Secara Etimologi, Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu kata ta onta dan logia. Ta onta berarti segala sesuatu yang ada dan logia berarti ajaran/ilmu pengetahuan. Jadi, Ontologi berarti ajaran mengenai yang ada atau segala sesuatu yang ada.[2] Sedangkan Termilogi, Ontologi adalah ilmu yang menceritakan apa hakikat dari pengetahuan dan dari mana asal dan sumber pengetahuan tersebut.[3] Berdasarkan Defenisi diatas, Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.[4]
Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Christian Wolff (1679-1714).[5] Ontologi atau dikenal juga dengan metafisika umum, termasuk cabang ilmu filsafat yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga dengan demikain ilmu ini merupakan inti filsafat.
Berfikir ontologism ialah sikap manusia yang tidak lagi dalam kepungan kekuasaan mitis (mitos), manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya sepeti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakn bangsa-bangsa primitif, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ihwal atau masalah kehidupan yang dijumpai. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut rinciannya.[6]
B. Objek Kajian Ontologi
Ontologi merupakan salah satu cabang penting dalam Ilmu Filsafat, dan objek material Filsafat adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan.[7] Dalam hal itu berarti bahwa filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari mineral (benda mati), benda hidup (vegetative, animalia dan manusia), dan causa prima (sang pencipta).[8]
C. Beberapa Pandangan Filsuf Terhadap Objek
Persoalan dalam keberadaan (being = yang ada) menurut Ali Mudhofir (1996) ada tiga pandangan, yang masing-masing menimbulkan aliran yang berbeda. Tiga segi pandangan itu adalah sebagai berikut.[9]
1. Keberadaan Dipandang dari Segi Jumlah (Kuantitas)
Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas), artinya berapa banyak kenyataan yang paling dalam itu. Pandangan ini melahirkan beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya, yaitu:
a. Monisme
Aliran yang menyatakan bahwa hanya satu kenyataan fundamental. kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi tuhan atau substansi lainnya yang dapat diketahui. Tokohnya antara lain: Thales (625-545 SM), yang berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu substansi, yaitu air. Anaximander (610-547 SM), berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan terdalam adalah Aperion, yaitu sesuatu yang tanpa batas, tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia. Anaximenes (585-528 SM), berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan yang sedalam-dalamnya adalah udara. Filsuf modern yang termasuk penganut Minisme adalah B. Spinoza, berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan diidentikkan dengan alam (naturans naturata).[10]
b. Dualisme (Serba Dua)
Aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri. tokoh- tokoh yang termasuk alairan ini adalah Plato (428-348 SM), yang membedakan dua dunia, yaitu dunia indra (dunia baying-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M), yang membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan. Leibniz (1646-1716), yang membedakan antara dunia yang sesungguhyna dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804), yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena).[11]
c. Pluralisme (Serba Banyak)
Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi dan dua substansi melainkan banyak substansi. Para Filsuf yang termasuk Prulalisme di antaranya Empedokles (490-430 SM), yang menyatakn bahwa hakikat kenyataan terdiri dari empat unsure, yaitu udara, api, air dan tanah. Anaxagoras (500-428 SM), yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri atas unsure-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous. Dikatakannya bahwa nous adalah suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.[12]
2. Keberadaan Dipandang dari Segi Sifat (Kualitas)
Keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas) menimbulkan beberapa aliran sebagai berikut:
a. Spiritualisme
Ajaran yang mengatakan bahwa ajaran yang terdalam adalah roh (Pneuma, Nous, Reason, Logos) yakni roh yang mendasari seluruh alam. Spiritualisme seperti ini dilawankan dengan Materialisme.[13]
b. Materialisme
Adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada yang nyata kecuali materi. Materi adalah sesuatu yang dapat diraba, berbentuk, dan menempati ruang. Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih, dan rasa senang tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan. Tokoh aliran ini antara lain Demokritos (460-370 SM), berkeyakinan bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan badan. Thomas Hobbes (1588-1679), berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia merupakan gerak dari materi. Termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka.[14]
3. Keberadaan Dipandang dari Segi Proses, Kejadian, atau Perubahan
Aliran yang berusaha menjawab persoalan ini dalah sebagai berikut:
a. Mekanisme
Menyatakn bahwa semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan azas-azas mekanik (mesin). Semua peristiwa adalah hasil dari materi yang bergerak dan dapat dijelaskan menurut kaidahnya. Alam dianggap sebagai sebuah mesin yang keseluruhan fungsinya ditentukan secara otomatis oleh bagian-bagiannya. Pandangan ini dianut oleh Galileo Galilei (1564-1641).[15]
b. Teleologi (serba-tujuan)
Berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat, akan tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan. Dan sebab akibat hanyalah bagi alam untuk mencapai tujuannya.
c. Vitalisme
Memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika-kimiawi, karena hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf Vitalisme seperti Henry Bregson (1859-1941), menyebutkan elan vital, dan ini merupakan sumber dari sebab kerja dan perkembangan dalam alam.[16]
D. Ontologi Islam
Islam juga punya penalaran terhadap objek-objek Fisik dan Metafisik. Ilmuwan-ilmuwan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap status ontologism bukan hanya pada objek fisik (yang kasat mata), tetapi juga pada objek-objek metafisik (yang gaib). objek-objek fisik ini mereka sebut sebagai Mahsusat (objek-objek yang dapat ditangkap indra). Sedangkan objek-objek metafisik mereka sebut Ma’qulat (objek-objek yang tidak bisa ditangkap oleh indra, tetapi dapat dipahami oleh akal manusia). Metafisika diyakini memiliki status ontologism yang sama nyatanya dengan objek-objek fisik, bahkan mungkin lebih riil daripada objek-objek indra.[17]
Dalam Islam, ontologi itu tidak sekedar yang tampak dan dapat diserap oleh alam empiris, tapi lebih dari itu. Hakekat mutlak mendasari alam zahir; alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan-tumbuhan, dan alam-alam lainnya. Pemahaman ini agak berbeda dengan cara pamdang Barat yang membatasi dirinya dengan dunia empiris. Bagi mereka yang tampak dan diserap oleh panca indera itulah yang wujud. Sementara bagi Islam, yang wujud itu tidak sekedar fisik, tapi transfisik atau metafisik.
Sebagai bahan perbandingan mengenai konsep ontologi ilmu yang islami, mari kita lihat QS. Ali Imran ayat 190-191 sebagai berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.[18]
Juga QS. Ath-Tholaq ayat 12:
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.[19]
dan QS. Al-Hadid Ayat 3:
“Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”.[20]
Yang dimaksud dengan: yang Awal ialah, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, yang akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, yang Zhahir ialah, yang nyata adanya karena banyak bukti- buktinya, tiada diatasnya satu apapun, dan yang Bathin ialah yang tak dapat digambarkan hikmat zat-Nya oleh akal, dan tidak ada satupun yang menghalangi-Nya, dan dia lebih dekat kepada makhluk-Nya daripada makhluk itu sendiri.[21]
Dari ayat-ayat tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa Konsep Ontology Ilmu yang Islami memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-makhluk-an. Artinya, melihat realitas dari pemahaman adanya Allah sebagai Khalik (pencipta) dan segala sesuatu selainNya sebagai makhluk, segala atribut yang bisa secara benar dilekatkan pada makhluk adalah perwujudan niscaya karena kemakhlukannya. Jadi Ontologi disini mengandung pengertian tentang hakikat keberadaan Tuhan.
E. Sejarah Masuknya Filsafat ke Dalam Islam
Pemikiran dalam Filsafat Islam dimulai kira-kira pada tahun 700M, dan priode ini sering dinamakan priode skolastik sampai pada tahun 1450. Filsafat skolastik ialah filsafat yang berusaha memecahkan secara rasional mengenai persoalan-persoalan logika, sifat ada, kebendaan, kerohanian, dan akhlak dengan tetap menyesuaikan dengan kitab suci. Istilah skolastik tidak begitu banyak dipakai di kalangan orang-orang Islam. Melainkan cendrung memakai istilah Ilmu Kalam atau Filsafat Islam.[22]
Pemikiran Filosofis masuk ke dalam Islam melalui Falsafah Yunani dijumpai ahli-ahli fakir di Sirya, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan dan Falsafat Yunani datang ke daerah itu dengan ekspansi Alexander Agung ke Timur di abad ke IV sebelum Keristus.[23]
DAFTAR PUSTAKA
· Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia (Jakarta: Erlangga 2007).
· Nasution, Harun . Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press 1985), jilid II.
· Syafarudddin. Filsafat Ilmu: Mengembangkan Kreativitas Dalam Proses Keilmuan (Bandung: Cipta Pustaka 2009).
· Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Suatu Pengantar Populer ( Jakarta: Sinar Harapan, 2007).
· Suhartono, Suparlan. Dasar-Dasar Filsafat (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).
· Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).
· Wakaf Khadim al-haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya.
[2]Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 117.
[3]Syafarudddin, Filsafat Ilmu: Mengembangkan Kreativitas Dalam Proses Keilmuan (Bandung: Cipta Pustaka 2009), h. 34.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Ontologi
[5] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 118.
[6]Syafarudddin, Filsafat Ilmu: Mengembangkan Kreativitas Dalam Proses Keilmuan (Bandung: Cipta Pustaka 2009), h. 26, 27.
[7] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 6.
[8] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 84.
[9] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 118.
[10] Ibid.
[11] Ibid, h. 119.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid, h. 120.
[15] Ibid, h. 120.
[16] Ibid, h. 121.
[17] Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia (Jakarta: Erlangga 2007), h. 67.
[18] QS. Ali Imran ayat 190-191.
[20] QS. Al-Hadid ayat 3.
[21] Kutipan ini diambil dari Al-Qur’an dan Terjemahnya, Wakaf Khadim al-haramain asy-Syarifain, Catatan kaki yang ke 1543.
[22] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 171.
[23] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press 1985), jilid II, h. 46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar