Jumat, 12 November 2010

PENGARUH PELAKSANAAN SHALAT BERJAMA’AH TERHADAP PERILAKU SOSIAL

PENGARUH PELAKSANAAN SHALAT BERJAMA’AH
TERHADAP  PERILAKU SOSIAL

A.     LATAR BELAKANG
Shalat adalah  tiang agama dan merupakan perbuatan yang pertama kali di hisab oleh Allah SWT kelak. Secara ma’quli (pandangan akal). Statemen itu dapat dibenarkan, sebab aktifitas shalat mencerminkan kepribadian secara kafah.[1] Shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan sesungguhnya dengan shalat kita dapat selalu mengingat Allah dan shalat merupakan ibadah yang keutamaannya lebih besar daripada ibadah yang lainnya. Hal ini dijelaskan dalam QS. al-Ankabut: 45 yang berbunyi :
 اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ {العنكبوت/45}
Artinya:
“Bacalah al-Quran yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab(Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. al-Ankabut: 45).[2]
Berdasarkaan Tafsir al-Azhar Juz ke –21, ayat ini menjelaskan akibat atau kesan yang nyata dan jelas, atau yang positif dari sholat: “Sesungguhnya sembahyang itu adalah mencegah dari yang keji dan yang mungkar”. Bagian dari ayat ini telah menjelaskan bahwa sholat itu adalah benteng. Niscaya sholat yang akan dapat jadi benteng, membentengi diri kita dari perbuatan yang keji, seperti berzina, merampok, merugikan orang lain, berdusta, menipu dan segala perbuatan mungkar yakni yang dapat celaan dari masyarakat, ialah sholat yang dikerjakan dengan khusyu’, dengan ingat bahwa maksud sholat ialah karena melatih diri selalu dzikir, yaitu selalu ingat kepada Allah[3]
Shalat merupakan ibadah yang utama disisi Allah, berkali-kali al- Qur’an menegaskan bahwa Allah memerintahkan manusia agar mengerjakan shalat. Nabi Muhammad SAW juga memberikan pengertian bahwa amal ibadah yang pertama-tama kali di hisab di hari kiamat adalah shalat, jika shalatnya baik, maka baiklah semua amal perbuatannya, dan jika rusak shalatnya, maka biasanya amal yang lain ikut rusak[4]
Shalat lima waktu dapat dikerjakan sendiri dan dapat diselenggarakan berjama’ah, tetapi shalat berjama’ah lebih baik (afdhul) dan bermanfaat. Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 58 yang berbunyi:
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَعْقِلُونَ {المائدة/58}
Artinya :
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal”.(Q.S. al-Maidah : 58)[5]

Shalat berjama’ah merupakan suatu tindakan ibadah shalat yang dikerjakan bersama-sama, dimana salah seorang di antaranya sebagai imam dan yang lainnya sebagai makmum.[6] Shalat Jama’ah selain sarana ibadah kita kepada Allah SWT juga terdapat keutamaan dan aspek-aspek psikologis yang dapat memberikan motivasi sehingga akan membantu membentuk perilaku sosial seseorang.
B.     PERUMUSAN MASALAH
Berpijak dari apa yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai  berikut:
1.  Bagaimanakah Pelaksanaaan Shalat Berjama’ah?
2.  Bagaimanakah Perilaku Sosial?
3.  Apa Implikasi Shalat Berjama’ah Pada Perilaku Sosial?

C.     PEMBAHASAN
  1. SHALAT BERJAMA’AH
a.          Pengertian Shalat Berjama’ah
Menurut bahasa shalat adalah do'a,[7]. Kata “shalat” pada dasarnya berakar  dari kata “Shalat”  صلاة yang berasal dari kata صلى  يصلى . Kata “shalat” menurut pengertian bahasa mengandung dua pengertaian, yaitu “ berdo’a” dan “bershalawat”[8]. Al-Qur’an menyebutkan shalat pada banyak ayat, tidak kurang dari 90 ayat, kata “ shalat” mempunyai macam-macam arti : “Do’a”, “ Rahmat” dan “Istighfar” ( minta ampun)[9]
Shalat dalam arti do’a di jelaskan dalam al-Qur’an surat At- Taubah, ayat 103 yang memerintahkan Nabi untuk mendo’akan bagi orang-orang yang membayar zakat harta benda mereka; sebab do’a Nabi membawa ketenangan hati mereka.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ
 وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ {التوبة/103}
 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(At-Taubah: 103)[10]
Menurut Sayyid Sabiq, shalat ialah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir bagi Allah Ta’ala dan diakhiri dengan memberi salam.[11]
Dalam istilah ilmu fiqih, shalat adalah salah satu macam atau bentuk ibadah yang di wujudkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu disertai dengan ucapan-ucapan tertentu dan syarat-syarat tertentu pula.[12]
Sedangkan Jama’ah menurut bahasa adalah Al-jama’ah secara bahasa berasal dari kata al Jam’u. al Jam’u kebalikan dari al Mutafarruq (perpecahan). Dengan demikian kalimat ini untuk menyatakan bilangan sesuatu yang berskala besar. Al Jama’ah menurut istilah fuqaha adalah bilangan manusia yang berjumlah banyak, Al Kasani berkata:“ Al Jama’ah terambil dari kata al ijtima”. Jumlah terkecil sebuah jama’ah adalah terdiri atas dua orang yaitu antara imam dan makmum.[13]
Dalam fiqh Islam Dikatakan Apabila dua orang shalat bersama-sama dan salah seorang diantara mereka mengikuti yang lain, keduanya dinamakan shalat jama’ah.[14]
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa shalat jama’ah adalah ikatan makmum dengan imam dalam sholat dengan syarat-syarat yang ditentukan atau dikhususkan.
b.          Fungsi dan Tujuan Shalat Berjama’ah
1.          Fungsi Shalat Berjama’ah
a.           Sebagai tiang agama
b.          Sebagai sumber tumbuhnya unsur-unsur pembentuk akhlak yang mulia. Ini sesuai dengan makna ayat :

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ
 وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ {العنكبوت/45}

 “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah Shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari pada ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah tahu apa yang kamu kerjakan”. (Al-Ankabut: 45)[15]

c.           Sebagai satu cara untuk persatuan dan persaudaraan antar sesama muslim
            Dalam shalat berjama’ah dapat merealisasikan persatuan, kasih sayang dan persamaan yaitu ketika orang-orang yang shalat berdiri dalam satu shaf (barisan) dalam keadaan saling merapat lagi sama, tidak ada perbedaan diantara mereka.[16]
d.          Sebagai suatu pelajaran untuk meningkatkan disiplin dan pengendalian jiwa[17]
Sebagaimana Sabda Nabi SAW:

ﺍﻨﻤﺍ ﺍﻻﻤﺍﻢ ﻠﻴﯝﺗﻢ ﺑﻪ ﻓﺍﺬ ﺍﮐﺑﺭﻓﮐﺑﺮﻮﺍﻭﻻ ﺗﮐﺑﺮﻮﺍﺤﺘﻰ ﻴﮐﺑﺮﻮﺍ ﺭﮐﻊ ﻔﺍ ﺮﮐﻌﻮﺍ
ﻮﻻ ﺗﺭﮐﻌﻮﺍﺤﺘﻰ ﻴﺭﮐﻊ ﻮﺍ ﺴﺠﺪ ﻓﺍﺴﺠﺪ ﻮﺍ ﻮﻻﺘﺴﺠﺪﻮﺍﺤﺘﻰ ﻴﺴﺠﺪ.
“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya. Jika ia bertakbir maka bertakbirlah. Jika ia rukuk maka rukuklah.. Jika ia sujud maka sujudlah.

Dalam hadis tersebut jelas bahwa Shalat berjama’ah mempunyai Fungsi sebagai tempat untuk berlatih disiplin dan pengendalian jiwa yaitu dengan cara selalu mngikuti imam dalam semua takbir atau gerakannya dalam shalat, dan tidak mendahuluinya, memperlambat dari darinya, bersamaan dengan atau berlomba-lomba dengannya.

2.          Tujuan Shalat Berjama’ah
a.       Untuk mendapatkan pahala atau derajat yang lebih banyak, seperti dalam sebuah hadis:
ﻋﻦﺍﺒﻦﻋﻤﺮﻗﺍﻞ ﺮﺴﻮﻝ ﺍﻟﻟﻪ ﺼﻟﻰ ﺍﻟﻟﻪ  ﻋﻟﻴﻪ ﻮﺴﻟﻡ ﺼﻼﺓ ﺍﻟﺟﻤﺍﻋﺔ ﺘﻔﺿﻞﻋﻟﻰ
ﺼﻼﺓ ﺍﻟﻔﺬ ﺑﺴﺑﻊ ﻮﻋﺷﺮﯿﻦﺪﺮﺟﺔ
 “Abdullah bin Umar RA menceritakan bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Shalat berjama’ah itu lebih baik dari pada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat[18]
b.       Untuk mengingat Allah SWT
Hal ini sebagaimana firman Allah :
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَا عْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِ كْرِي {طه/14}
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Thaha :14)[19]
c.       Untuk melatih diri supaya disiplin menghadap Allah Dengan ditetapkannya dan ditentukannya shalat fardhu lima waktu dalam sehari semalam, serta dianjurkannya shalat berjama’ah, mendidik manusia agar selalu disiplin menghadapi Allah.
d.       Untuk menunjukkan kepada persamaan yang benar, memperkuat persatuan dan  kesatuan
Pada pelaksanaan shalat berjama’ah terlihat adanya suatu persamaan, yakni persamaan sebagai hamba Allah yang beribadah kepada Sang Pencipta, dan tidak adanya perbedaan antara seorang dengan orang lainnya. Mereka masing-masing berhak untuk berdiri sejajar dalam satu barisan, atau shaff tanpa membedakan usia, baju, jabatan, dan status.
e.       Untuk membentuk sikap dan budi pekerti yang baik serta akhlak yang mulia[20]
Bahwa disyariatkannya ibadah shalat dan di anjurkannya untuk berjama’ah, agar manusia senantiasa memelihara hubungan dengan Allah dalam wujud budi pekerti yang baik, akhlak yang mulia, serta keinsyafan yang sedalam-dalamnya akan kemaha kuasaan-Nya
c.           Dimensi Psikologis Shalat Berjama’ah
Di samping memiliki banyak manfaat dan pahala yang besar, shalat berjama’ah mempunyai dimensi psikologis tersendiri antara lain : Aspek demokratis, rasa diperhatikan dan berarti kebersamaan, tidak adanya jarak personal, terapi lingkungan.[21]
1.  Aspek demokratis
Aspek demokratis dalam shalat berjama’ah terdapat pada aktivitas sebagai berikut :
a)      Memukul kentongan atau bedug
Sebagai tanda memasuki shalat, di masjid atau musholla terutama di pedesaan ada kentongan atau bedug. Memukul kentongan atau bedug boleh dilakukan oleh siapa saja, tentunya harus mengerti aturan kesepakatan di daerah tersebut. Ini berarti Islam sudah menerapkan teori bahwa manusia itu berkedudukan sama.
b)      Mengumandangkan adzan
Adzan merupakan tanda tiba waktu shalat dan harus di kumandangkan oleh Muadzin. Pada prinsipnya siapa saja boleh mengumandangkan adzan. Hanya saja karena adzan merupakan bagian dari syiar Islam, maka lebih baik adzan di kumandangkan oleh seorang yang mengerti lafal, ucapan atau bacaan yang benar.
c)      Melantunkan iqomat
Iqamat merupakan tanda bahwa shalat berjama’ah akan segera dimulai.
d)      Pemilihan atau pengisian barisan atau shaf
Pada dasarnya siapa saja yang datang lebih dulu untuk mengikuti shalat berjama’ah, maka boleh menempati barisan/ shaff yang depan atau utama.
e)      Proses pemilihan imam
Imam adalah pemimpin dalam shalat berjama’ah, yang sudah memiliki kriteria atau syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’.

2.  Rasa diperhatikan dan berarti
Pada shalat berjama’ah ada unsur-unsur rasa diperhatikan dan rasa berarti bagi diri sendiri, hal ini terlihat pada beberapa aspek yakni:
a)      Memilih dan menempati shaff
Dalam shalat berjama’ah, siapa saja yang datang lebih dulu berhak untuk menempati barisan atau shaff yang pertama atau terdepan.
b)      Setelah shalat, jama’ah memiliki kebiasaan untuk bersalaman dengan jama’ah lain.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama dan berhak untuk menyapa lingkungan di sekitarnya.
c)      Pada saat membaca surat Al-Fatihah makmum mengucapkan “Amin (kabulkanlah do’a       kami)”, secara serempak, juga dalam mengikuti gerakan imam, tidak boleh saling mendahului. Hal ini menunjukkan bahwa adanya unsur ketaatan kepada pemimpin.
d)      Demikian pula saat mengakhiri shalat, jama’ah mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri. Ini menunjukkan bahwa sesama manusia untuk saling mendo’akan, saling menyejahterakan lingkungan sekitarnya.
3.  Perasaan kebersamaan
Shalat berjama’ah selain mempunyai pahala yang lebih banyak dari shalat, di dalamnya juga terdapat aspek atau unsur kebersamaan yakni kedudukan yang sama sebagai hamba Allah sehingga dapatmenghindarkan seseorang dari rasa terisolir, terpencil, dan asing di hadapan manusia lain.
4.  Tidak adanya jarak personal
Salah satu kesempurnaan shalat adalah lurus dan rapatnya barisan shaff. Ini berarti tidak ada jarak personal antara satu dengan yang lainnya. Karena masing-masing mereka berusaha untuk meluruskan dan merapatkan barisan, walaupun kepada mereka yang tidak kenal, namun merasa ada suatu ikatan, yakni ikatan aqidah atau keyakinan.
5.  Terapi lingkungan
Sebagai contoh di masjid sering diselenggarakan pembinaan setelah selesai shalat berjama’ah, kegiatan inilah yang ikut memberikan andil dan terapi lingkungan.

  1. PERILAKU SOSIAL
a.      Pengertian Perilaku Sosial
Menurut bahasa perilaku adalah “Tanggapan atau reaksi individual terhadap rangsangan atau lingkungan.[22] Perilaku biasanya juga disamakan dengan istilah sikap (attitude). Berikut ini beberapa definisi tentang perilaku yang dikemukakan oleh para ahli:
Menurut ngalim purwanto  “Sikap dalam bahasa Inggris disebut attitude, adalah suatu cara beraksi dengan cara tertentu terhadap suatu perangsang atau situasi yang dihadapi”.[23]
Sedangkan menurut pendapat Hendry Clay Lingren dan John. H. Harvey, dalam bukunya “An Introduction to Social Psychology”
Mendefinisikan “Attitude can be described as a learned predisposition to respond in a consistently or described manner with respect to a given object”. [24]
Artinya : Sikap dapat dijelaskan sebagai keadaan yang sudah dipelajari untuk merespon keadaan yang secara konsisten atau yang tergambar dengan mempertimbangkan objek yang ada.
Dalam kamus psikologi Hafi Anhari mengemukakan bahwa sikap atau attitude adalah suatu kestabilan relatif dan keadaan yang mudah terpengaruh untuk berlaku atau bertindak, dalam suatu cara tertentu terhadap pribadi, lembaga atau kabar.[25]
Beberapa pengertian di atas merupakan pengertian tentang sikap yang bentuknya tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi harus ditafsirkan lebih dulu sebagai tingkah laku. Dengan kata lain sikap adalah kesiapan bertindak dan bukan sebagai pelaksanaan keinginan atau motif tertentu. Menurut Dr. Sarlito Wirawan Sarwono yang dimaksud sikap sosial adalah sikap yang ada pada kelompok orang yang ditujukan kepada suatu objek yang menjadi perhatian seluruh orang-orang tersebut.[26]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial keagamaan adalah suatu perbuatan yang berdasarkan kesadaran untuk memperhatikan lingkungan sekitarnya.

b.      Pembentukan Perilaku Sosial
Manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lainnya. Karena manusia memiliki akal sebagai pembeda dan merupakan kemampuan yang lebih dibanding makhluk yang lainnya. Akibat adanya kemampuan inilah manusia mengalami perkembangan dan perubahan baik dalam psikologis maupun fisiologis. Perubahan yang terjadi pada manusia akan menimbulkan perubahan pada perkembangan pada pribadi manusia atau tingkah lakunya. Pembentukan perilaku tidak dapat terjadi dengan sendirinya atau Tanpa adanya proses tetapi Pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia, dan berkenan dengan objek tertentu. Menurut Djalaluddin Rakhmat tentang perkembangan perilaku manusia yaitu “Perilaku manusia bukan sekedar respon pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan, seluruh gaya psikologis yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hajat (life space). Ruang hajat terdiri dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang disadarinya dan kesadaran diri.”[27]
Menurut DR. W.A. Gerungan, perilaku dapat terbentuk karena adanya faktor-faktor intern dan faktor-faktor extern individu yang memegang peranannya.[28] Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri, ini dapat berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengelola pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar pribadi manusia yang bersangkutan, ini dapat berupa interaksi sosial di luar kelompok.
Menurut DR. Sarlito Wirawan Sarwono dalam bukunya "pengantar Umum Psikologi" pembentukan perilaku dapat terjadi dengan empat cara, yaitu:[29]

a)      Adopsi
Adalah kejadian dan peristiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lama kelamaan yang terserap pada individu sehingga mempengaruhi terbentuknya suatu sikap

b)      Deferensial
Berkaitan erat dengan intelegensi, banyaknya pengalaman, bertambahnya usia, sehingga hal-hal yang dianggapnya sejenis dapat dipandang tersendiri lepas dari jenisnya.
c)      Integrasi
Dalam pembentukan perilaku ini terjadi secara bertahap bermula dari pengalaman yang berhubungan dengan suatu hal tertentu dan pada akhirnya terbentuk perilaku mengenai hal tersebut.
d)      Trauma
Adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan sehingga menimbulkan kesan mendalam pada jiwa seseorang yang bersangkutan.

Jadi perilaku terbentuk oleh pengetahuan dan pengalaman seiring bertambahnya usia. Semakin luas pengetahuan seseorang tentang objek dan banyaknya pengalaman yang berkaitan dengan objek akan mengarahkan terbentuknya sikap yang kemudian dilanjutkan pada suatu perilaku tertentu.
c.       Aspek-Aspek Perilaku Sosial
1)      Toleransi
Selain manusia menjadi mahluk individu, manusia juga merupakan mahluk sosial yang didalam kehidupan tidak dapat hidup sendirian melainkan harus bisa hidup berdampingan dengan orang lain secara baik. Yang termasuk dalam toleransi adalah antara lain:
a)       Menghargai pendirian atau pendapat orang lain
Menurut Yusuf al-Qardlawiy dalam bukunya sunnah, ilmu pengetahuan dan peradapan yang diterjemahkan oleh abad badruzzaman, bahwa menghargai pendapat orang lain dapat dibedakan menjadi dua(2) hal yaitu:
1.       Perbedaan manusia dalam agama merupakan buah realitas yang dikehendaki Allah, yang tidak akan terlepas dari hikmah di baliknya, dan tidak bisa ditampik lagi
2.       Putusan akhir antara orang-orang yang berbeda pendapat, dan memberi putusan akan benar atau tidaknya keyakinan yang selama ini dipedomani, bukanlah dilakukan oleh manusia sekarang (di dunia ini), tetapi semua berpulang kepada Allah nanti pada hari kiamat.[30]
b)      Kerukunan
Perdamain dan kerukunan yang didambakan Islam, bukanlah yang bersifat semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap insan. Karena itu, langkah pertama yang dilakukan adalah mewujudkan dalam jiwa setiap pribadi. Setelah itu ia melangkah kepada unit terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Dari sini beralih ke masyarakat luas, seterusnya kepada seluruh bangsa dipermukaan bumi ini, dan dengan demikian dapat tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud hubungan harmonis dan toleransi dengan semua pihak.[31]
2)      Kebersamaan
Termasuk dalam aspek kebersamaan dalam perilaku sosial adalah persatuan atau kekompakan, kerjasama, gotong royong atau tolong menolong.

a)       Persatuan atau kekompakan
Menurut M. Quraish Shihab, persatuan itu tidak hanya terhadap sesama muslim saja, tetapi juga sebangsa dan sesama manusia pada umumnya. Namun sesuai al-Qur’an bahwa persatuan diutamakan bagi sesama agama Islam.[32] Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anbiya' ayat 92:
 إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ {الأنبياء/92}

b)      Kerjasama
Kerjasama berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama. Ia adalah suatu proses sosial yang paling dasar. Biasanya kerja sama melibatkan pembagian tugas, di mana setiap orang mengerjakan setiap pekerjaan yang merupakan tanggung jawabnya demi tercapainya tujuan yang sama.[33]
c)       Tolong menolong
Sebagaimana firman Allah SWT:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ
 إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ {المائدة/2}
 “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya”. (QS. al-Maidah: 2).[34]

3)      Persaudaraan
Dalam al-Qur’an, sebagaimana diungkapkan M. Qurasih Shihab dalam Wawasan al-Qur’an kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali. Kata ini dapat berarti:
1.       Saudara kandung atau saudara seketurunan
2.       Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga
3.       Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama
4.       Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham.

  1. PENGARUH SHALAT BERJAMA’AH TERHADAP PERILAKU SOSIAL
Untuk mengetahui implikasi pelaksanaan shalat berjama’ah terhadap perilaku sosial, terlebih dahulu memahami bagaimana cara pembentukan perilaku sosial keagamaan tersebut. Sedangkan berpengaruh dan tidaknya pelaksanaan shalat berjama’ah terhadap perilaku, maka perlu diketahui sejauhmana keutamaan dan aspek-aspek psikologis yang ada dalam shalat berjama’ah sehingga dapat memberikan motivasi kepada seseorang.
a)       Pembentukan perilaku sosial
Perilaku dapat terbentuk melalui empat cara yaitu:Adopsi, deferensial, intregasi, trauma.[35]
Dari keempat cara tersebut, pelaksanaan shalat berjama’ah dapat dikategorikan termasuk sebagai faktor pembentukan perilaku sosial. Cara-cara pembentukan perilaku sosial diperoleh dari pelaksanaan kedisiplinan shalat berjama’ah, kecuali trauma
b)      Keutamaan dan hikmah shalat berjama’ah
Di antara keutamaan shalat berjama’ah menurut DR. Fadhal Ilahi ialah:
1)      Allah SWT telah mengangkat kedudukan bekas-bekas orang yang berjalan menuju masjid, sehingga malaikat berjejal saling berebutan dalam menetapkan dan mengangkat kelangit.
2)      Shalat berjama’ah salah satu sebab memperoleh jaminan hidup baik dan mati dalam kebaikan.
3)      Mendapat jaminan dari Allah SWT
4)      Pahala orang yang keluar shalat berjama’ah dalam keadaan suci (berwudhu) seperti pahala orang yang berhaji dengan memakai ihram.
Keutamaan berjalan menuju masjid untuk melakukan shalat wajib  berjama’ah Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Umamah RA berkata: Rasul SAW bersabda yang artinya:
 “Barang siapa keluar dari rumahnya dalam keadaan suci (berwudhu) menuju shalat wajib (dengan berjama’ah) maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji dengan memakai ihram”.

5)      Shalat berjama’ah melindungi seorang hamba dari syaithan.
6)      Barang siapa duduk dalam rangka menunggu shalat maka sama halnya dia dalam shalat, dan para malaikat memintakan ampunan untuknya serta mendoakan baginya dengan rahmat.
7)      Shalat berjama’ah mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan shalat secara sendirian dengan 27 derajat
8)      Keutamaan yang besar bagi yang menempati shaf  (barisan) terdepan antara lain: seperti shafnya para malaikat,  Allah SWT dan para malaikat bershalawat untuk shaf yang paling depan
9)      Kekaguman Allah SWT kepada seseorang yang melakukan Shalat berjama’ah.
10)  Diampuni segala dosa-dosa orang yang melakukan shalat berjama’ah.
Demikian diantara Keutamaan shalat berjama’ah yangmana akan memberikan motivasi dan spirit bagi orang yang melaksanakannya, dengan obsesi untuk mendapatkan keutamaan tersebut tentunya ia akan melaksanakan shalat berjama’ah dengan baik.
Sedangkan di antara hikmah-hikmah yang ada dalam shalat berjama’ah menurut Hasbi Ash Shiddiqy dan juga Zakiyah Darajat adalah antara lain:

1.       Membiasakan bersatu dan tolong menolong
2.       Menyempurnakan shalat orang-orang yang kurang ibadatnya
3.       Kebaikan dunia. Dengan berkumpulnya orang yang berdekat-dekatan rumah di dalam masjid selaku rumah Allah SWT, lima kali dalam satu hari untuk menyembah Allah SWT dan memperbaiki urusan-urusan dunia, mudahlah berhasilnya kebaikan bagi urusan dunia dan kejayaannya, karena berkenal-kenalan dan berkasih-kasihan itu membangkitkan rahmah dan syafaqah (kasih mengasihi) serta cinta mencintai
4.       Menghidupkan rasa merdeka, persamaan dan persaudaraan
5.       Membiasakan ummat mentaati pemimpin-pemimpinnya
6.       Kebaikan agama. Dengan berkumpulnya orang-orang alim dengan orang-orang yang jahil dalam mengerjakan shalat, menjadilah orang-orang jahil mengetahui, apa-apa yang tidak diketahuinya baik mengenai soal dunia, maupun soal akhirat
7.       Menolong orang-orang yang sama bershalat dengan jalan menghindarkannya dari kelupaan supaya ia dapat menghasilkan khusyu’ dan kehadiran hati yang menjadi jiwa shalat.[36]
8.       Dapat membantu konsentrasi pikiran. Di samping itu setiap pekerjaan yang dilakukan dengan bersama-sama akan menambah semangat orang yang melakukannya, serta timbulnya perasaan bahwa yang dikerjakan itu penting sehingga dorongan untuk mengerjakannya meningkat.[37]

D.    KESIMPULAN
Berdasarkan urian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.       Shalat jama’ah adalah shalat yang dikerjakan dengan berkelompok sedikitnya terdiri atas dua orang yang mempunyai ikatan yaitu seorang dari mereka menjadi imam dan yang lain menjadi makmum dengan syarat-syarat yang ditentukan, dimana makmum wajib mengikuti imam dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Selain shalat berjama’ah beribadah kepada Allah juga terdapat hikmah dan keutamaan dari shalat tersebut.
2.       Fungsi dan Tujuan Shalat berjama’ah

a.       Fungsi Shalat berjama’ah

1)          Sebagai tiang agama
2)          Sebagai sumber tumbuhnya unsure-unsur pembentukan Akhlak
3)          Sebagai satu cara untuk persatuan dan persaudaraan antar sesama muslim
4)          Sebagai suatu pelajaran untuk meningkatkan disiplin dan penguasaan diri

b.       Tujuan Shalat berjama’ah

1)          Untuk mendapatkan pahala atau derajat lebih banyak
2)          Untuk mengingat Allah
3)          Untuk melatih diri supaya disiplin menghadap Allah
4)          Untuk menunjukkan kepada persamaan yang benar, memperkuat perasatuan dan kesatuan.
5)          Untuk membentuk sikap dan budi pekerti yang baik serta akhlak yang mulia
3.       Di samping memiliki banyak manfaat dan pahala yang besar, shalat berjama’ah mempunyai dimensi psikologis tersendiri antara lain : Aspek demokratis, rasa diperhatikan dan berarti kebersamaan, tidak adanya jarak personal, terapi lingkungan
4.       Perilaku tidak terbentuk dengan sendirinya, perilaku dapat terbentuk karena adanya faktor-faktor intern dan faktor-faktor extern individu yang memegang peranannya. Ada empat cara pembentukan perilaku, yaitu: adopsi, deferensial, intregasi, dan trauma.
5.       Keutamaaan dan hikmah shalat berjama’ah
a.       Keutamaan shalat berjama’ah
1)      Allah SWT telah mengangkat kedudukan bekas-bekas orang yang berjalan menuju masjid
2)      Shalat berjama’ah salah satu sebab memperoleh jaminan hidup baik dan mati dalam kebaikan.
3)      Pahala orang yang shalat berjama’ah seperti pahala orang yang berhaji
4)      Shalat berjama’ah melindungi seorang hamba dari syaithan.
5)      orang yang menunggu shalat maka sama halnya dia dalam shalat,
6)      mempunyai pahala atau derajat lebih tinggi yaitu 27  derajat.
7)      yang menempati shaf  (barisan) terdepan seperti shafnya para malaikat,  Allah SWT dan para malaikat bershalawat untuk shaf yang paling depan
8)      Kekaguman Allah SWT kepada yang melakukan Shalat berjama’ah.
9)      Diampuni segala dosa-dosa orang yang melakukan shalat berjama’ah
b.      Hikmah shalat berjama’ah
1)      Membiasakan bersatu dan tolong menolong
2)      Menyempurnakan shalat orang-orang yang kurang ibadatnya
3)      Kebaikan dunia.
4)      Menghidupkan rasa merdeka, persamaan dan persaudaraan
5)      Membiasakan ummat mentaati pemimpin-pemimpinnya
6)      Kebaikan agama.
7)      Dapat membantu konsentrasi pikiran.
6.       Shalat berjamaah yang dilaksanakan secara terus menerus dan khusyu’ dapat membentuk perilaku sosial seseorang sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa yang mampu bersosialisasi dengan masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang harmonis dan hidup berdampingan.
E.     PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat penulis sampaikan, disadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dalam menyusun kata, landasan teori, pemuatan data dan juga analisisnya. Untuk itu, kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca yang budiman. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial, Jakarta: Rineka Cipta.
al-Qardlawiy, Yusuf. 2001. Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Anhari, M. Hafi. 1996. Kamus Psikologi, Surabaya: Usaha Nasional.
 Ashadi dan Yusuf, Cahyo. 2000. Ahlak Membentuk pribadi Muslim, Semarang: Aneka Ilmu.
Asy-Syarkani al-falahi, Mukhlas. 2003. Rahasia dan Keajaiban Takwa, Jogjakarta : Ad-Dawa Press.
Azhar Basyir, Ahmad. 1998. Falsafah Ibadah Dalam Islam, Jakarta: Perpustakaan Pusat Universitas Islam Indonesia.
Clay Lindgre, Henry dan John Harvey, H.1981. An Introduction to Social Psychology, London: Masby Company.
Daradjat, Zakiah. 1996. Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Penerbit J-art.
Dewan Redaksi. 1993. Ensiklopedia Islam, Jakarta : Ihtiar Baru Yan Hoeve.
Gerungan, W.A.1986. Psikologi Sosial, Bandung: Eresco.
Haryanto, Sentot. 2002. Psikologis Shalat, Yogyakarta : Mitra Pustaka.
Hasan, Ali. 2000. Hikmah Shalat dan Tuntunannya,  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hasymi, Ahmad. 1948. Muhtar Al Hadis Al Nawawi, Indonesia, Darul Ihya'.
Mansyur, Kahar. 1992. Terjemah Bulughul Marom Jilid 1, Jakarta : Rhineka Cipta.
Muhaimin, dkk. 1994. Dimensi Studi Islam, Surabaya: Karya Abditama.
Mujib, Abdul. 1999. Kamus Istilah Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus.
Musnid bin Muhsin Al-Qohthoni. 2006. "Seindah Sholat Berjama’ah", Terjemahan Effendi Abu Ahmad Solo:  Al-Qowam.
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Pusat. 1983. Ilmu Fiqih Jilid I, Jakarta: Pustaka Pelajar.
Purwadarminta, W.J.S.1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Purwanto, Ngalim. 1996. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rahmat, Jalaluddin. 1996. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Roucek, J.S. dan Werren, R.I. 1984. Pengantar Sosiologi, terj. Sahat Simamora, Jakarta: Bina Aksara.
Sabiq, Sayyid. 1973. Fiqih Sunnah Jilid 1, Terjemahan Mahyudin Syaf Bandung: Al Ma’arif.
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Penerbit Mizan.
Syaikh Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (HAMKA). 1976. Tafsir al-Azhar Juzu’ ke –21, Surabaya: Bina Ilmu.
Tholib Raya, Ahmad dan Musdah, Siti. 2003. Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta: Kencana.
Wirawan Sarwono, Sarlito. 1982. Pengantar Ilmu Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang.



[1] Muhaimin, dkk, Dimensi Studi Islam, (Surabaya: Karya Abditama, 1994), hlm. 261.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Penerbit J-art, 2004), hlm. 402
[3] Syaikh Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar Juzu’ ke –21, (Surabaya: Bina Ilmu, 1976), hlm. 12-13
[4] Mukhlas Asy-Syarkani al-falahi, Rahasia dan Keajaiban Takwa, (Jogjakarta : Ad-Dawa Press, 2003), hlm. 52
[5] Departemen Agama RI, Loc. Cit, hlm. 119
[6] M. Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 318
[7] M. Ali Hasan, Hikmah Shalat dan Tuntunannya,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000) hlm. 19.
[8] Ahmad Tholib Raya dan Siti Musdah, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet I, hlm. 174.
[9] Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah Dalam Islam, (Jakarta :Perpustakaan Pusat Universitas Islam Indonesia, 1988), Cet III, hlm. 29
[10]  Departemen Agama RI, Loc. Cit, hlm. 204
[11] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 1,Terjemahan Mahyudin Syaf(Bandung: Al Ma’arif, 1973), hlm. 205.
[12] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Pusat, Ilmu Fiqih Jilid I, ( Jakarta: Pustaka Pelajar, 1983), hlm 79
[13] Sholih bin Ghanim bin Abdullah As-Sadlani, terj. M. Nur Abrari, Shalat Berjama’ah Panduan Hukum, Adab, Hikmah, Sunnah dan Peringatan penting tentang pelaksanaan Shalat berjama’ah , (Solo: Pustaka Arafah, 2002), Cet. I hlm. 17-18
[14] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 106
[15] Departemen Agama RI, loc. cit, hlm. 402
[16] Musnid bin muhsin Al-Qohthoni, "Seindah Sholat Berjama’ah", Terj. Effendi Abu Ahmad (Solo:  Al-Qowam, 2006), hlm. 79
[17]  Ibid, hlm. 84-85

[18] Kahar Mansyur, Terjemah Bulughul Marom Jilid 1, (Jakarta : Rhineka Cipta, 1992), hlm. 170
[19] Departemen Agama RI, loc. cit, hlm. 314
[20] Ashadi dan Cahyo Yusuf, Ahlak Membentuk pribadi Muslim, (semarang: Aneka Ilmu), hlm. 28
[21] Sentot Haryanto, Psikologi Shalat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hlm.
[22] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 859
[23] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 141

24 Henry Clay Lindgren dan John H. Harvey, An Introduction to Social Psychology, (London: Masby Company, 1981), hlm. 110.
[25] H. M. Hafi Anhari, Kamus Psikologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hlm. 81
[26] Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 163
[27] Jalaluddin Rahkmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 1996), hlm. 27
[28] W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1986), hlm.155
[29] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Ilmu Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm 104
[30] Yusuf al-Qardlawiy, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 429-430.
[31] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), cet. II, hlm. 379
[32] Ibid, hlm. 334.
[33] J.S. Roucek dan R.I. Werren, Pengantar Sosiologi, terj. Sahat Simamora, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 54-55.

[34] Departemen Agama RI, loc. cit, hlm. 107
[35] Sarlito Wirawan Sarwono, loc. cit, hlm. 104
[36] T.M. Hasbi Ash Shiddeqy, Loc.cit., hlm. 559-562
[37] Zakiah Daradjat, Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar