi atau hubungan
antar manusia. Ia hanya seperangkat norma dan nilai yang digunakan untuk
melegalkan sistem sosial.
- Fiqh Dalam Pendekatan Hermeneutika
Apa
yang disebutkan diatas merupakan bentuk kritik terhadap moralitas dan agama,
termasuk fiqh. Beragam kritik tersebut berangkat dari asumsi yang digunakannya
untuk melakukan langkah kritis terhadap moral dan agama. Foucault menekankan
relasi antara Tubuh, Kuasa dan Pengetahuan. Sehingga Fiqh dapat direduksi pada bentuk
pengetahuan, yang dihasilkan oleh diskursus, untuk memproduksi pengetahuan dan
darinya mampu menciptakan suatu bentuk kedisiplinan terhadap tubuh.
Sedangkan
Freud, melihat agama dari fungsi mekanisme pertahanan manusia untuk
menyesuaikan tuntutan Id (instingtual) dan Superego (Kekangan) sehingga mampu
terhindarkan dari kecemasan. Sedangkan kritik terhadap fiqh dari kacamata
paradigma kritis, adalah bahwa paradigma kritis menggunakan asumsi bahwa teori
yang bermakna merupakan teori yang mampu menghasilkan tindakan pembebasan
manusia dari belenggu. Fiqh dianggap sebagai suatu teori yang tidak bermakna
selama fiqh tidak menghasilkan suatu manfaat bagi gerakan pembebasan. Sehingga
banyak pemikir, memasukkan asumsi paradigma kritis ini dalam pemikiran keagamaan
mereka.
Cara
pembacaan fiqh juga beragam apabila dilakukan peninjauan melalui sudut pandang
hermeneutika. Fiqh merupakan suatu bentuk cara pembacaan terhadap teks, dan
cara pembacaan terhadap teks tersbeut, ada beberapa metode (sesuai dengan
aliran hermeneutika)
- aliran klasik (hermeneutika teoritis), meninjau teks untuk menemukan makna sesungguhnya dengan melakukan peninjauan kontekstual masa lalu penulisan atau dalam kasus al qur’an dengan mengetahui bagaimana sebuah teks itu dihasilkan oleh kultur
- aliran hermeneutika filosofis, lebih menekankan makna filosofis dari pembacaan teks. Yaitu bahwa pembacaan teks berarti suatu proses dialog antara pembaca dan teks untuk menemukan makna yang baru, bukan makna sesuai dengan penulis teks/
3.
aliran kritis, lebih menekankan tentang kepentingan-kepentingan yang ada pada
penulisan teks. Karena teks (sebagaimana tuturan dalam Speech Act) tidak pernah
lepas dari kepentingan.([19])
Sedangkan tambahan lagi adalah :
4.
Pendekatan Emilio Betti, yaitu metode penafsiran, terutama pada kitab suci,
yaitu untuk menemukan suatu nilai umum pada masa lalu (ketika teks ditulis)
untuk dibawa pada masa kini.
Beragam
cara menafsirkan tersebut juga termuat dalam kajian fiqh masa kini. Tetapi
secara umum model penafsiran pertama dan terakhir serta cara baca tekstualist,
merupakan suatu hal yang umum dalam melakukan pembacaan terhadap kitab suci,
termasuk bagaimana kita menentukan suatu hukum dalam al Al Qur’an tentang
tingkah laku atau fiqh. Kajian fiqh tidak pernah lepas dari pendekatan bayani,
bukan penafsiran fenomenologis atau model penafsiran yang meletakkan pengalaman
keberagamaan (irfani) sebagai model pendekatan penafsiran.
BAB III
Kesimpulan
Agama dalam studi
kefilsafatan diletakkan dalam posisi sebagai obyek ”penderita”. Agama yang
selama ini dianggap sebagai suatu hal yang sakral, serta mempunyai pandangan
yang dipercaya sebagai suatu hal yang valid yang menggambarkan seluruh
realitas, manusia, dan hari depan, dilakukan peninjauan dengan membuang sikap
takjub dan hormat padanya. Hal ini dikarenakan sifat dari filsafat sendiri
memiliki sifat kritis dan menyangkut bentuk perenungan atau memikirkan sesuatu sampai
tingkat sedalam-dalamnya. Sehingga kajian terhadap agama, ataupun tinjauan
agama yang dipelajari melalui fiqh, tidak lebih dari obyek lain yang tidak
mempunyai sifat yang sakral apabila dikaitkan dengan rasio.
Daftar Pustaka :
a. Hardiman, Fransisco
Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004)
b. Boeree, C. George.
Personality theories, melacak kepribadian Anda bersamaPsikolog Dunia, terj.
Inyiak Ridwan Muzir, Prisma Sophie, Yogyakarta, 2005.
c. Titus, Harold
H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984)
d. Thaha Jabir Al
‘Alwani, Ushul Al Fiqh Al Islami
e.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika
[1] The historian Ibn
Khaldun describes fiqh as “knowledge of the rules of God which concern the
actions of persons who own themselves bound to obey the law respecting what is
required (wajib), forbidden (haraam), recommended (mandūb), disapproved
(makruh) or merely permitted (mubah)” (http://en.wikipedia.org/wiki/Fiqh,
diakses pada tanggal 11 Oktober 2008)
[2] Titus, Harold H.
Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984) hlm. 21
[3] Yang
terpokok adalah bagaimana manusia dapat membebaskan diri dari semua belenggu,
termasuk belenggu keagamaan (Hardiman, Fransisco Budi, Melampaui Positivisme
dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 153
[4] Ada
ketersinambungan (persamaan) antara bentuk kepercayaan antara Yahudi, Kristen
dan Islam. Ketiganya mengasumsikan adanya pola hubungan Tuhan, Alam, Manusia
dan wahyu. Dimana Tuhan menjadikan semua alam manusia dan apa-apa didalamnya,
serta menjadikan manusia sebagai makhluk paling sempurna dan kepada mereka
diberikan wahyu sebagai petunjuk tentang semua bentuk kebenaran. Selain itu
mereka juga dijanjikan akan bentuk hari akhir yang baik (surga) apabila mereka
mematuhi perintah Tuhan (Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat,
hlm. 422)
[5] Thaha
Jabir Al ‘Alwani, Ushul Al Fiqh Al Islami: Source Methodology In Islamic
Jurisprudence: Methodology For Research And Knowledge (http://www.usc.edu/dept/MSA/law/alalwani_usulalfiqh/
index.html) Chapter Four: Al Imam Al Shafi’i
[6] Thaha
Jabir Al ‘Alwani, Ushul Al Fiqh Al Islami: Source Methodology In Islamic
Jurisprudence: Methodology For Research And Knowledge, Chapter Three:
Legislation After The Time Of The Sahabah
[7] Titus,
Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984) hlm. 15
[8] Dalam
wikipedia istilah ruang lingkup filsafat: Philosophy is the study of general
problems concerning matters such as existence, knowledge, truth, beauty,
justice, validity, mind, and language (http://en.wikipedia.org /wiki/Philosophy,
diakses pada tanggal 15 Juni 2009)
[9] Dalam
bukunya Harold H. Titus menyatakan bahwa cabang filsafat meliputi: Logika,
Etika, Epistemologi, dan Metafisika (Titus, Harold H. Persoalan-persoalan
Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm.
18-22)
[10] Ukuran-ukuran ethika atau dengan standart ethika apa suatu perbuatan
itu dianggap sebagai suatu hal yang benar/baik atau salah/buruk didasari pada
suatu pertimbangan berdasarkan tuntutan situasi yang menelingkupi kondisi
manusia. Seperti tuntutan seksual, makan, minum, bentuk spiritual, ketenangan
emosional dll. Sehingga bentuk tindakan yang terarah pada pencapaian tuntutan
tersebut dianggap sebagai suatu standart untuk menilai suatu bentuk tindakan.
Misalnya aliran Hedonisme, Epicureanism, Utilitarianism, merupakan aliran
berbeda tentang ukuran atau standart penilaian terhadap suatu tindakan, karena
mempunyai sudut pandang yang berbeda. Misalnya hedonisme hanya memusatkan pada
tuntutan pencapaian bentuk kenikmatan tubuh sebagai suatu hal yang baik atau
benar, dan epicureanism yang memusatkan pada tuntutan spiritual dan emosional sebagai
standart penilaian tindakan, sehingga keduanya mempunyai silang pendapat
tentang ”ukuran kebenaran” dari tindakan (Titus, Harold H. Persoalan-persoalan
Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm.
147-149)
[12] Suatu standart kebenaran dalam tingkah laku pada ajaran Agama Yahudi
dan Kristen (serta Islam) tidak berdasarkan pada pembenaran rasional ataukah
pembenaran pada aspek perasaan. Hanya kemauan Tuhan terhadap apa-apa yang
diinginkanNya untuk dilakukan manusia, sehingga manusia harus bertindak sesuai
dengan keinginan Tuhan. (Ibid., hlm. 154)
[13] Fenomenologi
diartikan sebagai as they are perceived from the first person perspective in
the natural attitude atau sebuah pengalaman yang diterima oleh orang pertama
dalam tindakan alaminya. (http://en.wikipedia.org/
wiki/Phenomenology_(philosophy(
[14] Kuasa tidak diartikan sebagai bentuk represif, melainkan produktif.
Kuasa tidak diartikan sebagai suatu bentuk kesadaran yang harus dirobohkan
melalui kesadaran. Dalam bahasa Foucault, ia hanya menggunakan kata ”body”
untuk merujuk pada suatu bentuk gerak empiris dari tubuh manusia yang teratur,
terkontrol, disiplin, dll. Dibalik Kontrol terhadap tubuh tersebut, ada ”suatu”
yang bermain di situ, yaitu apa-apa yang kita nyatakan sebagai ”suatu hal yang
benar”. Dan apa yang kita sadari sebagai ”Suatu hal yang benar” tidak
lebih dari tarik menarik diskursus antar kekuatan satu dengan kekuatan yang
lainnya. (relasi antar kuasa). Kuasa atau Power tidak dikaitkan dengan politik,
tetapi mempunyai cakupan yang sangat luas, apapun bentuk kuasa yang dapat
mengontrol tubuh dinamakan sebagai Kuasa. Sehingga tidak hanya penguasa,
melainkan juga tokoh agama, tuan, seorang bapak, pakar fiqh, sampai pegawai
Tata Usaha sekalipun. Kata kunci untuk memahami Foucault sebagaimana yang
dikatakan oleh Giovani Navarria bahwa Michael Foucault lebih memfokuskan pada
hubungan antara suatu kondisi pola kontrol tubuh dan bentuk pengetahuan
terhadapnya, misalnya saja munculnya keilmuan Psikiatri tidak pernah lepas dari
bentuk-bentuk kemunculan rumah sakit jiwa, prosedur penyingkiran orang gila
dalam masyarakat, aturan hukum dan aturan ketenagakerjaan (berdasarkan tulisan
Giovanni Navarria, Michel Foucault’s theory of power, (http://www.johnkeane.net/pdf_docs/
teaching_sources/navar/foucault13032007.ppt) diakses pada tanggal 15 Juni 2009)
[15] Berdasarkan pada pernyataan Giovani Navarria: “Foucault uses the
term governmentality to indicate the complex tactics, procedures and
apparatuses that attempt to control and influence the conduct of individuals by
using truth, knowledge, and political economy, rather than violence: in other
words, the art of governing by fostering willing compliance in subjects, rather
than achieving legitimacy through the help of brute force” , (http://www.johnkeane.net/pdf_docs/teaching_sources/navar/Foucault
13-03 2007.ppt) diakses pada tanggal 15 Juni 2009(
[16] Dalam pemikiran Psikoanalisa Freud, terdapat istilah mekanisme
pertahanan. Istilah ini mengacu pada cara bertahan yang dimiliki oleh seseorang
untuk menolak, mengalihkan ataupun memblokir energi instingtif. Mekanisme
pertahanan ini bergerak di alam bawah sadar manusia. Salah satu mekanisme
pertahanan alam bawah sadar adalah bentuk perilaku asketis. Dalam wujud
keseharian perilaku ini diwujudkan dalam penolakan segala bentuk kenikmatan.
Pada dasarnya bukan karena penghayatan akan kesucian, melainkan hal itu
merupakan sebagai bentuk mekanisme perilaku untuk mendamaikan prinsip Id
(nafsu) dan Superego. Suatu prinsip yang menghindarkan diri dari kecemasan
berlebihan pada taraf ego (kesadaran). Gaya hidup ini (asketis) adalah gaya
hidup a la pendeta, dan berkaitan dengan pencapaian spiritualitas. Oleh karena
itu spiritualitas dalam pemikiran Psikoanalisa dipahami sebagai bentuk
mekanisme pertahanan yang bergerak di luar kesadaran manusia itu sendiri.
(Boeree, C. George. Personality theories, melacak kepribadian Anda
bersamaPsikolog Dunia, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Prisma Sophie, Yogyakarta,
2005. hlm. 46)
[17] Dalam pemikiran Sigmund Freud, manusia diandaikan sebagai
perkembangan spesies dimana bentuk perilaku instingtifnya merupakan dasar
perilaku spesies. Kesadaran merupakan sebuah bentuk yang mempunyai peran sangat
kecil dalam mempengaruhi karakter manusia. Semua bentuk kepribadian ditentukan
oleh alam bawah sadar. ( Ibid., hlm. 37(
[18] Agama merupakan salah satu cara atau pola pandang terhadap dunia
yang statis. Dimana agama ingin mereduksi realitas terhadap gambaran, dan tata
gambaran tersebut tidaklah bermain dalam ruang hampa penguasaan. Deskripsi
agama terhadap dunia, memungkinkan suatu bentuk pengetahuan konservatif untuk
mempertahankan suatu kondisi masyarakat yang tetap. Agama hanya merupakan suatu
alat untuk memberikan gambaran realitas palsu dan mengalihkan dari kesadaran
bahwa hubungan masyarakat selama ini bukan hubungan fungsional dan harmonis,
melainkan bentuk tatanan menindas. Agama merupakan sebuah bentuk ideologis,
dimana bentuk ideologis bukan dihasilkan oleh konsensus atau bentuk komunikasi
alami manusia melainkan sebuah bentuk distorted communication atau bentuk
komunikasi terdistorsi. Sedangkan ideologi adalah A set of ideas that
structure a group’s reality, a system of representations or a code of meanings
governing how individuals and groups see the world. Struktur cara berfikir
ditentukan, tanpa disertai rasa kritis, dan mencegah penggunaan nalar /rasio
untuk melakukan evaluasi terhadapnya, sedangkan kritik terhadap dominasi
merupakan bentuk emansipatoris, sedangkan agama merupakan wilayah yang bebas
dari kritik. Dalam pemikiran Habermas, pengetahuan kritis merupakan suatu
bentuk pengetahuan yang dikonsepsikan yang memungkinkan manusia untuk
mengemansipasi diri mereka dari bentuk dominasi melalui cara melakukan refleksi
diri maupun mengambil metode psikoanalisa sebagai bagian dari paradigma
pengetahuan. (critical knowledge was conceptualized as knowledge that
enabled human beings to emancipate themselves from forms of domination through
self-reflection and took psychoanalysis as the paradigm of critical knowledge),
Rauno Huttunen, Critical Theory And Habermas,
(http://joyx.joensuu.fi/~rhuttun/habermas.ppt) diakses pada tanggal 25 Oktober
2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar