Mantuq adalah sesuatu (hukum) yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan (tersurat). Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan.
Sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat). Jadi mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT;
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا (الإسراء:23)
"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanla hkepada merekaperkataan yang mulia". (Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum. Pengertian mantuq yang tersurat dalam ayat tersebut adalah, diharamkanya berkata-kata yang tidak baik kepada orang tua (mendesah, membentak, dan mencaci maki). Sedangkan pengertian mafhum yang tersirat adalah tidak diperbolehkan (haram) memukul dan menyiksa orang tua.
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum. Pengertian mantuq yang tersurat dalam ayat tersebut adalah, diharamkanya berkata-kata yang tidak baik kepada orang tua (mendesah, membentak, dan mencaci maki). Sedangkan pengertian mafhum yang tersirat adalah tidak diperbolehkan (haram) memukul dan menyiksa orang tua.
PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM
A. MANTUQ
Dalam hasanah ilmu ushul fiqh mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Nash; yaitu suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya dan tidak mungkin di ta’wilkan atau diarahkan ke dalam pengertian lain. Seperti contoh dalam firman Allah SWT;
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا. (البقرة:175)
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S Al-Baqarah:175)
Kata al-bai' (jual beli) atau al-riba adalah suatu lafadz yang jelas pengertianya yang mana untuk memahami kata tersebut tidak membutuhkan ta'wil (asumsi).
2. Dhahir, yatiu suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya, namun masih menimbulkan asumsi makna (pengertian) lain yang derajatnya di bawah makna aslinya (majaz). Seperti firman Allah SWT
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء. ( النساء:43)
"Atau menyentuh perempuan". (An-Nisa':43)
Lafadz "al-lams" dalam ayat tersebut mempunyai dua pengertian. Secara dhahir (haqiqi) lafadz "al-lams" mempunyai arti "menyentuh" dengan tangan. Jadi hukum menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu merupakan proses dari dhahir sebuah dalil. Namun dalam sisi yang lain lafadz "al-lams" apa bila dilihat dari majaznya mempunyai arti "jima". Artinya, berdasarkan ayat tersebut yang membatalkan wudlu bukan menyentuh perempuan akan tetapi men-jima' perempuan yang diambil dari pengertian secara majaz.
Seperti contoh lain dikatakan; "Saya melihat harimau". Secara dhahir (haqiqi), kata harimau mempunyai arti "hewan buas yang suka memangsa". Namun kata harimau juga mempunyai arti majaz yaitu "seorang pemberani".
B. MAFHUM
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan hukum yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya "membentak".
Mafhum Muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:
a). Fahwal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan lebih utama (berat) daripada yang diucapkan. Seperti "memukul" orang tua haram hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari haramnya "membentak" orang tua. Bahkan "memukul" dapat dikatakan lebih tidak diharamkan karena tidak hanya dapat menimbulkan sakit hati, namun lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka fisik.
b). Lahnal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti contoh "membakar" harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum dari memakan harta anak yatim dengan dhalim, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا [النساء: 10]
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". (Q.S. An-Nisa: 10)
Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa memakan harta anak yatim dengan dzalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul hukum haram "membakar" harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara "memakan" yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan "membakar" yang dihasilkan dari kefahaman, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti contoh "membakar" harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum dari memakan harta anak yatim dengan dhalim, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا [النساء: 10]
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". (Q.S. An-Nisa: 10)
Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa memakan harta anak yatim dengan dzalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul hukum haram "membakar" harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara "memakan" yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan "membakar" yang dihasilkan dari kefahaman, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian hukum yang dipahami berbeda daripada ucapan (mantuq), baik dalam istbat (menetapkan) maupun nafi (mentiadakan). Seperti firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)
Ayat di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat jum'at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)
Ayat di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat jum'at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum.
SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH
Karena mafhum mukhalafah adalah proses hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq, maka diperlukan beberapa syarat agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih. Untuk syahnya mafhum mukhalafah diperlukan empat syarat:
1. Mafhum Mukhalafah harus tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق [الإسراء :31]
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin¬an”. (Q.S. Isra’ ayat 31).
Ayat tersebut di atas secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena "takut muskin". Mafhum mukhalafah-nya berarti "membunuh anak tidak karena takut miskin". Dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain yaitu;
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ. [الإسراء :33]
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran". (QS. Isra’:33)”
Berdasarkan dalil mantuq di atas, baik takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin (mafhum) tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak.
Contoh mafhum mukhalafah yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ. (الإسراء:23)
"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Berdasarkan ayat di atas secara mantuq disebutkan tidak boleh berkata-kata kasar terhadap orang tua. Apa bila difahami dengan mafhum mukhalafah berarti selain berkata-kata kasar seperti memukul diperbolehkan. Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) seperti ini tidak dibenarkan karena bertentangan mafhum muwafaqahnya, yaitu "tidak boleh memukul".
2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh;
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ. (النساء. 23)
"Dan anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri". (QS. An-Nisa':23)
Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa "anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh dinikahi". Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah mengatakan "yang kamu pelihara" hanya berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3. Lafadz yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Seperti contoh;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البحارى)
“Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". (HR. Bukhari)
Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti "muslim" lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu "diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim". Sebab perkataan "muslimun" hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.
4. Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam Al-Baqarah;187:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
Dalil di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البحارى)
“Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". (HR. Bukhari)
Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti "muslim" lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu "diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim". Sebab perkataan "muslimun" hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.
4. Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam Al-Baqarah;187:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
Dalil di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.
Wallahu a’lam bi ash-shawaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar