Rabu, 29 Desember 2010

Seperti Apa Anda Mengukir Sejarah?

"The difference between a successful
person and others is in a lack of will"
~ Vince Lombardi, Football Coach

Tahukah anda, kebanyakan manusia cukup puas
hanya dengan...

Lahir - Hidup - dan lalu meninggal.

Hingga akhirnya yang tertinggal hanya
tiga baris di batu nisannya :

Si X, lahir tanggal sekian, dan meninggal
tanggal sekian!

Inginkah kita menjalani hidup apa
adanya seperti itu?
kalau tidak.....
Seperti apa kita akan mengukir sejarah?

Ada 3 hal yang bisa membedakan kita
dengan kebanyakan orang dalam mengukir
sejarah, yaitu...

Kemauan, Keilmuan dan Kesempatan.

1. Kemauan

Kemauan menjadi kata kunci yang paling
penting dalam menentukan sejarah hidup
kita.

kita mau menjadi apa? Seperti apa? dan
di mana? Tentunya hanya kita yang
paling mengetahuinya!

Cobalah catat semuanya. Baik itu
melalui memori, diary, atau melalui
selembar kertas sekali pun! kita pasti
punya kemauan!

Jangan pernah katakan kita tidak punya
kemauan. Hidup itu terlalu pendek untuk
disia-siakan.

2. Keilmuan

Percaya, segala sesuatu itu pasti ada
ilmunya! Jika anda punya kemauan dan
memiliki ilmunya, maka segala usaha anda
akan tercapai dengan lebih baik.

Itu sebabnya kita harus mau belajar
dan belajar. kita bisa belajar dimana
saja, kapan saja, dan dengan siapa
saja.

Ingat, tidak pernah ada kata terlambat
untuk belajar, mengenal, memahami, dan
mengamalkan sesuatu hal yang bermanfaat
bagi kehidupan kita, begitu juga bagi
orang lain.

Dan satu lagi....

3. Kesempatan

Jika kemauan ada, keilmuan ada, maka
tinggal kesempatanlah yang memutuskan
apakah kita bisa mengukir sejarah
dengan baik atau tidak.

Kesempatan ini bisa datang dari mana
saja, tergantung kecekatan kita dalam
memanfaatkan setiap peluang yang ada.

Kita tahu, seringkali kesempatan itu
hadir, tapi kita tidak mampu
memanfaatkannya dengan benar, karena
keilmuannya kurang, meski keinginan
kita itu sebenarnya sudah besar.

Jika ini terjadi, tidak jarang orang
menyesal dan kadang menjadi berfikir
bahwa nasib selalu tidak berpihak
padanya.

Sebenarnya tidak demikian ! Dia
hanya tidak tahu bagaimana cara
menyatukan 3K! Yaitu...

Kemauan, Keilmuan dan Kesempatan!

Nah, sekarang kita tahu, apa yang
harus dilakukan untuk bisa mengukir
sejarah dengan baik dalam hidup kita!

Padukan antara kemauan, keilmuan dan
kesempatan. Jika kemauan sudah ada,
keilmuan sudah ada, maka kesempatan itu
sebenarnya bisa dicari dan diupayakan!

Dan percaya... ketika ketiga unsur ini
berpadu dalam hidup anda, maka sejarah
kebesaran tentang anda telah dimulai. :-)

Senin, 20 Desember 2010

Isim Isyarah (Kata Tunjuk)

اسْمُ الإِشَارَةِ
Isim Isyaroh (Kata Tunjuk)


Isim Isyarah Mufrad (tunggal) mudzakkar dan mu’annats
بِذَا لِمُفْــــــرَدٍ مُذَكَّــــــرٍ أَشِـــــــرْ ¤ بِذِي وَذِهْ تِي تَا عَلَى الأنْثَى اقْتَصِرْ
Menunjuklah kamu! dengan menggunakan ذَا untuk kata tunjuk mufrad mudzakkar. Dan ambil cukupkanlah! dengan menggunakan ذي - ذه - تي - dan تا untuk kata tunjuk mufrad mu’annats.
Isim Isyarah Mutsanna (dual) mudzakkar dan mu’annats
وَذَانِ تَــــانِ لِلْمُثَنَّى الْمُرْتَفِعْ ¤ وَفِي سِوَاهُ ذَيْنِ تَيْنِ اذْكُرْ تُطِعْ
Adapun ذَانِ (male) dan تَــــانِ (female) digunakan untuk kata tunjuk Mutsanna (dual) yang mahal rofa’. Dan yg selain mahal rofa’ (mahal nashab dan jar-nya), sebutkanlah! ذَيْنِ (male) dan تَيْنِ (female), maka kamu termasuk orang yg taat.
Isim Isyarah Jamak mudzakkar dan mu’annats
وَبِأُوْلَى أَشِرْ لَجِمْعٍ مُطْلَقَـــاً ¤ وَالْمَدُّ أَوْلَى وَلَدَى الْبُعْدِ انْطِقَا

Menunjuklah kamu! dengan menggunakan أُوْلَى untuk kata tunjuk jamak secara mutlak (untuk male atau female) adapun memanjangkannya adalah lebih utama (menjadi: أُوْلآءِ ). Dan ucapkanlah olehmu! untuk kata tunjuk jauh ……
Penggunaan Kata Tunjuk Jauh
بِالْكَافِ حَرْفَاً دُوْنَ لاَمٍ أَوْ مَعَهْ ¤ وَالَّلامُ إنْ قَدَّمْـــتَ هَـا مُمْتَنِـــعَهْ
… dengan menambah huruf Kaf dengan tanpa Lam atau menyertainya (menjadi داك atau ذالك). Penggunaan tambahan Lam itu dicegah apabila kamu mendahulukan dengan huruf Tanbih هَا (menjadi: هَذَاكَ, tidak boleh هَذَالِكَ ).
Isim Isyarah Makan (Kata tunjuk tempat) Dekat
وَبِهُنَـا أَوْ ههُنَـا أَشِـــرْ إلَى ¤ دَانِي الْمَكَانِ وَبِهِ الْكَافَ صِلاَ
Menunjuklah kamu! kepada tempat yang dekat dengan menggunakan هُنَـا atau ههُنَـا. Dan sambungkanlah! dengan Kaf pada Isim Isyarah tempat tsb, untuk ….
Isim Isyarah Makan (Kata tunjuk tempat) Jauh
فِي الْبُعْدِ أَوْ بِثَمَّ فُهْ أَوْ هَنَّا ¤ أَوْ بِهُنَــالِكَ انْــطِقَنْ أَوْ هِنَّــا
… tempat yang berada jauh, atau ucapkan! dengan memilih menggunakan ثَمَّ atau هَنَّا, ataupun ucapkanlah dengan menggunakan هُنَــالِكَ atau هِنَّــا.

Sabtu, 18 Desember 2010

Kritik Anda adalah Kue Anda

"Anda tidak berhak dipuji kalau tidak
bisa menerima kritikan."
-- Halle Berry, 2005

Itulah kalimat dahsyat yang disampaikan
Halle Berry, artis peraih Oscar melalui
film James Bond 'Die Another Day' di
tahun 2004 ketika mendapat piala Razzie
Award.

Razzie Award adalah penghargaan yang
diberikan kepada mereka yang dinilai
aktingnya buruk. Label pemain terburuk
ini didapatkan Halle setelah memainkan
perannya di film 'Cat Woman'.

Ia adalah orang yang pertama kali
langsung datang ke tempat pemberian
penghargaan tersebut.
Tidak ada Aktor dan Artis lain
sebelumnya yang sanggup datang dan
hanya menyampaikan pesannya melalui
video.

Sambutannya sungguh menarik : "Saya
menerima penghargaan ini dengan tulus.
Saya menganggap ini sebagai kritik
bagi saya untuk tampil lebih baik di
film-film saya berikutnya. Saya masih
ingat pesan ibu saya bahwa... 'Kamu
tidak berhak dipuji kalau kamu tidak
bisa menerima kritikan'."

Tepukan tangan sambil berdiri sebagai
bentuk ketakjuban dari para hadirin
sangat memeriahkan malam itu. Ya,
sangat sedikit orang yang sanggup
menerima kritikan seperti Halle.

Nah, sekarang, apa arti kritik bagi
diri kita? Apakah itu musibah buruk?
Seperti bencana yang tidak terduga,
atau... simbol kehancuran diri? Adakah
yang bisa menganggap kritik layaknya ia
menerima pujian?

Kritik memiliki banyak bentuk...

Kritik bisa berupa nasehat, obrolan,
sindiran, guyonan, hingga cacian pedas.
Wajar saja jika setiap orang tidak suka
akan kritik.

Bagaimanapun, akan lebih menyenangkan
jika kita berlaku dan tampil sempurna,
memuaskan semua orang dan mendapatkan
pujian.

Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa
kita bisa aman dari kritik? Tokh kita
hanyalah manusia dengan segala
keterbatasannya. Dan nyatanya, di dunia
ini lebih banyak orang yang suka
mengkritik, daripada dikritik. :-)

Kalau kita suka sepak bola, pasti
sering mengamati para komentator dalam
mengeluarkan pernyataan pedasnya.

Padahal belum tentu kepandaian mereka
dalam mengkritik orang lain sebanding
dengan kemampuannya jika disuruh
memainkan bola sendiri di lapangan. ;-)

Belum lagi para pakar dan pengamat
politik, ekonomi, maupun sosial. Mereka
ramai-ramai berkomentar kepada publik,
seolah pernyataan merekalah yang paling
benar. :-)

Namun bukan itu permasalahannya!

Pertanyaannya sekarang adalah...
seandainya diri kita mendapatkan kritikan,
yang sakitnya melebihi tamparan, apa
yang harus kita lakukan?

Jawabannya adalah...

=> Nikmatilah setiap kritikan layaknya
kue kegemaran kita!

Mungkinkah? Mengapa tidak! :-)

Kita mempunyai wewenang penuh untuk
mengontrol perasaan kita.

Berikut tips untuk saat menghadapi
kritik:

1. Ubah Paradigma kita Terhadap Kritik

Tidak sedikit orang yang jatuh
hanya gara-gara kritik, meski tidak
semua kritik itu benar dan perlu
ditanggapi. Padahal, kritik menunjukkan
adanya yang *masih peduli* kepada kita.

Coba perhatikan perusahaan-perusahaan
besar yang harus mengirimkan berbagai
survey untuk mengetahui kelemahannya.

Bayangkan jika kita harus melakukan
hal yang sama, mengeluarkan banyak uang
hanya untuk mengetahui kekurangan
kita! LoL. :-)

Kritik merupakan kesempatan untuk
koreksi diri. Tentu saja akan
menyenangkan jika mengetahui secara
langsung kekurangan kita, daripada
sekedar menerima dampaknya, seperti
dikucilkan misalnya.

2. Cari tahu sudut pandang si pengkritik

Tidak ada salahnya mencari tahu detil
kritik yang disampaikan. Kita bisa
belajar dari mereka dan melakukan
koreksi terhadap diri diri kita. Bisa jadi
kritik yang disampaikan benar adanya.

Jika perlu, justru carilah orang yang
mau memberikan kritik sekaligus saran
kepada diri kita. Tokh kita tidak akan
menjadi rendah dengan hal itu.

Justru sebaliknya, pendapat orang bisa
jadi membuka persepsi, wawasan, maupun
paradigma baru yang mendukung goal
kita.(Kug kayak main bola,,,,hehehehe)

3. Kritik tidak perlu dibalas dengan kritik!

Tanggapi kritik dengan bijak. Kita
tidak perlu merasa marah atau
memasukkannya ke dalam hati. Toh
menyampaikan pendapat adalah hak semua
orang.

Nikmatilah apapun yang mereka
sampaikan. Tidak ada ruginya untuk
ringan dalam mema'afkan seseorang.
Anggaplah semua itu untuk perbaikan
yang menguntungkan diri kita kelak.

Jangan pernah kita balas kritik dengan
kritik. Karena hal ini hanya akan
membuat perdebatan, menguras tenaga &
pikiran. Tidak ada gunanya...

4. Terimalah kritikan dengan senyuman. ^_^

Ini semua bisa melatih mental kita agar
bisa *tegar* menghadapi ujian yang
lebih hebat di kemudian hari.

Singkatnya, kita memang hanya layak
dipuji jika sudah berani menerima
kritikan. Meski tidak mudah, asah terus
keberanian kita untuk menikmati kritik
layaknya menikmati kue kesukaan kita.

Ingat, pujian dan apresiasi hanya akan
datang apabila kita sudah melakukan
sesuatu yang berharga.

So, jangan pernah bosan untuk memburu
kritik, dan tanggapilah setiap kritik dengan
lapang dada! :-)

MANTUQ DAN MAFHUM

PENGERTIAN MANTUQ DAN MAFHUM

         Mantuq adalah sesuatu (hukum) yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan (tersurat). Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan.
Sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat). Jadi mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT;
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا (الإسراء:23)
"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanla hkepada merekaperkataan yang mulia". (Q.S Al-Isra’ ayat 23)
         Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum. Pengertian mantuq yang tersurat dalam ayat tersebut adalah, diharamkanya berkata-kata yang tidak baik kepada orang tua (mendesah, membentak, dan mencaci maki). Sedangkan pengertian mafhum yang tersirat adalah tidak diperbolehkan (haram) memukul dan menyiksa orang tua.

PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM

A. MANTUQ 

Dalam hasanah ilmu ushul fiqh mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Nash; yaitu suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya dan tidak mungkin di ta’wilkan atau diarahkan ke dalam pengertian lain. Seperti contoh dalam firman Allah SWT;
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا. (البقرة:175)
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S Al-Baqarah:175)
Kata al-bai' (jual beli) atau al-riba adalah suatu lafadz yang jelas pengertianya yang mana untuk memahami kata tersebut tidak membutuhkan ta'wil (asumsi).
2. Dhahir, yatiu suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya, namun masih menimbulkan asumsi makna (pengertian) lain yang derajatnya di bawah makna aslinya (majaz). Seperti firman Allah SWT
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء. ( النساء:43)
"Atau menyentuh perempuan". (An-Nisa':43)
         Lafadz "al-lams" dalam ayat tersebut mempunyai dua pengertian. Secara dhahir (haqiqi) lafadz "al-lams" mempunyai arti "menyentuh" dengan tangan. Jadi hukum menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu merupakan proses dari dhahir sebuah dalil. Namun dalam sisi yang lain lafadz "al-lams" apa bila dilihat dari majaznya mempunyai arti "jima". Artinya, berdasarkan ayat tersebut yang membatalkan wudlu bukan menyentuh perempuan akan tetapi men-jima' perempuan yang diambil dari pengertian secara majaz. 
Seperti contoh lain dikatakan; "Saya melihat harimau". Secara dhahir (haqiqi), kata harimau mempunyai arti "hewan buas yang suka memangsa". Namun kata harimau juga mempunyai arti majaz yaitu "seorang pemberani".

B. MAFHUM

Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan hukum yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya "membentak".
Mafhum Muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:
a). Fahwal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan lebih utama (berat) daripada yang diucapkan. Seperti "memukul" orang tua haram hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari haramnya "membentak" orang tua. Bahkan "memukul" dapat dikatakan lebih tidak diharamkan karena tidak hanya dapat menimbulkan sakit hati, namun lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka fisik. 
b). Lahnal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti contoh "membakar" harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum dari memakan harta anak yatim dengan dhalim, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا [النساء: 10]
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". (Q.S. An-Nisa: 10)
Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa memakan harta anak yatim dengan dzalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul hukum haram "membakar" harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara "memakan" yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan "membakar" yang dihasilkan dari kefahaman, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim. 
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian hukum yang dipahami berbeda daripada ucapan (mantuq), baik dalam istbat (menetapkan) maupun nafi (mentiadakan). Seperti firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)
         Ayat di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat jum'at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum. 

SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH

           Karena mafhum mukhalafah adalah proses hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq, maka diperlukan beberapa syarat agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih. Untuk syahnya mafhum mukhalafah diperlukan empat syarat:
1. Mafhum Mukhalafah harus tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق [الإسراء :31]
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin¬an”. (Q.S. Isra’ ayat 31).
           Ayat tersebut di atas secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena "takut muskin". Mafhum mukhalafah-nya berarti "membunuh anak tidak karena takut miskin". Dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain yaitu;
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ. [الإسراء :33]
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran". (QS. Isra’:33)”
Berdasarkan dalil mantuq di atas, baik takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin (mafhum) tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak.
Contoh mafhum mukhalafah yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ. (الإسراء:23)
"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
           Berdasarkan ayat di atas secara mantuq disebutkan tidak boleh berkata-kata kasar terhadap orang tua. Apa bila difahami dengan mafhum mukhalafah berarti selain berkata-kata kasar seperti memukul diperbolehkan. Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) seperti ini tidak dibenarkan karena bertentangan mafhum muwafaqahnya, yaitu "tidak boleh memukul".
2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh;
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ. (النساء. 23)
"Dan anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri". (QS. An-Nisa':23)
           Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa "anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh dinikahi". Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah mengatakan "yang kamu pelihara" hanya berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya. 
3. Lafadz yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Seperti contoh;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البحارى)
“Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". (HR. Bukhari)
            Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti "muslim" lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu "diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim". Sebab perkataan "muslimun" hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.
4. Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam Al-Baqarah;187:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
            Dalil di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.
Wallahu a’lam bi ash-shawaf

Rabu, 15 Desember 2010

Tujuan Kritik Hadis serta Hasil Penelitiannya (Di Mata Orientalist)

1. Defenisi Kritik

      Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata naqd atau dari kata tamyiz yang diartikan; sebagai usaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran ktitik disini bukanlah seperti yang disampaikan para Orientalis pada pembahasan sebelumnya , tapi kritik disini sebagai upaya mengkaji hadis Rasulallah saw untuk menentukan hadis yang benar-benar datang dari Nabi Muhammad SAW.
     Pengertian kritik dengan menggunakan kata naqd mengidentifikasikan bahwa kritik studi harus dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai pengimbang yang baik, ada timbal balik menerima dan memberi, terarah pada sasaran yang dikritik. Adanya unsur perdebatan yang berarti mengeluarkan pemikiran masing-masing . Dengan demikian, pengertian kritik harus bertujuan untuk memperoleh kebenaran yang tersembunyi.


 Definisi kritik hadis menurut istilah.

1. "Ilmu kritik hadis menurut Muhammad Tahir al-Jawaby adalah ketentuan terhadap para periwayat hadis baik kecacatan atau keadilannya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang dikenal oleh ulama-ulama hadis. Kemudian meneliti matn hadis yang telah dinyatakan sahih dari aspek sanad untuk menetukan keabsahan atau ke-dhaifan matn hadis tersebut, mengatasi kesulitan pemahaman dari hadis yang telah dinyatakan sahih, mengatasi kontradisi pemahaman hadis dengan pertimbangan yang mendalam "

2. "Definisi kritik menurut Muhammad Mustafa Azami hadis adalah membedakan (al-Tamyis) antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da'if dan menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya"
Menurut Imam Muslim, yang hidup pada abad ke 3 H, menamakan bukunya dengan al-Tamyiz, yang isi pembahasannya adalah metodologi kritik hadis. Sebagian Ulama hadis di abad ke-2 H juga telah menggunakan kata al-naqd di dalam karya mereka, namun mereka tidak menampilkannya di dalam buku mereka tersebut. Mereka justru memberi judul bagi karya yang membahas mengenai kritik hadis ini dengan nama al-Jarh wa al-Ta’dil ( They named the science which deals, the knowledge of invaling and de clearing reliable in hadith).
Jika melihat definisi diatas maka sebenarnya kritik sudah ada pada zaman Nabi Muhammad, pengertian kritik pada masa ini hanya bersifat konfirmatif untuk memperkuat kebenaran informasi yang diterima. Metode sederhana yang ada pada Nabi menjadi landasan dasar dalam perkembangan ilmu kritik hadis yang sistematis.
Dalam tahapan ini, aktivitas kritik hadis tersebut masih terbatas pada upaya mendatangi Rasululah dalam membuktikan kebenaran suatu riwayat yang disampaikan oleh Sahabat yang berasal dari beliau. Pada tahapan ini juga, kegiatan konfirmasi dan suatu proses konsolodasi agar hati menjadi tenteram dan mantap, bukan karena tidak mempercayai pemberitaan sahabat, sebab sahabat dalam pandangan ulama hadis tidak bersifat pembohongan dan tidak saling membohongi antara satu terhadap yang lannya
Jadi, mustahil jika hadis-hadis Rasulullah adalah suatu cerita menarik tetapi bohong (anekdot), sulit dipercaya,dan lain-lain sebagainya seperti yang dilontarkan para kaum Orientalis. Karena untuk menjadikan hadis itu menjadi informasi yang akurat dan terpercaya sebagai landasan Islam setelah al-Quran tepatnya dijadikan hujjah didalamnya ada kebohongan setelah dilakukan penelitian.

2. Obyek Penelitian Hadis

kritik Sanad Hadis

Bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah nama perawi, lambang-lambang periwayatan hadis, misalnya; sami’tu, akhbarāni, ‘an dan annă.. selain itu sanad harus mempunyai ketersambungan, yaitu perawi harus berkualitas siqat (‘adil dan dhabit), masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya pertemuan, diantaranya; sami’tu, hadatsana, hadatsani, akhbirni, qala lana, dhakaran
Pada umumnya para ulama dalam melakukan penelitian hanya berkosentrasi pada dua pertanyaan, Pertama, apakah perawi tersebut layak dipercaya, atau kedua, apakah perawi tersebut tidak pantas dipercaya .
Untuk meneliti isnad/sanad diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter berbagai pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda. Sanad juga untuk memahami signifikansi yang tepat dari matn, sedangkan untuk menguji keaslian hadis diperlukan pengetahuan tentang berbagai makna ungkapan yang digunakan, dan juga diperlukan kajian terhadap hubungan lafadz matn di hadis-hadits yang lain (beberapa di antaranya memilki kesamaan atau bertolak belakang dengan matn tersebut). Matn hadis yang sudah sahih belum tentu sanadnya sahih. Sebab boleh jadi dalam sanad hadis tersebut terdapat masalah sanad, sepeti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatanya tidak siqat (‘adil dan dhabit )
Studi sanad hadis berarti mempelajari rangkaian perawi dalam sanad, dengan cara mengetahui biografi masing-masing perawi, kuat dan lemahnya dengan gambaran umum, dan sebab- sebab kuat dan lemah secara rinci, menjelaskan muttasil dan munqati’nya perawi .
Dan selanjutkan akan diteruskan pada kajian matn. Pembahasan/ penelitian ini (kualitas perawi) terangkum dalam kitab/ilmu Rijal al Hadis, atau ilmu Riwayah. Lebih spesifik lagi kita bisa temukan di kitab Jarh wat Ta’dil, dan lain sebagainya. Telah bayak kitab-kitab yang berisi biografi perawi, sampai kepada ketersambungan masa hidup, dan kualits pribadi mereka (perawi).

Kritik Matn hadis

Sebagai langkah selanjutnya untuk mengadakan penelitian/kritik hadis pada bidang materi (matn) paling tidak menggunakan kriteria sebagai berikut
;
1) Ungkapanya tidak dangkal, sebab yang dangkal tidak pernah diucapkan oleh orang yang mempunyai apresiasi sastra yang tinggi fasih.
2) Tidak menyalahi orang yang luas pandanganya/pikiranya, sebab sekiranya menyalahi tidak mungkin ditakwil.
3) Tidak menyimpang dari kaedah umum dan akhlak.
4) Tidak menyalahi perasaan dan pengamatan.
5) Tidak menyalahi cendekiawan dalam bidang kedokteran dan filsafat.
6) Tidak mengandung kekerdilan, sebab syariah jauh dari sifat kerdil.
7) Tidak betentangan dengan akal sehubungan dengan pokok kaidah, termasuk sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya.
8) Tidak bertentangan dengan sunnatullah mengenai alam semesta dan kehidupan manusia.
9) Tidak mengandung sifat naif, sebab orang berakal tidak pernah dihinggapinya.
10) Tidak menyalahi al-Qur'an dan al-sunnah
.
11) Tidak bertentangan dengan sejarah yang diketahui umum mengenai zaman Nabi.
12) Tidak menyerupai mazdhab rawi yang ingin benar sendiri.
13) Tidak meriwayatkan suatu keadilan yang dapat disaksikan orang banyak, padahal riwayat tersebut hanya disaksikan oleh seorang saja.
14) Tidak menguraikan riwayat yang isinya menonjilkan kepentingan pribadi.
15) Tidak mengandung uraian yang isinya membesar-besarkan pahala dari perbuatan yang minim dan tidak mengandung ancaman besar terhadap perbutan dosa kecil .

     Lebih sederhana lagi kriteria ke shahihan hadis adalah sepeti yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Baqdadi (w.463 H/1072 M) bahwa suatu matn hadis dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matn hadis yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut;

1) Tidak bertentangan dengan akal sehat

2) Tidak bertentangan dengan al-Qur'an yang telah muhkam

3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir

4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama masa lalu

5) Tidak bertentanga dengan dalil yang telah pasti, dan

6) Tidak bertentangan dengan hadis Ahad yang kualitas keshahihannya kuat .

3. Tujuan Kritik Hadis

       Adapun tujuan krirtik hadis adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang diteliti. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahhan hadis yang bersangkutan, hadis yang tidak memenuhi syarat itu diperlukan karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Peggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Isalam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.
Sanad merupakan hal penting dalam hadis, Muhammad bin Sirin (w110H / 728 M) menyatakan bahwa “sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama itu. Artinya, dalam mengahadapi hadis maka sangat penting diteliti terlebih dahulu para periwayat yang terlibat dengan sanad.
       Begitupula halnya dengan matn hadis perlu adanya kritik dengan melakukan penelitian, biasanya ilmu yang membahas hal tersebut terangkum dalam ilmu jarh wat Ta’dil.

4. Hasil Penelitian Hadis 
 
1. Hasil penelitian yang telah dikemukan oleh ulama pada dasarnya tidak terlepas dari hasil ijtihad. Suatu hasil ijtihad tidak telepas dari dua kemungkinan yakni benar atau salah, jadi hadis tertentu yang dinyatakan berkualitas sahih oleh seorang ulama hadis masih terbuka kemungkinan ditemukan kesalahan, walau dilakukan penelitian lebih cermat.
2. Pada kenyataan tidak sedikit hadis dinilai shahih oleh ulama tertentu, tetapi dinilai tidak shahih oleh ulama tertentu lainnya. Padahal suatu berita itu tidak terlepas dari dua kemungkinan yakni benar atau salah. Dengan begitu, penelitian kembali masih perlu dilakukan minimal untuk mengetahui sebab terjadinya perbedaan hasil penelitian tersebut.
3. Pengetahuan manusia berkembang dari masa kemasa perkembangan pengetahuan itu suadah selayaknya dimanfaatkan untuk melihat kembali hasil-hasil yang telah lama ada.
4. Ulama hadis adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari salah karenanya tidak mustahil bila hasil penelitian yang telah merekak kemukakan masih dapat ditemukan kesalahan setelah dilakukan penelitian.
5. Penelitian hadis mencakup penelitian sand dan matn. Dalam penelitian sanad pada dasarnya yang diteliti adalah kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat yang terlibat dengan sanad , disamping itu metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat itu.

Hadis dan Citra Nabi Muhammad di dalam Pandangan Orientalis

 Kajian Orientalis serta Pandangan Orientalis mengenai Hadis Nabi 

        Seorang Orientalis Yahudi kelahiran Hungaria adalah Ignaz Goldziher yang sempat “nyantri” di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir selama kurang lebih setahun (1873-1874). Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang paling mengerti tentang Islam, meskipun tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan menyesatkan.

        Pendapat Goldziher mengenai hadis “dari sekian banyak hadis yang ada, sebagian besarnya atau keseluruhan hadis tidak dapat dijamin keasliannya alias palsu dan, karena itu, tidak dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah awal Islam” dan menurut Goldziher ”hadis lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam. Ini berarti, menurutnya, hadis adalah produk buatan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau.”.
Goldziher dalam bukunya al-Aqidah was-Syari’ah fil-Islam (Aqidah dan Syariah dalam Islam) juga berkomentar sebagai berikut :
“Islam berkembang di tangan para pengikutnya melalui cara-cara yang tidak dikenal oleh Muhammad di masa hidupnya. Adapun cara yang mereka tempuh itu ialah menyebarluaskan hadis buatan ulama dan ahli-ahli fiqh yang ingin menjadikan islam sebagai Agama yang multi dimensi, komrehensif, dan mencakup segala aspek kehidupan.”
“Ajaran-ajaran al-Quran disempurnakan dan dijabarkan oleh himpunan hadis yang mutawatir. Meskipun hadis-hadis ini tidak datang dari Nabi, namun dianggap sebagai asas Islam”.
“Banyak kalimat atau perkataan atau kata-kata mutiara yang diambil dari kitab Perjanjian Lama dan Baru, khutbah para pendeta, ajaran filsafat Yunani, kata-kata mutiara orang Persi dan dari India yang semua itu mempunyai kedudukan yang sangat baik dalam syari’at Islam melalui jalan yang disebut hadis.”
“Sesungguhnya Rasulullah sendiri merasa kebingungan untuk menetapkan suatu hukum mengenai problema yang terjadi di lingkungan masyarakatnya, apakah hal itu bileh dilakukan atau tidak, sehingga Allah menurunkan wahyu menerangkan tentang dihapus atau tidaknya hukum tersebut.”
“Sebenarnya hukum yang ditetapkan di dalam al-Quran sedikit jumlahnya, dan tidak mungkin hukum-hukumnya meliputi semua aspek kehidupan, misalnya al-Quran menyatakan bahwa perbuatan syirik adalah dosa terbesar yang pelakunya tidak akan diampuni oleh Allah (jika ia tidak bertaubat). Syirik ini hanya terdapat dalam bidang aqidah semata-mata, tetapi kemudian hadis Nabi memperluas ruang lingkup syirik ini, tidak hanya dalam bidang aqidah, melainkan mencakup sejarah bidang ibadah, juga maslah riya yang tidak ada sangkut pautnya dengan tauhid. Namun oleh Nabi dianggapnya sebagai perbuatan syrik.”
Pandangan Goldziher tentang hadis Nabi ini diperkuat oleh Schot (seorang orientalis Jerman) dengan perkataannya, “hadis-hadis itu itu sebenarnya hanyalah aturan-aturan yang dibuat-buat untuk menegakkan mazhab fikh. Maksudnya, bahwa mazhab-mazhab fikh itu ada terlebih dahulu, baru kemudian mereka datangkan hadis-hadis untuk menguatkannya.” “sebenarnya, menurut Schot : kitab-kitab hadis itu belum di dapati manusia kecuali sesudah masa Imam Syafi’i. Ketika Imam Syfi’i menganggap hadis itu sebagai salah satu pokok Agama, maka para pemalsu hadis berebutan untuk membuat hadis-hadis palsu guna memperkuat madzhab mereka masing-masing dan untuk membatalkan mazdhab mereka masing-masing dan untuk mebatalkan madzhab yang bertentangan dengan madzhabnya. 

         Adapun seperti Spanger, Well, Dauzy, Meyer, Schot, dan Hamilton Gibb tentang hadis Nabi yang terkesan mencela adalah sebagai berikut :
“Apa yang dikatakan hadis Nabi itu kebanyakan bikinan orang semata-mata”. (Spranger).
”Sebagian dari hadis yang termuat dalam kitab Shahih Bukhari tidak ada asalnya dan tidak dapat dipercaya.”(Meyer, Well, Dauzy).
”Sanad hadis Nabi hanya buatan belaka”. Yosef Schot, Well, Dauzy, Meyer, dan Hamilton Gibb.
Menurut Hamilton Gibb seorang antek imperialis yang sangat keras memusuhi Islam mengatakan sebagai berikut :
”Sesungguhnya bangunan pemikiran keagamaan dalam Islam, sebagian besar mengacu pada pemikiran orang-orang jahiliyah tentang kepercayaan mereka terhadap perkara-perkara gaib, dan semua itu diambil oleh Muhammad, kemudian dirubahnya mana yang mungkin dapat dirubah, dan yang tidak dapat dirubah diabiarkannya sebagaiman adanya. Setelah itu dipergunakanlah untuk menghiasi tata aturan Agama Islam serta untuk menegakkan aqidah dan pemikiran keagamaan jika hal itu dipandang sesuai. Ketika Muhammad hendak meyebarkan Agamanya kepada bangsa-bangsa di luar bangsa Arab, maka dimasukkan unsur-unsur tata aturan jahiliyah itu ke dalam kandungan al-Quran.
         Sedangkan hadis-hadis Nabi, merupakan kekuatan yang ampuh untuk menegakkan agama Islam pada kurun pertama, padaha kebanyakan hadis-hadis itu diambil oleh Muhammad dari ajaran agama kristen dan budha.” (Hamilthon Gibb dalam bukunya Bunyatul Fikrid-dini fil Islam (Bangunan Pemikiran Keagamaan dalam Islam).
Selain Spanger, Well, Dauzy, Meyer, Schot, dan Hamilton Gibb, para orientalis seperti William Muir, David Samuel Margoliouth, Henri Lammens (misionaris Belgia) dan Leone Caetani (misionaris Italia), Josef Horovitz Alfred Guillaume, juga turut memberikan komentarnya tentang hadis Nabi yaitu : .
a.  Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadis dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa ”hadis merupakan kumpulan anekdot” (cerita-cerita bohong tapi menarik).
b. William Muir, orientalis asal Inggris yang mengkaji biografi Nabi Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. Menurutnya, “dalam literatur hadis, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatat untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (“…the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities”). Oleh sebab itu, menurutnya dari empat ratus hadis yang dianggap shahih oleh Imam Bukhārī, paling tidak separuhnya harus ditolak.
c. David Samuel Margoliouth, meragukan otentisitas hadis,pertama karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hadis telah dicatat sejak zaman Nabi SAW, dan kedua karena lemahnya ingatan para perawinya.
d. Henri Lammens (misionaris Belgia) dan Leone Caetani (misionaris Italia) “menganggap isnād muncul jauh setelah matan hadis ada dan merupakan fenomena internal dalam sejarah perkembangan Islam”.
e. Josef Horovitz berspekulasi bahwa “sistem periwayatan hadits secara berantai (isnad) baru diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama Hijriah. Selanjutnya orientalis Jerman berdarah Yahudi ini mengatakan bahwa besar kemungkinan praktek isnād berasal dari dan dipengaruhi oleh tradisi oral sebagaimana dikenal dalam literatur Yahudi: “Esliegt nahe, in diese Gleichstellung den Einfluss der jüdischen Theorie zuvermuten, um so mehr als sich im Hadīt selbst Reminiszenzen an die Stellungerhalten haben, welche das Judenthum der mundlichen Lehre zuerkennt.”
f. Alfred Guillaume. Dalam bukunya mengenai sejarah hadis, mantan guru besar Universitas Oxford ini mengklaim bahwa “sangat sulit untuk mempercayai literature hadits secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi SAW”. Karena gugatan orientalis terhadap hadits pada awalnya mempersoalkan ketiadaan data historis dan bukti tercatat (documentary evidence) yang dapat memastikan otentisitas hadits, maka sejumlah pakar pun melakukan penelitian intensif perihal sejarah literatur hadits guna mematahkan argumen orientalis yang mengatakan bahwa hadits baru dicatat pada abad kedua dan ketiga Hijriah.

Citra Nabi Muhammad dalam pandangan Orientalis



Tuduhan Terhadap Kerasulan Muhammad 

         Di dalam bukunya , al-Aqidah wasy-Syari’ah fil Islam” (Aqidah dan Syariat dalam Islam)Goldziher mengatakan :
a. Rasul adalah seorang pembimbing, bukan sebagai contoh dan teladan yang baik.
b. Pada dirinya terdapat banyak kelemahan dan cacat sebagai mana layaknya manusia, dengan alasan ia tidak mendakwahkan dirinya sebagai orang suci
c. Pada ajarannya terdapat dongeng yang menyesatkan. Muhammad mengabarkan Tuhan turun dari langit untuk menyertainya dalam peperangan.
Hal tersebut yang disampaikan Goldziher, dengan beberapa tuduhannya. Dalam kitabnya al-Madazahib al-Islamiyah Fi Tafsir al-Quran, ia menunjukkan bahwa ia telah lama melakukan studi terhadap al-Quran dan mazhab-mazhab yang bermacam-macam dalam menafsirkan al-Quran , dari segi bahasa, makna dan istilah-istilah syari’ah .
Goldziher mengemukakan beberapa ayat yang ditujukan untuk Rasulullah

45. Hai Nabi, Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk Jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan,
46. dan untuk Jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk Jadi cahaya yang menerangi.
         Kedua ayat ini ditafsirkan oleh Goldziher bahwa Rasulullah saw, hanyalah seorang pembimbing, bukan sebagai contoh dan teladan yang luhur. Rasul dianggap sebagai panutan (teladan) yang baik, hanya karena rasul punya kelebihan banyak berzikir kepada Allah . sebagaimana disebutkan dalam surah al-Azhab : 21 “Sesungguhnya Muhammad menyandang kelemahan sebagaimana manusia lainnya, dan dia menghendaki agar segenap kaum Mu’min memndangnya sebagai seorang manusia yang mempunyai banyak cacat sebagaimana orang lain. Karena dia tidak pernah merasa bahwa dia orang suci, di samping itu dia juga tidak ingin dianggap orang suci.

         Disatu sisi tiada henti-hentinya para Orientalis menghujat Rasulullah dengan berbagai hinaan tapi disisi lain dengan alasan yang jelas orang-orang non-Muslim di Barat mengagumi sosok Baginda tercinta, yaitu sebagai berikut :

I. W. Montgomery Watt, MOHAMMAD AT MECCA, Oxford, 1953, p. 52.

         Kesiapannya menempuh tantangan atas keyakinannya, ketinggian moral para pengikutnya, serta pencapaiannya yang luar biasa “ semuanya menunjukkan integritasnya. Mengira Muhammad sebagai seorang penipu hanyalah memberikan masalah dan bukan jawaban. Lebih dari itu, tiada figur hebat yang digambarkan begitu buruk di Barat selain Muhammad

II. Annie Besant, THE LIFE AND TEACHINGS OF MUHAMMAD, Madras, 1932, p. 4.

"Sangat mustahil bagi seseorang yang memperlajari karakter Nabi Bangsa Arab, yang mengetahui bagaimana ajarannya dan bagaimana hidupnya untuk merasakan selain hormat terhadap beliau, salah satu utusan-Nya. Dan meskipun dalam semua yang saya gambarkan banyak hal-hal yang terasa biasa, namun setiap kali saya membaca ulang kisah-kisahnya, setiap kali pula saya mersakan kekaguman dan penghormatan kepada sang Guru Bangsa Arab tersebut."

III. THOMAS CARLYLE in his HEROES AND HEROWORSHIP

         Betapa menakjubkan seorang manusia sendirian dapat mengubah suku-suku yang saling berperang dan kaum nomaden (Baduy) menjadi sebuah bangsa yang paling maju dan paling berperadaban hanya dalam waktu kurang dari dua decade."Kebohongan yang dipropagandakan kaum Barat yang diselimutkan kepada orang ini (Muhammad) hanyalah mempermalukan diri kita sendiri.
IV. James A. Michener, "Islam: The Misunderstood Religion," in READER'S DIGEST (American edition), May 1955, pp. 68-70.

     Muhammad, seorang inspirator yang mendirikan Islam, dilahirkan pada tahun 570 masehi dalam masyarakat Arab penyembah berhala. Yatim semenjak kecil dia secara khusus memberikan perhatian kepada fakir miskin, yatim piatu dan janda, serta hamba sahaya dan kaum lemah. Di usia 20 tahun, dia sudah menjadi seorang pengusaha yang sukses, dan menjadi pengelola bisnis seorang janda kaya. Ketika mencapai usia 25, sang majikan melamarnya. Meski usia perempuan tersebut 15 tahun lebih tua Muhammad menikahinya dan tetap setia kepadanya sepanjang hayat sang istri.

       Seperti halnya para nabi lain, Muhammad memulai tugas kenabiannya dengan sembunyi-sembunyi dan ragu-ragu karena menyadari kelemahannya. Tapi adalah perintah yang diperolehnya, -dan meskipun sampai saat ini diyakini bahwa Muhammad tidak bisa membaca dan menulis “ dan keluarlah dari mulutnya satu kalimat yang akan segera mengubah dunia: Tiada tuhan selain Tuhan. "Dalam setiap hal, Muhammad adalah seorang yang mengedepankan akal. Ketika putranya, Ibrahim, meninggal disertai gerhana dan menimbulkan anggapan ummatnya bahwa hal tersebut adalah wujud rasa belasungkawa Tuhan kepadanya, Muhammad berkata:Gerhana adalah sebuah kejadian alam biasa, adalah suatu kebodohan mengkaitkannya dengan kematian atau kelahiran seorang manusia. "Sesaat setelah ia meninggal, sebagian pengikutnya hendak memujanya sebagaimana Tuhan dipuja, akan tetapi penerus kepemimpinannya (Abu Bakar-pen.) menepis keingingan ummatnya itu dengan salah satu pidato relijius terindah sepanjang masa: ˜Jika ada diatara kalian yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa ia telah meninggal. Tapi jika Tuhan-lah yang hendak kalian sembah, ketahuilah bahwa Ia hidup selamanya. (Ayat terkait: Q.S. Al Imran, 144)

Tidak ada tambahan dalam agama Islam 

Didalam bukunya “al-Aqidah wasy-Syari’ah fil Islam” (Aqidah dan Syariat dalam Islam Goldziher juga menyatakan sebagai berikut :
a. Islam dengan aqidah dan hukum-hukumya bermula dari Nabi Muhammad pada abad pertama Hijriah. Sesudah itu datanglah ahli-ahli, di antara mereka ada yang baik dan ada yang culas, lalu mereka masukkan berabagai tambahan ke dalam agama Islam, sehingga berwujud seperti sekarang ini. Alam fikiran Islami telah mengimpor tambahan-tambahan dari berbagai peradaban dan kebudayaan yang dijumpai.
b. Bukan Muhammad yang membawa agama Islam ini. Agama Islam datangnya bukan dari Allah dan bukan pula dari Muhammad sendiri. Sebagian besar pokok-pokok cabaang-cabang ajaran Islam diambil dari agama bangsa lain, yaitu bangsa India, Persia, dan Rumawi, kemudian dicampur dengan hasil pemkiran dan rekannya sendiri, lalu ia memproklamirkan dirinya sebagai pembawa risalah dan nubuwah yang datang untuk memperbaiki keadaan bangsa Arab yang menyembah berhala.
c. Missi atau risalah yang disampaikan oleh Nabi berkebangsaan Arab adalah himpunan pengetahuan dan pemikiran ke agamaan yang diketahui dan disadapnya berkat hubungannya, karena ia sangat terkesan olehnya dipandang sangat cocok untuk membangkitkan rasa keagamaan kaumnya, bangsa Arab.
d. Muhammad menerima ajaran ketuhanan dari Tasri’ atau perundang-undangan agamanya dari para dukun dan para pendeta.

       Demikianlah agama Islam dengan segala akidah dan syariahnya menurut pandangan Goldziher dan teman-temannya dari komplotan orientalis. Islam hanyalah merupakan formulasi dari berbagai fikiran, pendapat, kebudayaan, dan peradaban orang-orang terdahulu, yaitu orang Hindu, Persia, Rumawi, Yahudi, Nasrhani, para tukang tenun dan para Pendeta. Menurutnya :
1. Tidak ada sesuatu yang baru lagi dalam Islam, Islam hanya sekedar jiplakan dan nukilan yang diformulasikan.
2. Muhammad bukannya Nabi dan bukan pula rasul, Muhammad hanyalah seorang penjiplak dan seorang plagiator.
Goldziher bahkan menuduh Rasulullah seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah, mengumandangkan da’wahnya. Waktu itu mereka mengatakan

6. mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Quran kepadanya, Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila

4. dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (Rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta".

SADDU ADZ-DZARI'AH

1. Pengertian Saddu Adz-Dzari'ah

Saddu Adz-Dzari'ah secara etimologi bermakna menutupi kekurangan, menyumbat lobang, dan menahan sesuatu. Kata ﺴﺩ artinya Menutup celah atau mencegah sesuatu, sedangkan ﺬﺭﻴﻌﺔ berarti wasilah (sarana).
Pengertian Saddu Dzari’ah menurut para ‘ulama:

”Mencegah sarana-sarana yang dapat menjadi sarana kepada keharaman, atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan dan menolaknya.”
Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.

Tujuan penetapan hukum Saddu dan Dzari’ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini, Syari’at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Inilah yang dimaksud dengan kaidah:

ﻤﺍ ﻻ ﻳﺗﻢ ﺍﻠﻭﺍﺟﺏ ﺇﻻ ﺒﻪ ﻓﻬﻭ ﻮﺍﺟﺏ
Artinya:
"Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula."
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib.
Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar,
maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.

2. Dasar hukum Saddu Adz-Dzari'ah

Dasar hukum Saddu dan Dzari’ah ialah dari Al-Qu’an dan Hadits, yaitu:
a. Firman Allah SWT yang artinya:

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (Al-Anam: 108).

Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.

b. Dan firman Allah SWT:

"...Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (An-Nur: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

c. Nabi Muhammad SAW bersabda:
. ”Termasuk dosa besar adalah seseorang memaki kedua orangtuanya” mereka bertanya, ’wahai Rasulullahg apakah ada seseorang memaki kedua orangtuanya?”Beliau menjawab, ”Ya, seseorang memaki bapak orang lain lalu orang tersebut memaki bapaknya dan memaki ibu orang lain lalu orang lain memaki ibunya” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling
selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

3. Obyek Saddu Adz-Dzari'ah

Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:
Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek Saddu dan Dzari’ah karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Di samping itu Imam As-Syatibi menyatakn bahwa, dilihat dari segi kualitas ke-mafsadat-annya, Dzari,ah dapat dibagi kepada empat macam :

a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada ke-mafsadat-an secara pasti (qath’i).
b. Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada ke-mafsadat-an.
c. Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada ke-mafsadat-an.
d. Pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemashlahatan, tetapi ada kemungkinan perbuatan itu membawa kepada ke-mafsadat-an.

4. Ketentuan dasar mengamalkan Saddu Adz-Dzari’ah

Untuk mengamalkan Saddu Az-Dzari’ah, ada beberapa point yang harus diperhatikan:
1. Perbuatan yang dibolehkan tersebut menjadi sarana kerusakan atau kerusaka secara dominan. apabila perbuatan tersebut menjadi sarana kerusakan hanya kadang-kadang atau tidak dominan, maka tidak dilarang dan tetap pada hukum asalnya, tidak butuh mencari dalil kebolehannya.

2. Mafsadah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut harus sama atau lebih besar dari maslahatnya.

3. Tidak disyaratkan dalam mengamalkan kaidah ini adanya tujuan mukallaf berbuat kerusakan, bahkan cukup banyak tujuan itu secara adat, sebab niat atau tujuan tersebut pada umumnya tidak dapat dibuat baku, karena masalah batin yang sulit dijadikan pedoman.

4. Semua yang dilarang dalam rangka saddu adz-Dzara’i’ dibolehkan apabila dibutuhkan (hajat membutuhkannya). contohnya melihat wanita bukan mahromnya bagi orang yang akan melamar.
5. Kehujjahan kaidah Saddu Adz-Dzari’ah
Dzari’ah dari sisi wajibnya untuk ditutup atau dicegah terbagi tiga dalam pendapat para ulama :
1. Ijma’ menyatakan kewajiban mencegahnya dan itu pada perbuatan yang menjadi sarana kerusakan dalam perkara agama dan dunia, karena perbuatan itu memang menjadi sarana kerusakan secara pasti. contoh:larangan minum minuman memabukkan, karena sarana yang mengantar kepada mabuk yang merusak akal.

2. Ijma’ menyatakan itu sebagai dzari’ah, namun tidak wajib dicegah. seperti menanam anggur walaupun mungin ada yang membeli dan memiliki serta memerasnya untuk dijadikan Khomr.


3. Yang masih diperselisihkan para ulama, yaitu sarana mubah yang mengantar kepada keharaman secara mayoritas atau dominan.
Dalam masalah ini pendapat mereka dikategorikan dalam dua pendapat:
a. Harus dicegah. inilah pendapat madzhab Malikiyah dan Hanabilah.
b. Tidak memberlakukan kaidah ini. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hanafiyah.

Yang Rajih adalah pendapat pertama, karena sebagaiman disebutkan dalam kitab Ushul Fiqh Karya Muhammad Abu Zahrah, bahawa penetapan Saddu Adz-Dzari’ah sebagai salah satu Sumber Hukum (Mashadir Al-Ahkam), adalah Madzhab Malikiyah dan Hanabilah. Meskipun Syafi’iyah, Hanafiyah dan ulama-ulama lainnya tidak memandangnya sebagai Mashadir Al-Ahkam, akan tetapi hasil formulasi dari Saddu Adz-Dzari’ah ada ditemukan dalam hasil ijtihad mereka. Pendapat pertama inilah yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau, ”Dzari’at-dzari’at ini apabila mengantar pada kerusakan (mafsadat)secara pasti (yakin) atau dominan maka syari’at mengharamkannya secar mutlak.”

Minggu, 12 Desember 2010

SEJARAH PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF

       Sebelum melangkah kepada sejarah pembentukan tasawwuf menjadi sebuah ilmu, terlebih dahulu dalam makalah ini diuraikan sedikit pembahasan asal-usul kata shufi dan tasawwuf.

A. Asal-Usul Kata Shufi dan Tasawuf

      Para ulama berselisih pendapat tentang permulaan muncul kata sufi dan tasawwuf dan penggunaanya. Kata sufi dan tasawwuf tidak di kenal diabad pertama hijriah, meskipun sebagian tokoh-tokoh sufi menyatakan bahwa benih-benih sufi banyak ditemui dikehidupan Rasulullah saw beserta para sahabat beliau radiallahu ‘anhum.
      Pada kehidupan Rasullullah terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah seorang sufi, yaitu dengan ‘uzlahnya beliu ke ghar al hira’, hidup dengan cara zuhud dan meninggalkan pola hidup kebendaan (material).
      Kemudian pola hidup seperti ini diikuti oleh orang belakang hari, sehingga istilah tasawwuf dan sufi menjadi terkenal diawal abad 2 H, dan ada yang menyatakan bahwa istilah ini muncul dari Al Hasan Al Bashri. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu’ Fatawa bahwa, “Adapun kata Sufi tidak dikenal di tiga masa yang utama (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dan hanya dikenal setelah masa itu. Hal ini banyak dinukil oleh para A’immah seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Sulaiman Ad Darrani, dan yang lainnya.  
       Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats Tsauri berbicara tentang masalah ini (sufi dan tasawwuf), tapi sebagian mereka mengatakan riwayat itu berasal dari Al Hasan Al Bashri. Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri yang berkata, “Aku pernah melihat seorang sufi ketika thawaf kemudian aku memberinya sesuatu, namun dia tidak mengambilnya dan kemudian berkata, ‘Aku mempunyai empat daniq(1/6 dirham) dan itu sudah cukup bagiku’.”
      Abdurrahman Al Jami’ menegaskan,”Abu Hasyim Al Kufi adalah orang yang pertama kali dipangil dengan nama Shufi dan sebelumnya tidak ada seorangpun yang diberi nama dengan nama tersebut. Khanikah (tempat khusus orang-orang Shufi) yang pertama kali dibangun adalah khanikah di Ramlah, Syam”. Nichelson seorang seorang orientalis juga berpendapat seperti pendapatnya Al Jami’.
       Al Hamdzani berkata, “Orang-orang yang berjalan di jalan Allah pada periode awal tidak mengenal kata Shufi, namun kata itu dikenal pada abad ke tiga hijriyah. Orang yang pertama kali diberi nama dengan nama tersebut di Baghdad adalah Abdak, yang merupakan syaikh hebat dan orang Shufi tempo dulu. Penamaan tersebut sebelum disematkan kepada Bisyr bin Harits Al Hafi dan ‘As bin Muflish As Saqthi.
        Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa istilah Shufi dengan tasawwufnya tidak dikenal diabad pertama hijriyah dan terjadi perselisihan terhadap orang yang pertama kali menggunakan istilah ini. Namun yang pasti istilah ini muncul di Iraq dan terbatas di dua tempat yaitu Bashrah dan Kufah, sedangkan Syaikh DR. Ihsan Ilahi Dzahir lebih menitikberatkan pada kota Kufah di Iraq.
       Selain asal-usul yang kontradiktif yang ada pada riwayat-riwayat yang sebagian besar ada pada kitab-kitab karangan tokoh-tokoh Shufi yang kemudian dinukil oleh ulama Ahlus Sunnah, kontradiksi juga terjadi pada definisi kata Shufi.

B. Definisi Shufi dan Tasawwuf
 
       Syaikh DR. Shalih Al Fauzan menyebutkan, “Mutasawwifun berselisih tentang makna yang dikehendaki oleh kata Shufi itu sendiri, apakah ia nama sebuah nasab seperti Al Quraisyi, Al Madini atau yang lainnya. Ada yang mengatakan bahwa makna kata Shufi adalah nisbat kepada Ahlus Shuffah. Penisbatan ini salah, karena kalau dinisbatkan dengan Ahlus Shuffah maka kata tersebut menjadi Shuffi. Ada juga yang berpendapat dari kata Shaff (yang terdepan dihadapan Allah). Pendapat ini juga keliru, karena penisbatannya akan menjadi Shaffi. Ada juga yang berpendapat dari kata Shafwah (yang bersih dari kalangan makhluk). Penisbatan kata ini juga sangat keliru, penisbatan tersebut akan menjadi Shafawi. Dan ada juga yang berpendapat dari Shuffah bin Bisyir bin ‘Ad bin Bisyir bin Thabikhak seorang ahli ibadah yang tinggal dekat Ka’bah. Penisbatan yang mendekati kebenaran adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa, “ mereka menisbatkan pada pakaian yang zhahir yaitu pakaian dari bulu domba, maka mereka disebut dengan Shufi. Mereka tidak mengkhususkan tarekat mereka dengan memakai pakaian dari bulu domba. Mereka mewajibkan hal itu, tetapi juga tidak membatasi dengan pakaian itu. Akan tetapi mereka menisbatkan kepada pakaian shuf karena keadaaa zhahir”. Kemudian beliau berkata,”maka inilah asal tasawwuf, kemudian berkembang menjadi beraneka ragam dan bercabang-cabang.”
        Quthbuddin Al Marwazi, seorang Shufi asal Persia menyebutkan menyebutkan dalam kitabnya Manaqibush Shufiyyah bahwa definisi tasawwuf lebih dari dua puluh definisi. Begitu juga As Siraj Ath Thusi dalam Al Luma’, Al Kalabadzi dalam At Ta’aruf li Madzhabi Ahlit tasawwuf, Asy Syahrawardi dalam Awariful Ma’arif, dan Ibnul Ajibah Al Husni dalam Iqadzul Himam. Sedangkan Al Qusyairi menyebutkan dalam Risalahnya bahwa definisi tasawwuf lebih dari lima puluh definisi dari orang-orang Sufi tempo dulu. Muhammad Thahir Al Hamidi dalam Al Insan wal Islam menyebutkan, “Pendapat-pendapat yang diriwayatkan tentang tasawwuf ada yang mengatakan sekitar dua ribu pendapat”.
        Pendapat-pendapat mereka tentang tasawwuf saling berbenturan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini mungkin saja disebabkan karena setiap orang dari mereka menjalankan praktek tasawwuf dengan cara yang berbeda antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak heran jika dibelakang hari kelompok ini terpecah beberapa kelompok dengan prinsip yang sama dan cara yang berbeda-beda. Ulasan ini insya Allah akan dipaparkan pada perkembangan sejarah Shufi.
Sebagai contoh, berikut akan dipaparkan sedikit beberapa definisi yang dibuat oleh mereka yang kami nukil dari DR. Ihsan Ilahi Dzhahir. Abu Muhammad Al Murtasy ditanya tentang tasawwuf kemudian menjawab,”tasawwuf ialah ketidak jelasan, kerancuan dan merahasiakan”. Al Junaid berkata, “Orang-orang Shufi ialah penghuni satu rumah dimana tidak seorang pun yang masuk kedalamnya”.Al Junaid juga berkata, “ tasawwuf ialah perjanjian yang tidak ada perdamaian di dalamnya.”. Al Hajuwiri menyebutkan bahwa,” Orang Shufi ialah orang yang pergi dari dirinya dan abadi dengan Alah. Ia telah terbebas dari gengaman watak dan tiba di puncak hakikat.” Abdurrahman Al Jami menyebutkan bahwa orang Shufi adalah orang yang keluar dari sifat-sifat. Abul Hasan Al Kharqani berkata, “ tasawwuf ialah kata lain dari badan yang mati, hati yang tidak ada lagi dan ruh yang terbakar”. Al Karqani juga menyebutkan,” Seluruh manusia adalah makhluk, sedang orang Shufi bukan termasuk makhluk, karena memang ia tidak ada. Atau orang Shufi itu berada di alam perintah, sedang manusia berada di Alam penciptaan”. Fariduddin berkata, “Orang-orang Shufi melaksanakan shalat-shalat mereka di atas Arsy setiap hari”. Dia juga berkata, “Orang Shufi ialah orang yang tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dihatinya”. Dan lain-lain yang tidak akan cukup kertas ini untuk menuliskan definisi yang mereka sebutkan. Perlu diketahui bahwa penukilan yang dilakukan oleh DR. Ihsan Ilahi Dzhahir adalah penukilan dari kitab-kitab yang menjadi referensi kelompok Shufi.


C. Perkembangan Ilmu Tasawwuf
 
        Sebelumnya telah disebutkan asal muasal muculnya kata tasawwuf, hal itu merupakan awal kemunculan aliran Shufi. Sebagaimana juga sudah dipaparkan sebelumnya bahwa Shufi belum muncul kecuali di awal abad ke-dua hijriah. Meskipun banyak penulis muslim yang berafiliasi kepada aliran ini menyatakan bibit tasawwuf ada pada diri Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridwanullah ‘alaihim ajma’in. Sebagaimana juga aliran-aliran lain yang banyak muncul di Persia, aliran ini juga muncul di tempat ini tepatnya di Kufah dan Bashrah, Iraq.
       Istilah tasawwuf muncul akibat dari kemewahan hidup yang terdapat pada masyarakat terutama pemerintah disaat itu sehingga hilangnya rasa takut kepada Allah azza wa jalla dan terjadi berbagai kemaksiatan kepada Allah jalla wa ‘ala. Sehingga sebagian orang berusaha menjauhi hidup yang penuh dengan kemaksiatan dan melakukan uzlah (mengasingkan diri) untuk membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla.
       Para ulama selalu menegaskan dalam kitab-kitab mereka yang berkaitan dengan tasawwuf bahwa Shufi adalah aliran yang yang terpengaruh dan sarat dengan pemahaman Budhisme, unsur Nasrani, Yahudi dan Yunani. Sebagaimana yang dikatakan oleh DR. Ihsan Iahi Dzhahir, “ itulah perkataan orang-orang shufi yang mereka tidak mengambil dari air tawar dan mata air yang jernih (qur’an dan sunnah), namun mereka mengambilnya dari para dukun, orang-orang Budha, jinisme, dan para pendeta kristen.” DR. Rosihan dan DR. Mukhtar membantah pendapat ini dalam bukunya Ilmu Tasawwuf dengan mengatakan, “Demikianlah uraian yang mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa asal-usul tasawwuf bersumber dari luar islam. Pendapat ini biasanya berasal dari orientalis, karena paradigmanya hanya melihat bahkan mengidentikkan ajaran islam dgn ajaran non-islam. Disamping itu paradigmanya dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial.” Kemudian beliau menyebutkan, “Kebanyakan ahli tasawwuf muslim yang berfikir moderat mengatakan bahwa faktor pertama timbulnya tasawwuf hanyalah alqur’an dan as sunnah, bukan dari luar islam.”
        Orang-orang yang dianggap sebagai mutasawwif di awal-awal kemunculannya, mengacu kepada alqur’an dan as sunnah. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan karya-karya tokoh-tokoh Shufi tempo dulu sarat dengan muatan Budhisme, Yahudisme dan Nashranisme sebagaimana yang diungkap oleh DR. Ihsan Ilahi Dzahir dalam karya beliau. Sedangkan Persia pada abad dua hijriah penuh dengan pergolakan dan perebutan tahta dalam pemerintahan. Upaya penjagaan sunnah kurang diperhatikan oleh pemerintahan sedangkan pikiran-pikiran filosofis Yunani berkembang melalui penterjemahan-penterjemahan kedalam bahasa Arab maupun Persia. Sehingga banyak yang terpengaruh pada pemikiran-pemikiran tersebut. Bahkan menciptakan sinkronisasi antara islam dengan paham-paham tersebut.
        Pada perkembangan berikutnya, para ahli sejarah menyebutkan bahwa tasawwuf terbagi menjadi dua, yaitu tasawwuf akhlaqi dan tasawwuf falsafi. Tasawwuf akhlaqi adalah tasawwuf yang mengarah pada teori-teori perilaku. Ada yang menyebutkan bahwa tasawwuf model ini banyak dikembangkan oleh kalangan salaf. Sedangakan tasawwuf falsafi adalah. Tasawwuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam.
        Mungkin tasawwuf model pertama (yaitu tasawwuf akhlaqi) yang disinyalir oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Tablis Iblis bahwa mereka mengacu kepada alqur’an dan assunnah. Beliau berkata,”orang-orang Shufi pada periode-periode pertama menetapkan untuk mengacu kepada alqur’an dan assunnah, namun kemudian iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang minim”. Tentu saja minimnya ilmu yang dimaksudkan oleh Ibnul Jauzi tersebut tidaklah seperti yang kita kira yaitu sebagaimana minimnya pengetahuan orang dimasa sekarang ini tentang syari’at Allah jalla wa ‘ala.
       Ibnul Jauzi menukil ucapan Al Junaid, “madzhab kami ini terikat dengan dasar yaitu alkitab dan sunnah.” Junaid juga mengatakan, “ ilmu kami mengikuti kitab dan sunnah. Siapa yang tidak menjaga alkitab dan tidak menulis hadits berarti dia belum memahami dan tidak layak untuk diikuti”. Dia juga menyebutkan, “kami tidak mengambil tasawwuf dari perkataan orang ini dan orang itu, tetapi dari rasa lapar, meninggalkan dunia, meninggalkan kebiasaan sehari-hari dan hal-hal yang dianggap baik. Sebab tasawwuf itu berasal dari kesucian muamalah dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dengan dunia”.
       Dari sini kita bisa mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Ibnul Jauzi dengan orang-orang periode pertama adalah orang-orang yang berada pada suatu abad dimana istilah tasawwuf muncul. Yaitu pada abad dua dan tiga hijriah. Bukan di masa nabi dan para sahabat. Dan kita mengetahui bagaimana besarnya keilmuan para tokoh-tokoh Shufi yang hidup para periode tersebut seperti Al Junaid, As Suhrawardi, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. Mereka bukanlah orang-orang sembarangan, mereka keluar dari halaqah-halaqah dan jami’ah-jami’ah besar. Meskipun begitu, Ibnul Jauzi menyatakan mereka adalah orang-orang yang minim keilmuannya sehingga tergelincir pada suatu bid’ah.
       Ahmad bin Hanbal pernah berkata tentang diri Sary As Saqathi, “dia seorang syaikh yang dikenal karena suka menjamu makanan”. Kemudian ada yang mengabarkan kepadanya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepadanya. Maka seketika itu pula imam Ahmad berkata, “ jauhilah dia”.” Dari Yunus bin Abdul A’la berkata, “aku pernah mendengan Asy Syafi’i berkata,’andaikata seorang menjadi seorang Shufi pada pagi hari, maka pada siang harinya tentu dia akan menjadi orang yang dungu’.” Asy Syafi’i juga pernah berkata,”tidaklah seorang menekuni tasawwuf selama empat puluh hari, lalu akalnya kembali normal seperti sedia kala”.
       Tokoh-tokoh aliran Shufi, sekalipun mereka orang-orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah jalla wa ala, menjauhi hal-hal yang mendatangkan kemurkaan Allah namun mereka adalah orang minim keilmuannya dimata para imam-imam salaf. Mungkin karena mereka hidup di sebuah zaman, dimana para ulama salafus shaleh hidup dan dekatnya aqidah mereka dengan aqidah salafus shaleh, sehingga sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa tasawwuf akhlaqi banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Namun tetap saja para a’immah memperingati dari kekeliruan paham ini.
       Adapun tasawwuf falsafi adalah tasawwuf yang diadopsi oleh tokoh-tokoh Shufi sekaligus sebagai tokoh Filsafat. Dan ini banyak dianut oleh orang-orang belakangan semisal Al Hallaj, Ibnu ‘Araby, dan yang lainnya.
Abdulah Taslim berkata, “Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte: Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘Azza wa Jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘Azza wa Jalla dengan wujud makhluk/Manunggaling Gusti ing Kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu.
        Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia –Maha Suci Allah ‘Azza wa Jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib. Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘Azza wa Jalla ) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia –menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.
       Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘Azza wa Jalla ) – maha suci Allah ‘Azza wa Jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus. (Lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354)”.
Dalam perkembangan berikutnya, Shufi terpecah menjadi beberapa aliran yang sesuai dengan thariqah tokoh yang membawanya. Diantaranya Naqsabandiyyah, Qaadiriyyah, Jistiyyah, Sahruwardiyyah ,Syatariyyah dan lain-lain.

KESIMPULAN dan PENUTUP

Untuk mengakhiri makalah ini, maka dapatlah kami sebutkan beberapa hal yang penting yang merupakan sebagai kesimpulan dari makalah ini.
a. Shufi adalah sebuah aliran dalam islam yang memiliki kontroversial yang banyak sejak kemunculannya.
b. Meskipun sebagian penulis yang berafiliasi terhadap aliran ini mempertahankan tasawwuf sudah ada pada diri Rasullullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau ridwanullah alaihim ajmain, namun hakekat yang terlihat malah sebaliknya. Hal ini sudah ditulis oleh para ulama salafus shaleh dalam kitab-kitab mereka sejak kemunculan aliran ini.
c. Zuhud yang dilakukan oleh kelompok ini sebagaimana yang disebutkan oleh a’immah seperti Ibnu Hanbal, Ibnul Jauzi dan lainnya keluar dari koridor alqur’an dan assunnah.
d. Minimnya keilmuan mutasawwifun tentang syariat Allah jalla wa ‘ala menurut para ulama ahlussunnah.
e. Para ahli sejarah membagi tasawwuf menjadi dua yaitu tasawwuf akhlaqi dan tasawwuf falsafi.
f. Terpecahnya aliran ini kepada beberapa thariqah
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari akhir.



Jumlah Huruf al-Qur'an

Asafi dalam kitab Majmu al Ulum wa Mathli’u an Nujum dan dikutip oleh Imam Ibn ‘Arabi dalam mukaddimah al-Futuhuat al Ilahiyah menyatakan jumlah huruf-huruf dalam Al Qur’an diurut sesuai dengan banyaknya:
Alif: 48740 huruf,
Ba ’ : 11420 huruf,
Ta’ : 1404 huruf,
Tsa’ : 10480 huruf,
Jim : 3322 huruf,
Ha : 4138 huruf,
Kha ’ : 1503 huruf,

Dal : 5998 huruf,
Dzal : 4934 huruf,
Ra ’ : 2206 huruf,
Zai : 1680 huruf,
Sin : 5799 huruf,
Syin : 2115 huruf,
Shad : 2780 huruf,
Dhadl : 1822 huruf,
Tha’ : 1204 huruf
Zha’ : 842 huruf.
‘Ain : 9470 huruf,
Ghain : 1229 huruf,
Fa’ : 9813 huruf,
Qaf : 8099 huruf,
Kaf : 8022 huruf,
Lam : 33922 huruf,
Mim : 28922 huruf,
Nun : 17000 huruf,
Wawu : 25506 huruf,
Ha ’ : 26925 huruf,
Lam alif : 14707 huruf,
Ya’ : 25717 huruf,

Jumlah total semua huruf dalam al- Qur ’an sebanyak 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuh ribu). Jumlah total ini sudah termasuk jumlah huruf ayat yang di-nusakh.



Kamis, 02 Desember 2010

Karena Harapan,,,,

        Dahulu disebuah kota besar, ada seorang pengusaha yang cukup berhasil. Ketika dia jatuh sakit, satu persatu pabrik yang dimilikinya di jual. Hartanya terkuras untuk berbagai biaya pengobatan. Hingga akhirnya dia dan keluarganya harus pindah ke pinggiran kota dan hanya bisa membuka rumah makan sederhana sebagai tempat usahanya. Akhirnya diapun meninggalkan keluarganya (anak istri) pergi kerahmatullah. Beberapa tahun kemudian, rumah makan itu pun harus berganti rupa menjadi warung makan yang lebih kecil sebelah pasar.


        Setelah lama tak terdengar kabarnya, kini setiap malam tampak sang istri di bantu oleh sang anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan di alun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-orang pun masih mengenal masa lalunya yang serba berkelimpahan, namun ia tak kehilangan senyumnya yang tegar saat meladeni para pembeli.

        Pernah ada seorang pembeli yg bertanya "Wahai ibu, bagaimana kau demikian kuat?" diapun menjawab “Harapan Nak! Janganlah kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia pernah berujar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon, meski kita tahu tak kan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian. Sekali kau kehilangan harapan, kau telah kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi dunia.”


Hati

        Kualiatas pribadi seseorang ditentukan oleh kualitas hatinya. Imam Al-Ghazali mengibaraatkan hati bagaikan raja yang ditaati atau penguasa yang diikuti. Sedangkan seluruh anggota tubuh yang lain adalah para bawahan dan prajurit yang harus tunduk dan patuh atas segala perintahnya.
Apabila sang raja atau penguasa baik, maka akan baik pula semua pengikutnya. Demikian pula sebaliknya, apabila sang raja lalim, maka rakyatnya pun akan punya perilakau yang tidak jauh berbeda. Pernyataan Al-Ghazali tersebut terinspirasi oleh hadist Nabi SAW, “Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging yang apabila baik, maka baiklah seluruh jasad itu. Dan apabila rusak, maka rusaklah seluruh jasad itu. Ketahuilah, ia adalah hati.”

       Oleh karena besarnya pengaruh hati pada kualitas seluruh jasad, berkali-kali Allah mengingatkan kepada manusia bahwa Dia mengawasi apa yang tersimpan di dalam hati. Mari kita simak peringatan Allah di bawah ini, “ Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu.” (QS Al-Ahzab [33]:51). “ Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS Al-Anfal [8]:43).
Peringatan Allah dan Rasul-Nya tersebut jelas sekali menegaskan bahwa hati merupakan bagian tubuh terpenting untuk senantiasa dikontrol dan dibenahi. Karena, menurut Al-Ghazali, hati menjadi ajang pertempuran antara dua hawa nafsu. Kedudukannya laksana penguasa yang menerima dan memfilter bisikan dari berbagai pihak, seperti para menteri, para penasihat presiden, dan lain sebagainya. Bisikan-bisikan itu dating silih berganti. Tergantung kebijakan sang penguasa, apakah ia berpihak kepada pembisik yang baik atau yang buruk.
         Untuk melihat lebih jauh keberhasilan hati dalam pertempuran tersebut, Allah SWT memberikan ilustrasi yang sangat menarik, “dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizing Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami0 bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS Al-A’raf [7]: 58).
       Hati yang baik digambarkan oleh ayat tersebut seperti tanah atau negeri yang subur. Di dalamnya tumbuh tanaman dan buah-buahan yang segar dan bermanfaat bagi penduduknya. Sedangkan hati yang buruk ibarat tanah tandus dan negeri yang tidak sejahtera. Pengibaratan tersebut patut kita renungkan lebih dalam. Sudahkah hati kita memberikan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain? Dalam konteks yang lebih luas, sudahkah hati pemimpin kita melahirkan kebijakan yang memakmurkan rakyatnya? Pertanyaan pertama hanya bisa dijawab oleh masing-masing orang.
Sedangkan yang kedua sudah jelas di depan mata.

RADHA'AH ( Susuan )

1. Pengertian Radha’ah

       Radha’ah (Penyusuan) dari segi bahasa adalah لمص الثدي وشرب لبنه yaitu perbuatan menghisap Areola Mamma dan meminum susunya.

      Adapun dari segi istilah adalah perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan susu seseorang perempuan atau susu yang masuk kedalam perut dan mengesani otak seorang anak.


2. Hadits-hadits Tentang Radha’ah
a. Haram Karena Susuan Apa-apa Yang Haram Karena Hubungan Nasab

عن ابن عباس ر.ض أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أريد على ابنة حمزة. فقال" إنهالاتحل لي إنها ابنة أخي من الرَّضَاعَةِ, ويحرم من الرَّضَاعَةِ ما يحرم من النسب.(متفق عليه)

       Dari Ibnu Abbas R.A. bahwasanya aku kehendaki agar Nabi SAW melamar anak perempuan Hamzah, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya dia tidak halal untuk aku, sesungguhnya dia anak perempuan saudaraku sesusuan. Apa-apa yang diharamkan sebab nasab diharamkan juga sebab penyusuan. (Muttafaqun Alaih)

عن أم حبيبة بنت أبي سفيان قالت دخل علي رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت له هل لك في أختي بنت أبي سفيان ؟ فقال أفعل ماذا ؟ قلت تنكحها قال أو تحبين ذلك ؟ قلت لست لك بمخلية وأحب من شركني في الخير أختي قال فإنها لا تحل لي قلت فإني أخبرت أنك تخطب درة بنت أبي سلمة قال بنت أم سلمة ؟ قلت نعم قال لو أنها لم تكن ربيبتي في حجري ما حلت لي إنها ابنة أخي من الرضاعة أرضعتني وأباها ثويبة فلا تعرضن علي بناتكن ولا أخواتكن. (رواه مسلم)
       Dari Ummu Habibah binti Abu Sufyan RA, dia berkata,” Rasulullah SAW masuk kerumahku , lalu aku bertanya kepada beliau, “apakah engkau berminat terhadap saudariku, binti Sufyan?” lalu beliau bertanya, “apa yang akan aku lakukan?”, Ummu Habibah berkata, “Ya engkau nikahi!”, beliau bertanya, “engkau senang hal itu?”, Ummu Habibah berkata,”aku tidak berbasa-basi dengan engkau, dan aku lebih senang jika orang yang bersamaku dalam kebaikan adalah saudara perempuanku sendiri.” beliau berkata, “Dia tidak halal aku nikahi.” Aku (Ummu Habibah) berkata, “aku mendengar kabar bahwa engkau melamar Durrah binti Abu Salamah.” Rasulullah SAW menjawab, “Putri Abu Salamah?.” Aku katakan, “Ya.” beliau berkata, “Seandainya dia bukan anak tiriku yang berada dalam asuhanku, maka ditetap tidak halal aku nikahi, karna dia adalah putri saudara laki-lakiku dari hubungan susuan. Tsuwaibah pernah menyusuiku dan ayah Durrah. oleh karna itu janganlah kalian menawarkan anak-anak perempuan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian!.”

عن عائشة ر.ض أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَأَنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرَاهُ فُلانًا لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنْ الرَّضَاعَةِ قَالَتْ عَائِشَةُ لَوْ كَانَ فُلانٌ حَيًّا لِعَمِّهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ دَخَلَ عَلَيَّ فَقَالَ نَعَمْ الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلادَة ُ(رواه البخاري)

       Dari Aisyah RA, bahwa suatu ketika Rasulullah berada dirumah Aisyah. Saat itu Aisyah mendengar suara laki-laki yang meminta izin masuk kerumah Hafshah. Aisyah berkata , “Ya Rasulullah! laki-laki itu meminta izin kerumah engkau .” lalu beliau menjawab, “aku lihat dia adalah anak si fulan, (anak paman Hafshah dari saudara susuan)”. kata Aisyah,” aku berkata, “wahai Rasulullah! seandainya fulan hidup (paman Aisyah dari saudaran susuan) apakah dia boleh masuk kerumahku?” beliau menjawab, “ Ya boleh, karna susuan itu menyebabkan mahram sebagaimana hubungan kelahiran.”

عن عائشة قالت جاء عمي من الرضاعة يستأذن علي فأبيت أن آذن له حتى أستأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم فلما جاء رسول الله صلى الله عليه و سلم قلت إن عمي من الرضاعة استأذن علي فأبيت أن آذن له فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: فليلج عليك عمك قلت إنما أرضعتني المرأة ولم يرضعني الرجل قال إنه عمك فليلج عليك (رواه مسلم)

       Dari Aisyah bahwasanya dia berkata, “Pamanku dari susuan datang, lalu meminta izin masuk kerumahku, namun aku tidak memberi izin kepadanya, sehingga aku mohon petunjuk kepada Rasulullah SAW, tatkala Rasulullah SAW datang aku kabarkanlah kepadanya sesungguhnya pamanku dari hubungan susuan telah minta izin untuk masuk kerumahku, namun aku tidak mengizinkannya.” lalu Rasulullah bersabda, “Persilakanlah pamanmu masuk kerumahmu!” aku tanyakan “tapi yang menyusuiku adalah perempuan bukan laki-laki?.” beliau bersabda. “Dia adalah pamanmu persilakanlah dia masuk kerumahmu.”.(Riwayat Muslim)

وعنها رضي الله عنها: " أن أفلح (أخا أبي القعيس)جاءيستأذن عليها بعدالحجاب، قالت:فأبيت أن أذن له, فلماجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم أخبرته بالذي صنعته فأمرني أن أذن له علي، وقال: إنه عمُّك"

       Dari Aisyah R.A, dia berkata bahwasanya Aflah saudara qhais datang minta izin pada Aisyah setelah perintah hijab, ia berkata “ lalu saya tidak memberi izin”, Ketika Rasulullah SAW datang saya beritahu perbuatan saya tadi. Beliau memerintahkan agar aku membari izin padanya untuk masuk. dan beliau bersabda: Dia adalah pamanmu (sesusuan).

       Dari beberapa hadis diatas dapat diambil istimbat hukum bahwa orang-orang yang diharamkam karna susuan ada tujuh orang yakni:
1. Ibu susuan.
2. Saudara perempuan susuan.
3. Anak perempuan.
4. Saudara dari ayah susuan.
5. Saudara perempuan dari ibu.
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
7. Anak perempuan dari saudara perempuan.

ٍ
       Selain itu juga dari keterangan hadi diatas menunjukkan bahwa kerabat-kerabat ibu susu menjadi kerabat bagi anak susuannya. Akan tatapi kerabat anak susuan tidak menjadi kerabat bagi ibu susuan.

b. Bilangan dan Bentuk Susuan yang Dapat Mengharamkan

عن عائشة الله ر.ض قالت:قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لا تحرم المصة أو المصتان (رواه مسلم)

       Dari Aisyah Mengatakan bahwa?.” Nabi SAW bersabda: “ Sekali susuan atau dua kali susuan atau sekali hisapan dan Dua kali Hisapan tidaklah menjadikan mahram.”(Riwayat Muslim)

عن أم الفضل قالت دخل أعرابي على نبي الله صلى الله عليه و سلم وهو في بيتي فقال يا نبي الله إني كانت لي امرأة فتزوجت عليها أخرى فزعمت امرأتي الأولى أنها أرضعت امرأتي الحدثي رضعة أو رضعتين فقال نبي الله صلى الله عليه و سلم : لا تحرم الإملاجة والإملاجتان (رواه مسلم)

        Dari Ummu Fadhl Mengatakan bahwa “Seorang Arab pedalaman datang kepada Nabi yang ketika itu beliau ada dirumahku, lalu orang itu berkata, “Wahai Nabi! Saya mempunyai seorang isteri, lalu saya menikah lagi. Kemudian Isteriku yang meyakini bahwa dia pernah menyusui isteriku yang muda dengan sekali atau dua kali susuan?.” Nabi SAW bersabda: “ Sekali hisapan dan Dua kali Hisapan tidaklah menjadikan mahram.”(Riwayat Muslim)

عن عائشة أنها قالت كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسخن بخمس معلومات فتوفي رسول الله صلى الله عليه و سلم وهن فيما يقرأ من القرآن (رواه مسلم)
        Aisyah RA berkata, semua susuan yang menyebabkan kemuhriman adalah sepuluh kali susuan seperti yang tersebut di sebagian ayat Al Qur’an . kemudian dinasakh menjadi lima susuan oleh ayat Al Qur’an. Setelah itu Rasulullah wafat dan ayat-ayat Al Qur’an tetap dibaca seperti itu.” (Riwayat Muslim).

عن ابن مسعود ر.ض قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " لارضاع إلاماانشزالعظم,وأنبت اللحم"( أخرجه أبوداود)

       Dari Ibnu Mas’ud R.A, dia berkata: Tida penyusuan yang dapat mengharamkan kecuali penyusuan yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging. (Riwayat Abu Dawud)

وعن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخـل عليها وعندها رجل، فتغيّر وجـه النبي صلى الله عليه وسـلم فقالت:( يا رسول الله إنه أخي من الرضـاعة، فقال: انظـُرنَ مَنْ إخوانكن فإنما الرضاعة من المجاعة)] متفق عليه [.

        Dari Aisyah R.A, dia berkata: lihatlah saudara-saudaramu (sesusuan), sebab sesusuan itu dari rasa lapar. (Muttafaq Alaih)

وعن أم سـلمة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صـلى الله عليه وسلم: لا يحرم من الرضـاعة إلا ما فتق الأمعـاء في الثدي وكان قبل الفطام. (رواه الترمذي وصححه هو والحاكم)

       Dari Ummu Salamah R.A, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak haram sesusuan kecuali masuk pada usus, dan anak belum disapih. (Riwayat Tirmidzi. Di sahihkannya bersama Hakim)

عن زياد السهمي قال: نهى رسول الله صـلى الله عليه وسلم أن تسترضع الحمقى,( أخرجه أبوداود, وهومرسل, وليست لزيادة صحبة)
Dari Ziyad Assahmi, dia berkata: Rasulullah SAW melarang meminta kepada perempuan yang bodoh untuk menyusui. ( Riwayat Abu Dawud. Hadits ini Mursal karena Ziyad bukan Sahabat)

      Dari beberapa hadis diatas ada beberapa hal yang dapat kita garis bawahi, antara lain adalah:

1. bahwa sekali atau dua kali hisapan atau susuan tidaklah mengakibatkan terjadinya mahram.
2. Kedua yang mengakibatkan Mahram adalah tiga kali hisapan atau susuan. ini berdasarkan hadis yang disampaikan Ummu Fadhl, dan pendapat ini adalah dari Abu Tsaur, Ibnu Munzir, dan Daud serta Ahmad dalam suatu riwayat lain.
3. Bahwa yang dapat mengakibatkan Mahram adalah lima kali Susuan keatas, karena itu merupakan batas rasa lapar bagi bayi. ini yang dikemukakan beberapa Ulama dikalangan Sahabat seperti, Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, Atha’, dan Thawus, serta ulama Mazhab Yaittu Asy-Syafi’I, dan Ahmad. ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Aisyah.
Dan Bahwa penyusuan yang mengharamkan juga harus masuk ke usus dan dapat menguatkan tulang.
4. Anak tidak boleh disusukan pada perempuan yang kurang cerdas.

c. Menyusui Orang Dewasa

عن عائشة ر.ض قالت:جأت سهلة ابنة سهيل,فقالت: يا رسول الله, إن سالما مولى أبي حذيفة معنا في بيتنا, قد بلغ ما يبلغ الرجال وعقل ماعقلوا وإنه يدخل علينا وإن أظن أن في نفس أبي حذيفة من ذلك شيئا فقال لها النبي صلى الله عليه و سلم أرضعيه تحرمي عليه ويذهب الذي في نفس أبي حذيفة فرجعت فقالت إني قد أرضعته فذهب الذي في نفس أبي حذيفة (رواه مسلم)

       Dari Aisyah R.A, berkata: Bahwa salim maula Abu Huzaifah pernah berada bersama Abu Huzaifah dan keluarganya dirumah mereka. lalu datanglah Sahlah bin Suahail (isteri Abu Huzaifah) kepada Nabi SAW, kemudian ia berkata, sesungguhnya Salim telah mencapai usia dewasa, dan saya mengira Abu Huzaifah merasa tidak enak (agak cemburu) kalau Salim masuk kerumah kami.” Maka Nabi SAW berkata kepada SAhlah, “Susuilah dia agar kamu menjadi mahram baginya, sehingga Abu Huzaifah tidak lagi merasa cemburu.” kemudian Sahlah bin Suhail pulang menemui Abu Huzaifah, dan ia berkata , “Sesungguhnya saya telah menyusui Salim.” lalu hilanglah kekhawatiran Abu Huzaifah.” (Riwayat Muslim).

عن زينب بنت أبي سلمة أخبرته أن أمها أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه و سلم كانت تقول أبي سائر أزواج النبي صلى الله عليه و سلم أن يدخلن عليهن أحدا بتلك الرضاعة وقلن لعائشة والله مانرى هذا إلا رخصة أرخصها رسول الله صلى الله عليه و سلم لسالم خاصة فما هو بداخل علينا أحد بهذه الرضاعة ولا رائينا(رواه مسلم)

       Dari Zainab binti Ummu Salamah, Bahwa ibunya, yakni Ummu Salamah (isteri Nabi SAW) berkata, “ semua isteri-isteri Nabi menolak untuk memasukkan Laki-laki yang pernah mereka susui pada usia dewasa kedalam rumah mereka. mereka mengatakan kepada Aisyah, Demi Allah! apa yang berhak kepada Salim dengan Sahlah tersebut hanyalah Dispensasi yang diberikan Rasulullah, SAW khusus untuk Salim, sehingga laki-laki yang pernah kita susui pada usia dewasa seperti itu tidak boleh masuk kerumah kita dan kita tidak boleh melihatnya.” (Riwayat Muslim).

       Hadis yang pertama menyatakan bahwa menyusui orang dewasa mengakibatkan mahram antara orang yang menyusui dengan orang yang disusui, dan hadis ini mencapai tingkat Mutawatir. akan tetapi Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum susuan hanya hanya mengenai anak yang masih kecil. Tentang hadis ini hanya berlaku pada mereka saja, yakni Salim dan Sahlah. Sebagaimana keterangan yang disampaikan Aisyah dalam hadis kedua dari pembahasan ini. Hal yang senada juga di kemukakan oleh Ibnu Taimyah, dan dikuatkan oleh Asy-Syaukani.
       Pendapat Jumhur adalah lebih relevan karna ada beberapa hadis yang mendukung pendapat ini antara lain:

َعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قال النبي صلي الله عليه وسلم {لَارَضَاعَ إِلَّا فِي اَلْحَوْلَيْنِ } رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَابْنُ عَدِيٍّ مَرْفُوعًا وَمَوْقُوفًا, وَرَجَّحَا اَلْمَوْقُوفَ

“Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: nabi SAW besabda: “Tidak ada penyusuan kecuali dalam dua tahun.” Hadits marfu' dan mauquf (riwayat Daruquthni dan Ibnu 'Adiy.) Namun mereka lebih menilainya mauquf.


d. Wanita Dapat Menjadi Saksi Dalam Hal Susuan

عن عقبة بن الحارث أنه تزوج أم يحيى بنت أبي إهاب, فجأت امرأة فقالت: لقد أرضعتكما, فسأل النبي صلى الله عليه وسلم, فقال: كيف وقد قيل ففارقها عقبة, فنكحت زوجاغيرهز(أخرجه البخاري)

        Dari Uqbah bin Harits, bahwasanya dia mengawini Ummu Yahya binti Abu Ilhab. lalu ada seorang perempuan datang dan berkata: Saya betul-betul menyusui kamu berdua. lalu saya bertanya kepada Nabi SAW, beliau menjawab: bagaimana lagi sudah ada orang berkata. Lalu Uqbah menceraikannya, dan Ummu Yahya kawin dengan lelaki lain. (Riwayat Bukhari)

       Hadis ini menyatakan bahwa kesaksian seoarng wanita tetang susuan dapat diterima dan wajib diamalkan ini diriwaytkan dari Usman, ibnu Abbas, Az-Zuhri, Al-Hasan, Ishaq, Al-Auza’I, Ahmad dan Abu Ubaid. diriwayatkan dari golongan Syafi’iyah dan Hanafiyah bahwa kita wajib mengamalkan persangkaan dalam masalah nikah. walaupun menerima kesaksian seorang wanita dalam masalah Radha’ah, berlawanan dengan maslah biasa akan tetapi kita harus menerimanya karna telah ada nash yang khusus.

e. Hadiah Kepada Ibu Susuan


عن حجاج بن حجاج عن أبيه قال : قلت يارسول الله ما يذهب عني مذمة ( يريد ذمام الرضاع وحقه ) الرضاعة ؟ قال " الغرة العبد أو الأمة " قال النفيلي حجاج بن حجاج الأسلمي وهذا لفظه ضعيف (رواه أبو داود)
        Diriwayatkan dari Al-hajjaj ibn hajjaj ibnu Malik ibn Aslami, dia berkata bahwa saya bertanya kepada Rasulullah “apakah kiranya yang dapat membalas budi sebagai rasa tanggung jawabku terhadap ibu susuanku?.” Nabi SAW menjawab, “ menghadiahkan seoarng budak laki-laki atau budak perempuan.”(riwayat Abu Daud)

        Dari hadis ini diterangkan bahwa memberikan hadiah diluar upah kepada ibu susuan sebagai ungkapan terima kasih adalah dianjurkan, dan ini telah menjadi kebiasaan bagi orang-orang terdahulu.


DAFTAR PUSTAKA

 Abu Daud al-Sajistani al-azdi, Sulaiman bin ‘Asy’ats. Kitab Sunan Abu Daud, Cairo: Dar al-Fikr, T.t.
 Al Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju'fiy. Shahih Bukhari, juz. 5 Damaskus: Dar Ibnu katsir, 1987.
 Ash-Shiddieqy, T.M. Sabih. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
 Asqalani, Ibnu Hajar. Bulughul Maram Min Jam’i Adillati Al-Ahkam, Cairo: Dar Al-Hadis, 2003.
 Musthofa, Dkk., Kitab Fiqh Mazhab Syafi’I, Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005.
 Muslim bin Hujaj abu Husein al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, jilid 2. Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Araby, t.t,.