Selasa, 03 Januari 2012

Sendi-Sendi Hukum Adat


A.           Pengertian Hukum Adat
Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat- istiadat mencakup konsep yang luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum badat harus dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena keduanya erat sekali kaitannya. Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita telaah beberapa pendapat sebagai berikut :[1]
1.      Prof. Mr. B. Terhaar Bzn
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
2.      Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
3.      Dr. Sukanto, S.H.
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
4.      Mr. J.H.P. Bellefroit
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
5.      Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturanperaturan.
6.      Prof. Dr. Hazairin
Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidahkaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
7.      Soeroyo Wignyodipuro, S.H.
Hukum adat adalah suatu ompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturanperaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum ( sanksi ).
8.      Prof. Dr. Soepomo, S.H.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
B.            Pengertian Sendi Hukum Adat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),[2] Sendi merupakan dasar, azas, atau pedoman, dan fundamen. Maka, secara harfiyah dapat di pahami bahwa maksud dari Sendi-Sendi Hukum Adat adalah pedoman dasar karakteristik system hukum adat di Indonesia.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mejemuk, terdiri dari sekitar 742 bahasa daerah dan sekitar 1.128 suku dan etnis, sudah barang tentu mempunyai kebiasaan dan adat yang berbeda pula. Namun kemajemukan masyarakat Indonesia tersebut tidak mempengaruhi sendi dasar dari hukum adat setiap daerah. Itulah sebabnya masyarakat di luar Indonesia sangat tertarik untuk meneliti bangsa Indonesia yang meski begitu banyak suku, namun system gotong-royong dan kerja sama selalu menjadi pilar utama masyarakat Indonesia.

C.         Corak dan Sendi Hukum Adat.
Hukum adat adalah hukum yang bersumber pada ugeran-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli dalam hal ini sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih,[3] sehingga jelas sekali terlihat bahwa hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia yang dibuat oleh masyarakat Indonesia sendiri secara turun-temurun berdasarkan value consciousness mereka yang terealisasi dalam kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan rasa keadilan mereka. Dengan demikian jika kembali pada pemikiran Von Savigny bahwa hukum adalah cerminan jiwa rakyat, maka hukum adatlah yang merupakan cerminan jiwa bangsa indonesia.
Tiap hukum merupakan suatu system, artinya kompleks norma-normanya itu merupakan suatu kebetulan sebagai wujud pengejawantahan daripada kesatuan alam pikiran yang hidup dalam masyarakat. System hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia[4] yang sudah barang tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum Barat. Untuk dapat memahami serta sadar akan hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.[5]
Menyimpang ataupun lebih tepat berlainan dengan hukum Barat yang bersifat individualistis-liberalistis, hukum adat memiliki corak dan sendi yang jauh berbeda dengan hukum Barat tersebut, yaitu:[6]
o   Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat. Sifat komunal, sifat kebersamaan ataupun “komune trek” terlihat dalam warga untuk melakukan gotong-royong, bantu-membantu. Bahkan pada Suku Jawa terdapat suatu pepatah adat yang melukiskan sifat komunal tersebut, “Dudu sanak dudu kadang ning yen mati melu kelangen” (bukan anggota keluarga bukan saudara sekandung, tetapi kalau ia meninggal turut merasa kehilangan).
o   Mempunyai corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia. Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.
Arti Relegieus Magis adalah :
- bersifat kesatuan batin
- ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
- ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makluk-makluk halus lainnya.
- percaya adanya kekuatan gaib
- pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang
- setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegieus
- percaya adnya roh-roh halus, hatu-hantu yang menempati alam semesta seperti    terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan lain sebagainya.
- Percaya adanya kekuatan sakti
- Adanya beberapa pantangan-pantangan.
o   Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang konkrit, dan dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud.
Maka tidak ada janji dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, dan tidak ada saling mencurigai. Intinya adalah satunya perkataan dan perbuatan.
o   Hukum adat mempunyai sifat yang visual, artinya perhubungan hukum dianggap hanya terjadi karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.
Contohnya adalah pemberian panjar pada transaksi jual-beli merupakan penegasan terhadap kehendak pembelian yang dalam waktu dekat akan dilakukan, sekalian juga merupakan pemberitahuan untuk pihak ketiga.
            Karakter-karakter hukum adat sebagaimana dikemukakan di atas adalah cermin dari karakter masyarakat Indonesia. Sifat komunalistik dapat terlihat dari kebiasaan gotong-royong dan gugur-gunung yang biasa dilakukan dalam menghadapi pekerjaan besar secara bersamasama, ataupun dalam mekanisme musyawarah yang biasa dilakukan masyarakat kita sejak berabad-abad lampau dalam memecahkan suatu permasalahan bersama. Sifat religio-magis terlihat dari kebiasaan masyarakat kita seperti halnya pemberian sesajen, upacara selamatan, sedekah bumi, dan lain-lain. Hal ini dilakukan karena masyarakat kita tidak membedakan dimensi dunia lahir dan gaib. Kedua dimensi tersebut diyakini merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan, sehingga segala macam perbuatan yang akan dilakukan demi kepentingan kehidupan dunia lahir juga selalu memperhatikan aspek kehidupan dunia gaib. Sifat kongkrit dan visual dapat terlihat dalam kebiasaan hidup masyarakat sehari-hari seperti yang telah dicontohkan dalam penjabaran kedua karakteristik ini di atas.
Karakteristik-karakteristik masyarakat asli Indonesia yang tercermin dalam corak dan sifat hukum adat di atas itulah yang menjadi filsafat hukum asli bangsa Indonesia, yang dapat dikatakan sebagai penanda jiwa bangsa Indonesia sehingga dengan sendirinya berfungsi sebagai pembeda dengan filsafat dan sistem hukum lain di luarnya seperti halnya sistem hukum barat. Hal ini akan semakin terbukti jika dilakukan perbandingan secara langsung antara sistem hukum adat dengan sistem hukum barat.
Menurut Soerojo,[7] setidaknya terdapat tiga hal pokok yang menunjukkan perbedaan antara sistem hukum barat dengan sistem hukum adat. Pertama, sistem hukum barat mengenal pembedaan zakelijk rechten dan persoonlijk rechten, sedangkan sistem hukum adat tidak mengenal pembedaan hak sebagaimana demikian. Hak menurut sistem hukum adat ditentukan menurut konteks keadaannya. Kedua, dalam system hukum adat tidak mengenal klasifikasi atau pembidangan hukum seperti halnya dikotomi menurut Ulpianus yang dianut dalam sistem hukum barat yakni yang membagi ruang hukum menjadi dua yaitu hukum publik dan hukum privat. Ketiga, jika dalam sistem hukum barat dikenal pembedaan pelanggaran hukum menjadi pelanggaran hukum pidana dan pelanggaran hukum perdata, maka dalam sistem hukum adat tidak mengenal pembedaan pelanggaran hukum sebagai demikian. Pelanggaran hukum dalam sistem hukum adat hanya satu, yakni yang disebut dengan delik adat.
Selanjutnya, mengenai perbedaan hukum adat tersebut, terdapat berbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabila dibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanya dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku tersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut oleh penulisnya. Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa perbedaan hukum adat, adalah sebagai berikut :[8]
1.      Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2.      Tentang Pribadi
3.      Pemerintahan dan peradilan
4.      Hukum Keluarga
5.      Hukum Perkawinan
6.      Hukum Waris
7.      Hukum Tanah
8.      Hukum Hutang piutang
9.      Hukum delik
10.  Sistem sanksi.
Soepomo Menyajikan pembidangnya sebagai berikut :
1.      Hukum keluarga
2.      Hukum perkawinan
3.      Hukum waris
4.      Hukum tanah
5.      Hukum hutang piutang
6.      Hukum pelanggaran
Ter Harr didalam bukunya “ Beginselen en stelsel van het Adat-recht”, mengemukakan perbedaannya sebagai berikut :
1.      Tata Masyarakat
2.      Hak-hak atas tanah
3.      Transaksi-transaksi tanah
4.      Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut
5.      Hukum Hutang piutang
6.      Lembaga/ Yayasan
7.      Hukum pribadi
8.      Hukum Keluarga
9.      Hukum perkawinan.
10.  Hukum Delik
11.  Pengaruh lampau waktu
Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo Wignjodipuro, misalnya, menyajikan perbedaan, sebagai berikut :
1.      Tata susunan rakyat Indonesia
2.      Hukum perseorangan
3.      Hukum kekeluargaan
4.      Hukum perkawinan
5.      Hukum harta perkawinan
6.      Hukum (adat) waris
7.      Hukum tanah
8.      Hukum hutang piutang
9.      Hukum (adat) delik
Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang mengajukan perbedaan, sebagai berikut :
1.      Hukum Tanah
2.      Transaksi tanah
3.      Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4.      Hukum perutangan
5.      Status badan pribadi
6.      Hukum kekerabatan
7.      Hukum perkawinan
8.      Hukum waris
9.      Hukum delik adat.
Adanya perbedaan konsep antara system hukum barat dengan sistem hukum adat di atas adalah disebabkan adanya perbedaan pandangan hidup (filsafat hukum) atau jiwa bangsa yang melatar belakangi kedua sistem hukum tersebut. Jika dalam dunia barat pendangan hidup yang ada adalah bercorak liberalistis, rasional, dan intelektualistis, maka pandangan adat (pandangan asli bangsa Indonesia) adalah bersifat kosmis (tidak memisahkan dunia lahir dan dunia gaib).
Dalam pandangan barat, subyek yang pertama dan utama adalah individu sehingga masyarakat dipandang sebagai penjumlahan (kumpulan) individu-individu, yang mana pandangan ini merupakan akibat langsung dari adanya pandangan liberalistis sehingga kebebasan individu mendapatkan prioritas perlindungan yang paling tinggi. Sedangkan dalam pandangan adat yang bersifatkan komunalisme, individu dilihat sebagai bagian dari masyarakat sehingga masyarakat inilah yang menjadi subyek yang pertama dalam hukum yang kepentingannya harus diletakkan di atas segalanya, karena diyakini bahwa jika kepentingan masyarakat telah terpenuhi maka kepentingan individu dengan sendirinya juga akan terpenuhi mengingat individu adalah bagian dari masyarakat. Maka dari penjabaran di atas kiranya jelas bahwa hukum adat adalah manifestasi value consciousness dan karakteristik masyarakat Indonesia yang membedakannya dengan sistem hukum lain, sehingga berfungsi sebagai perwujudan hukum asli dan pencerminan jiwa bangsa serta rasa keadilan rakyat Indonesia. Dengan adanya kedudukan hukum adat sebagai perwujudan hukum asli dan pencerminan jiwa bangsa serta rasa keadilan dari rakyat Indonesia ini, maka hukum adat seharusnya memiliki peran sentral dalam pembangunan Hukum Indonesia.
D.      Perbandingan Antara Adat Dengan Hukum Adat.
Perbedaan antara adat dengan hukum adat yaitu :[9]
  1. Dari Terhaar ;
Suatu adat akan menjadi hukum adat, apabila ada keputusan dari kepala adat dan apabila tidak ada keputusan maka itu tetap merupakan tingkah laku/ adat.
  1. Van Vollen Hoven :
Suatu kebiasaan/ adat akan menjadi hukum adat, apabila kebiasaan itu diberi sanksi.
  1. Van Dijk :
Perbedaan antara hukum adat dengan adat terletak pada sumber dan bentuknya. Hukum Adat bersumber dari alat-alat perlengkapan masyarakat dan tidak tertulis dan ada juga yang tertulis, sedangkan adat bersumber dari masyarakat sendiri dan tidak tertulis.
  1. Pendapat L. Pospisil :
Untuk membedakan antara adat dengan hukm adat maka harus dilihat dari atribut-atribut hukumnya yaitu :
    1. Atribut authority, yaitu adanya keputusan dari penguasa masyarakat dan mereka yang berpengaruh dalam masyarakat.
b.      Intention of Universal Application :
Bahwa putusan-putusan kepala adat mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga dikemudian hari terhadap suatu peristiwa yang sama.
c.      Obligation (rumusan hak dan kewajiban) :
Yaitu dan rumusan hak-hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang masih hidup.
Dan apabila salah satu pihak sudah meninggal dunia missal nenek moyangnya, maka hanyalah putusan yang merumuskan mengeani kewajiban saja yang bersifat keagamaan.
d.        Adanya sanksi/ imbalan :
Putusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi/ imbalan yang berupa sanksi jasmani maupun sanksi rohani berupa rasa takut, rasa malu, rasa benci dan sebagainya.
  1. Adat/ kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum adat hanyalah sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum adat.
  2. Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkann adat tidak mempunyai nilai/ biasa.



[1]Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Diktat FISIP Universitas Padjajaran – Bandung. T. th. Hal. 3-5.
[2]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, KBBI (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Hal. 1311.
[3]Sarjono Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat (Jakarta: Haji Masagung, 1988), Hal. 7
[4]Sifat keaslian ini bahkan mampu bertahan dari pengaruh hukum-hukum agama sebagaimana yang diungkapkan Van Vollenhoven dalam membantah teori Receptio in Complexu milik Van den Berg, bahwa hukum adat adalah hukum asli bangsa Melayu-Polynesia dengan ditambah di sana-sini hukum agama secara kecil, dan justru bukan sebaliknya. Lihat: Ibid., Hal. 24.
[5]Ibid,. Hal. 68.
[6]Ibid,. Hal. 68-69. Lihat juga Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Diktat FISIP……Hal. 10-12.
[7] Idib,. Hal. 69.
[8] Soerjono Sukanto, Soleman b. Taneko,  Hukum Adat Indonesia (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), Hal. 136-138.
[9]Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Diktat FISIP…………………………….. Hal. 7-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar