Senin, 15 November 2010

PERGURUAN TINGGI ISLAM ASIA TENGGARA DI ERA GLOBALISASI

Membangun Jaringan Untuk Menghadapi Tantangan

Oleh :

Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA

Disampaikan Pada Seminar Internasional

“Prospek Pendidikan Tinggi Islam Asia Tenggara di Era Globalisasi”

Kerja Sama Kopertais Wil. IX dan

Southeast Asian Forum For Islamic Higher Education

Tanggal, 7 Nopember 2009

Medan-Indonesia

Dunia telah menjelaskan kepada seluruh komunitas umat manusia bahwa ilmu pengetahuan berada pada posisi yang sangat tinggi, sehingga posisioning ilmu pengetahuan tersebut berimplikasi pada dua hal. Pertama, posisi orang yang terdidik berada pada tempat yang strategis dalam pengembangan masyarakat dan peningkatan martabat mereka. (QS 35/Fathir : 58/al-Mujâdalah : 11)

Fakta-fakta sejarah bercerita bahwa kebangkitan umat manusia di Yunani kuno didorong oleh kegiatan pengembangan pengetahuan dan filsafat. Pendidikan penelitian dan eksperimen telah melahirkan gelombang perubahan di zaman keemasan Islam. Modernitas dan kemodernan dunia tersembul di Barat karena didorong oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi berbasisi pendidikan. Maka jika bagian dunia lain ingin mengupayakan perubahan besar dalam perkembangan peradaban, haruslah berbasis pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian pemberdayaan dunia pendidikan.[1]

Kedua, posisi ilmu pengetahuan yang strategis tersebut menyebabkan posisi segala kegiatan pendidikan menjadi sangat strategis pula. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan dalam pengertian yang luas, yaitu setiap usaha dan aktivitas untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada orang lain untuk memanusiakan manusia yang berkualitas prima yang dilakukan dengan cara pencerahan, perberdayaan, pemberadaban, serta pengimanan.

Salah satu unsur pendidikan Islam yang sangat penting dan berpengaruh adalah perguruan (pengajian) tinggi. Sebab disinilah ilmu pengetahuan dikembangkan secara advance, dan menemukan metode konkritisasinya dalam pengembangan kehidupan dan peradaban. Untuk itu peran perguruan tinggi Islam menjadi salah satu diskursus yang sangat penting dalam membicarakan globalisasi dunia dan dampaknya bagi kehidupan umat manusia di Asia Tenggara.

Kalau kesiapan perguruan tinggi Islam menghadapi abad 21 diperbincangkan secara serius, tempaknya memang sangat relevan, mengingat abad mendatang itu -- seperti yang telah kita rasakan saat ini -- sangat kompetitif, global, dan sering kali penuh nuansa krisis dan keguncangan. Sehingga semua lembaga perlu mengaca diri, sejauh mana ia memiliki kesiapan ( konsep, SDM, dan mental ) untuk memasukinya. Artinya, hendaknya sebuah lembaga tidak hanya memiliki modal “alif, ba, ta” saja dalam memasuki dunia global itu.

Perguruan tinggi Islam di Asia Tenggara memiliki keniscayaan mempersiapkan diri untuk berperan dan menjadi penuntun utama bagi perkembangan masyarakat dalam globalisasi itu. Sebab perguruan tinggi merupakan unsur penting dari empat penggerak utama globalisasi itu, disamping perbankan dan manufacture.[2]

Peran Pencerahan Perguruan Tinggi Dalam Pergaulan Global

Pergaulan global yang didorong oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi informasi tealah membawa dunia kepada situasinya yang mengglobal dengan cirinya antara lain: Pertama. Terjadi pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi; dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah keseimbangan kepentingan (balance of interest).

Kedua. Hubungan antaranegara/bangsa secara struktural berubah dari sifat keteragantungan (dependency) ke arah saling tergantung (interdependency); hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada posisi tawar (bargaining position).

Ketiga. Batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan suatu negara dan komunitas dalam interaksinya dengan negara (komunitas lain) ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative adavantage) dan keunggulan kompetitiv (competitiv adavantage).

Keempat. Persaingan antarnegara sangat diwarnai oleh perang penguasaan ilmu pengetahuaan dan teknologi tinggi.Setiap negara terpaksa menyediakan dana yang besar bagi penelitian dan pengembangan.

Kelima. Terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak efisien.[3]

Selain mendatangkan berbagai kegunaan, kemudahan, kenikmatan, dan kenyamanan hidup, globalisasi dunia juga menyuguhkan efek samping yang membuat masyarakat memerlukan pencerahan, advokasi, dan pendampingan dari perguruan tinggi sebagai lembaga paling bertanggung jawab untuk menghilangkan kegamangan masyarakat dalam menapaki jalan hidup mereka di dalamnya. Dampak negatif tersebut di antaranya. Pertama. Pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang tidak mempunyai implikasi materi (tidak produktif) dianggap sebagai tindakan yang tidak rasional.

Kedua. Kejatuhan manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk material, nafsu hayawaniyyah menjadi pemandu kehidupan. Ketiga. Peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedangkan urusan dunia menjadi wewenang sains (sekularistik). Keempat. Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan, dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam prilaku dan tindakan.

Kelima. Gabungan ikatan primordial dengan sistem politik modern melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme. Keenam, Individualistik. Seseorang bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Ikatan Keluarga dianggap sebagai lembaga yang teramat tradisional.

Ketujuh. Terjadinya frustrasi eksitensial (existential frustration) dengan ciri-cirinya: (1) hasrat yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure), yang biasanya tercermin dalam prilaku yang berlebihan untuk mengumpul uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work), dan kenikmatan seksual (the will to sex). (2) kehampaan eksistensial berupa perasaan serba hampa, tak berarti hidupnya, dll. (3) neurosis noogenik; perasaan hidup tanpa arti, bosan, apatis, tak mempunyai tujuan, dan sebagainya.[4]

Kedelapan. Manusia akan menghadapi tantangan globalisasi nilai. Pada sisi lain bisa pula mengalami kecemasan informasi; orang mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, tetapi belum tentu mampu mengelolanya dengan baik. Terjadinya ketegangan-ketegangan: informasi di kota dan di desa, kaya dan miskin, konsumeris, dan kekurangan, dan lain-lain.

Sebenarnya informasi global yang melanda dunia saat ini kebanyakan merupakan produk negeri-negeri maju. Informasi yang datang sampai ke kamar-kamar tidur kita (melalui tv, internet, dan sebagainya) berasal dari negeri-negeri Second Wave (masyarakat industrial) atau Third Wave (masyarakat Informatika). sementara kita penerimanya, masih ke banyakan berada pada tahap First Wave (masyarakat agraris), bahkan masih ada warga kita yang belum masuk zaman agraris.

Kesembilan. Sebagian orang terutama generasi muda kehilangan kreativitas, karena kenikmatan kemajuan. Sehingga apabila muncul tantangan, mereka akan mengalami keterkejutan.[5]

Pendidikan Islam Sebagai Agen Perubahan dan Pencerahan

Berbicara mengenai pendidikan Islam di tengah dunia yang sedang mengalami globalisasi, maka poros pembicaraan adalah bagaimana memberdayakan manusia di era global mealalui pendidikan dengan tetap berpegang teguh pada agaama mereaka.

Kehidupan global adalah hal yang tidak dapat dihindari, dan memang tidak perlu untuk dihindari. Seperti pernah ditulis Akbar S. Ahmad :

Abad ke-21 tidak dapat memandang rendah Islam, karena Islam tetap merupakan suatu kekuatan tersendiri. Sebaliknya, Islam pun harus menerima abad ke-21. Sikap menolak bukanlah jalan keluar yang tepat. Dengan kata lain Islam harus akrab dengan abad-21. Dengan cara itu Islam pun akan memperoleh keharmonisan dalam tubuhnya sendiri.[6]

Bertitik tolak dari gagasan pembangunan pendidikan Islam di Asia Tenggara, maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana memberdayakan umat Islam mealalui pendidikan agar turut mewarnai budaya global, jika bukannya memimpinnya. Untuk itu peran pendidikan Islam sangat signifikan dalam memberi bekal kepada umat manusia untuk dapat bergerak lincah di kancah globalisasi tersebut.

Dalam perspektif ini maka tujuan pendidikan Islam dapat dilihat antara lain. Pertama. Tujuan Individual yang meliputi: (1). Meningkatkan upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan tehknologi, agar anak didik memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di kancah global. (2). Menyemai perkembangan yang seimbang bagi setiap individu dengan menyuburkan potensi fitrah beragama, fisik, intelektual, emosi, moral, dan estetika. (3). Melembagakan studi masa depan pada institusi-institiusi pendidikan Islam di Asia Tenggara dan menginternalisasikannya pada diri setiap insan pendidikan. Hal ini penting, mengingat bahwa salah satu faktor penyebab umat Islam sering terbelakang adalah orientasi mereka yang selalu terpokus pada masa lalu. (4). Menghilangkan pandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan dan kehidupan. (5). Mengakses puncak piramida revolusi informasi, dan jika mungkin memimpin proses penggunannya. (6). Pendidikan Islam haruslah diorientasikan untuk meyakinkan umat Islam bahwa kemajuan yang dicapai umat manusia saat ini adalah milik bersama umat manusia, dimana umat Islam turut memiliki kontribusi di dalamnya. (7). Melakukan revitalisasi dan modernisasi dalam agama pada berbagai aspeknya, serta menjadikan aspek paling dinamis dari agama Islam menjadi standart keberagamaan umat Islam.

Kedua. Tujuan Ekonomi, yaitu untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas perancang dan pelaksana yang cakap, rasional dan bertanggung jawab untuk memberdayakan diri sendiri, dan memberikan kontribusi bagi pemberdayaan masyarakat, serta kemajuan bangsa dan negara.

Ketiga. Tujuan Politik. Orientasi pendidikan disini adalah membangun individu yang memiliki nasionalisme, setia kepada negara, memiliki patriotisme, serta sadar akan hak dan tanggung jawabnya kepada negara dan bangsanya.

Keempat. Tujuan Sosial, yang meliputi: (1). Menegaskan makna dan hakekat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia. (2). Memberikan daya banding kepada umat Islam agar mereka tidak gugup atau kaget berhadapan dengan kehidupan modern. (3). Menampilkan keberagamaan yang lebih sejuk dan ramah, berdasarkan pemahaman terhadap nilai-nilai universal yang diajarkan Islam dan teologi inklusif yang diperankan Nabi Muhammad saw. Sengan begitu maka corak keberagamaan (religiositas) yang perlu dikembangkan adalah ‘cara beragama moderat’.[7](4). Pendidikan Islama di Asia Tenggara hendaklah menumbuhkan kepercayaan diri umat Islam. (5). Menghilangkan teologi kemiskinan dari tubuh umat Islam. (6). Menumbuhkan Ukhuwah Islamiyah yang lebih universal dan produktif serta mencakup berbagai segi kehidupan umat Islam. Hasl ini penting mengingat bahwa ukhuwah islamiyah di Asia Tenggara belum bersifat produktif yang dapat menghasilkan karya besar dan memberi kontribusi bagi peradaban Islam modern. (7). Mengupayakan penghapusan kemiskinan dan ketimpangan sosial yang masih menghimpit sebagian masyarakat Asia Tenggara.

Problema Dunia Pendidikan Kita

Secara garis besar kualitas pendidikan kita masih belum mencaapai apa yang kita harapkan. Peringkatnya masih di bawah perguruan tinggi-perguruan tinggi sekuler. Kelambanan peningkatan kualitas tersebut diakibatkan antara lain.

Pertama. Perumusan kurikulum pendidikan kita belum dapat mengantisipasi cepatnya tantangan dan transformasi sosial serta ilmu pengetahuan, termasuk perubahan situasi politik dan pengelolaan pemerintahan di masing-masing negara.

Kedua. Komersialisasi pendidikan lebih menonjol daripada visi bahwa pendidikan itu sebagai transmisi ilmu dan transfer ilmu pengetahuan sebagai jalan satu-satunya pengembangan sumber daya manusia dan daya saing bangsa. Hal ini diperparah uleh kecenderungan materialistik dan pragmatisme masyarakat, termasuk insan pendidikan yang menjadikan tugasnya sebagai tugas sampingan (‘nyambi’) di samping kegiatan mencari “tambahan penghasilan lainnya”.

Ketiga. Kualitas tenaga pendidik yang sangat rendah akibat tidak tersedianya kesempatan yang cukup untuk mengembangkan keahlian dan skiilnya serta kurangnya karakter peneliti di kalangan sebagian besar tenaga pendidik kita.

Keempat, tingkat keterpelajaran masyarakat yang masih rendah menyebabkan sedikitnya kontribusi masyarakat dan lingkungan pendidikan terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada.

Kelima. Lemahnya kokritisasi ilmu pengethuan dalam pengembangan peradaban dan kesejahteraan umat manusia, akibat rendahnya budaya eksperimen di dunia pendidikan kita.

Faktor-faktor itu menyebabkan para lulusan dunia pendidikan kita menjadi gamang dalam memainkan perannya sebagai agen perubahan di era global serta lemahnya kemampuan mereka dalam sosial engineering atau penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteran umat manusia.

Pada saat yang sama juga ilmu pengetahuan yang mereka miliki kurang aplicable dan berfungsi bagi peningkatan taraf hidup dan pengembangan masyarakat.[8]

Problema-problema pendidikan tersebut juga dibarengi dengan menurunnya kualitas moral akademik dunia pendidikan kita yang meneyebabkan tujuan hakiki dari pendidikan itu belum tampak pada kehidupan dunia pendidikan dan sebagian masyarakat Asia Tenggara.

Secara garis besar ada empat unsur yang terpenting dalam pembangunan pendidikan Islam Asia Tenggara. Pertama. Materi keilmuan yang ingin ditransfer. Kedua, tenaga pengajar (dosen) sebagai pihak pentransfer. Ketiga. Murid atau mahasiswa sebagai penerima transfer ilmu. Keempat, sarana-sarana yang digunakan dalam kegiatan transfer tersebut. Keempat unsur ini selayaknya menjadi pusat perhatian forum kerja sama perguruan tinggi Islam Asia Tenggara dalam membangun pendidikan di kawasan ini.

Materi keilmuan yang ditransfer adalah ilmu pengetahaun yang benar (Islam). Di sini tidak dikenal adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Dengan demikian setiap informasi keilmuan adalah ilmu pengetahuan Islam yang diajarkan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Dalam perspektif ini dikenal adanay wahyu Tuhan dalam bentuk kitab (The Word of God = Kalâmullah), wahyu Tuhan yang terjadi (The Work of God= fi’lullâh), baik di alam sekitar maupun pada diri manusia itu sendiri.[9]

Sementara itu profesi kehidupan tertinggi dalam perspektif Islam adalah pengajar (dalam arti yang luas), sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Jadilah kamu sebagai guru atau murid atau pendengar atau simpatisan, jangan kamu menjadi yang kelima yang akan menyebabkanmu binasa”. (al-Hadîs).

Posisi strategis ini tidak hanya dimiliki profesi keguruan, tetapi aktivitas transfer ilmu untuk setiap bidang kehidupan. Oleh karenanya institusi pendidikan hendaknya menjadi teladan, dan untuk itu ia layak mendapat penghormatan ( dari Allah dan manusia).

Kegiatan mencari ilmu haruslah dengan penuh kesungguhan (jaddun). Oleh karenanya seluruh kegiatannya merupakan fi sabilillah. Karena aktivitas ini merupakan fi sabilillah, maka kegiatannya pun harus didasarkan pada niat yang baik dan ikhlas (liyatafaqqahu fiddin).

Dengan demikian sarana yang digunakan dalam pendidikan (gedung, referensi, busana, media), haruslah baik, halal, dan sesuai standard, agar efektif untuk mencerdaskan dan memperbaiki budi pekerti.

Unsur-unsur penting yang tidak memenuhi standart akan berakibat pada kegiatan pendidikan yang tidak efektif atau pendidikan yang hanya bisa mencerdaskan, tetapi tidak dapat membangun integritas kepribadian islami, seperti diharapkan dalam pendidikan.

Bertitik tolak dari analisis di atas, maka kompetensi yang dimiliki lulusan pendidikan Islam adalah kehandalan dalam hal Intellectual Quation (IQ), Emotional Quation (EQ), dan Spiritual Quation (SQ), dengan ciri-ciri sebagai berikut:

§ Memiliki penguasaan ilmu yang mumpuni dan kemampuan mengintegrasikan ulûm al-naqliyah dan ulûm al-aqliyah, serta konkritisasinya di tengah kehidupan yang nyata.

§ Memiliki kemahiran hidup (living skills), sehingga para lulusannya mempunyai sifat mandiri (self relience) yang tinggi tanpa tergantung sepenuhnya kepada pihak lain.

§ Memiliki tauhid yang benar sebagai kerangka dasar (Welstanchaung) dalam memandang hidup dan setiap permasalahan.

§ Memimiliki keluhuran moral, kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.

Persoalan domestik Perguruan Tinggi Islam Asia Tenggara

Lembannya perkembangan perguruan tinggi Islam Asia Tenggara juga diakibatkan oleh berabagai problema domestik perguruan tinggi-perguruan tinggi yang kita dimiliki, di antaranya. Pertama. Kurangnya daya baca terhadap perkembangan informasi ilmu pengetahauan. Kedua. Kurangnya penjelajahan dan kemampuan mengakses informasi ilmu pengetahuan. Ketiga. Rendahnya kualitas SDM dan minat melakukan riset di kalangan tenaga penbdidik perguruan tinggi Asia Tenggara

Keempat. Memudarnya tradisi dialogis di lingkungan perguruan tinggi Asia Tenggara. Kelima. Konstruksi produk yang monolitik, terbatas hanya lulusan. Keenam. Belum terciptanya academic atmosfer yang sesungguhnya di kampus-kampus kita. Ketujuh. Belum terbangunnya networking yang penuh keakraban antar perguruan tinggi Islam di Asia Tenggara. Kedelapan. Profesionalisme tenaga pengaajar yang belum terbangun. Kesembilan. Tidak tegaknya moral akademik dan jati diri akademisi Asia Tenggara. Kesepuluh. Terbatasnya sarana dan fasilitas yang dimiliki perguruan tinggi Islam bila dibanding dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang bersifat umum.

Selain melihat problema domestik perguruan tinggi Islam Asia Tenggara, diperlukan analisis mengenai potensi yang dimiliki masing-masing perguruan tinggi Islam yang ada. Pertama. Tradisi dialogis para intelektualnya sebagai salah satu penggerak perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua. Jumlah Perguruan tinggi yang terus bertambah. Ketiga. Adanya tradisi scientifik oriented dan intelektualisme akademisi Asia Tenggara. Keempat. Kosmopolitanisme para tokoh dan para ahl;i yang terdapat di perguruan tinggi Islam Asia Tenggara. Kelima. Adanya watak komunikatif atau relationship yang menjadi tradisi para ahli di kawasan searantau ini. Keenam. Penghargaan yang tinggi pada ilmu pengetahuan dan para ilmuan, Ketujuh. Semakin terciptanya reading nation yang akomodatif sehingga percepatan keterpelajaran masyarakat Asia Tenggara akan semakin cepat tercapai.

Upaya Pemberdayaan Perguruan Tinggi Melalui Kerja Sama

Untuk meningkatkan kemampuan perguruan tinggi sebagai lembaga penggerak perubahan dan pencerahan bagi masyarakat Asia Tenggara dalam menghadapi dan melakoni globalisasi dengan tetap berpegang teguh pada agamanya, maka upaya-upaya pemberdayaan perguruan tinggi yang mungkin dilakukan melalui kerja sama antara lain:

Pertama. Meningkatkan upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi agar kaum terpelajar Asia Tenggara rnemiliki keunggulan komparatif dan kernpetitif di kancah global. Ini dapat dilakukan melalui pertukaran dosen (tenaga pengajar), pertukaran mahasiswa, joint research, joint publication, dan lain-lain.

Kedua. Melakukan gerakan bersama untuk merevitalisasi kegiatan akademik sehingga tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilakukan perguruan tinggi Asia Tenggara dapat mengikuti, jika bukannya sejajar dengan perguruan tinggi lainnya di dunia. Ketiga. Setiap kampus perguruan tinggi Islam Asia Tenggara perlu teruis menggelorakan academik atmosfer. Keempat. Melembagakan studi masa depan pada institusi-institusi pendidikan kita, baik formal maupun informal.

Kelima. Menghilangkan pandangan dikomotis tentang ilmu pengetahuan dan kehidupan. Keenam. Mengakses puncak piramida revolusi informasi, dan jika mungkin memimpin proses penggunaannya. Ketujuh. Meningkatkan kualitas SDM perguruan tinggi Asia Tenggara, baik keunggulan ilmiah, keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Kedelapan. Membangun jaringan (networking) perguruan tinggi Asia Tenggara yang kuat dan dinamis sehingga asetiap pemenuan para ahli dapat diakses dan disosialisasikana di setiap neagara. Pada saat yang sama dapat memberi spirit bagi para akademisi lainnya.

Dalam hal ini terlihat betapa strategisnya peran Souteast Asian Forum For Islamic Higher Education, (dan lembaga-lembaga lain) yang saat ini melakukan berbagai pertemuan dan kegiatan untuk membangun keberdayaan perguruan tinggi Islam Asia Tenggara.

Kesembilan, setiap perguruan tinggi Islam perlu terus menerus berusaha secara sungguh-sungguh untuk penegakan moral akademik. Seabab dalam perseep[ektif Islam pencaapaian pengetahuan yang tinggi dan diridhoi Allah hendaklah dengan menempatkan moral di atas ilmu. (al-adabu fauqa al-‘ilm).

Peran Pemberdayaan Masyarakat

Adalah sangat menarik bahwa dalam penilaian mutakhir, keberhasilan perguruan tinggi tidak lagi hanya diukur dari sudut keberhasilannya mencetak lulusan dan karya-karya ilmiah teoritis yang mereka hasilkan, tetapi juga dilihat dari arti dan pengaruh keberadaannya bagi masyaraakat di sekitarnya. Untuk itu maka salah satu agenda kerja sama perguruan tinggi Islam Asia Tenggara adalah meningkatkan kemampuan perguruan tinggi dalam memberdayakan (empowering) masyarakat di sekitarnya. Usaha-usaha tersebut antara lain.

Pertama. Perguruan Tinggi hendaknya mampu meyakinkan umat Islam bahwa kemajuan yang dicapai umat manusia saat ini adalah milik bersama umat manusia, di mana umat Islam turut memiliki kontribusi di dalamnya. Kedua. Melakukan revitalisasi dan modernisasi agama dalam berbagai aspeknya. Ketiga. Menegaskan makna dan hakekat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia. Keempat. Memberikan daya banding kepada umat Islam agar mereka tidak 'gugup' atau kaget berhadapan dengan kehidupan global.

Kelima. Menampilkan keberagamaan yang lebih sejuk dan ramah, berdasarkan pemahaman terhadap nilai-nilai universal yang di ajarkan Islam dan teologi inklusif sebagaimana diperankan nabi Muhammad SAW.

Keenam. Pendidikan perlu diarahkan bagi penumbuhan kepercayaan diri umat Islam. Ketujuh. Menghidupkan visi ekonomi dan'teologi komersial' di kalangan umat Islam. Kedelapan. Menghilangkan teologi kemiskinan dari tubuh umat Islam. Kesembilan. Menumbuhkan ukhuwah islamiyah yang lebih universal dan mencakup berbagai segi kehidupan umat Islam. Kesepuluh. Mengupayakan penghapusan kemiskinan dan ketimpangan sosial yang saat ini masih menggurita banyak masyarakat Asia Tenggara.

Penutup

Analisis di atas memperlihatkan betapa kompleksnya tugas perguruan tinggi Islam Asia Tenggara baik dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam pencerahan dan pemberdayaan masyarakat agar mereka tidak gamang dalam menjalankan hidup di era globalisasi, yang sesuangguhnya tengah mereka jalani.

Dalam menjalankan tugas berat dan mulia ini perguruan tinggi manapun tidak akan dapat melakukannya secara sendiri-sendiri melainkan dengan kerja sama dan berbasis jaringan.

Dengan demikian kerja sama yang lebih erat dan produktif di masa yang akan datang tidak sekedar kebutuhan lokal dan bersifat sesaat tetapi menjadi kebutuhan kollektif dan bersifat strategis serta jangka panjang. Itulah yang menjadi tugas kita semua untuk hadir di sini. Wa Allâhu A’lamu bi al-Shawâb.



[1] Lihat, Joseph R. Strayer Hans W. Gatzke, The Mainstream of Civilization, (New York: HarcourtbBrace Jovanovich Publisher, 1984. Lihat pula, Osman Bakar, Islam and Civilizational Dialog, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1977. Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).

[2] Lihat Syahrin Harahap, Islam Dinamis, (Yoyakarta: Tiara Wacana, 1998).

[3] Situasi baru dunia itu senantiasa menjadi pusat perhatian para ahli ketika membicarakan bagaimana setiap komunitas harus mengantisipasi atau menjadi pemain utama dalam globalisasi dunia itu. Antara lain lihat Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas: Membangun Kesalehan Modern, (IAIN Press, 2009).

[4] Victor Frankl, Psychotherapy Existensialism, (Penguin Books, 1973). Lihat pula Hanna Djumhanna, “ Dimensi Spiritual Dalam Psikologi Kontemporer” dalam, ‘Ulûm al-Qur’ân, No. Vol. V 1994), hlm. 18-19.

[5] Syahrin Harahap, Islama dan Modernitas.

[6] Akbar S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sense Of Muslim History and Society, (London and New York: Routledge 1990), Hal. 8

[7] Cara beragama seperti ini akan membuat umat Islam dapat memimpin (spiritualitas) kehidupan global dengan tetap meneladani kehidupan Rasulullah Saw. Lihat Syahrin Harahap, ‘Menumbuhkan Cara Beragama Moderat’ makalah pada Dialog Antariman tingkat internasional di Sumatera Utara, Maret 2009.

[8] Hampir semua komponen masyarakat dan user keluaran dunia pendidikan kita merasa adanya kelemahan para lulusan dari sudut konkritisasi ilmu pengetahuan bagi kebutuhan dan problema kehidupan. Hal ini antara lain disebabkan para tenaga pendidik yang berdiri di menara gading, menyampaikan rumus dan formula, tanpa peranah melihat apakah rumus dan formula yang diajarkan link dan match dengan kebutuhan para pengguna (user).

[9] Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, Al-‘Urwat al-Wusqâ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar