Senin, 15 November 2010

Kritik Sanad-Matn dalam Ilmu Hadits

Oleh: M. Mukhlis Fahruddin

Pendahuluan
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, disamping al-Qur’an. Di lihat dari periwayatannya hadits berbeda dengan al-Qur’an. untuk al-Qur'an, semua periwayatanya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadits, sebagian periwatannya berlangsung secara mutawattir dan sebagian lagi berlangsung ahad. Hadits mengenal istilah shohih, hasan, bahkan ada mardud dan dhoif dan lainya yang hal itu berarti kita harus menolak/memperlakukan berbeda hadis itu, sedangkan dalam al-Qur'an tidak mengenal hal itu kerena al-Qur'an dari segi periwayatannya adalah mutawatir yang tidak lagi diragukan isinya, tetapi dalam kaitan hadits kita harus cermat, siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan bagaimana kualitasnya, kualitasnya dari hadis ini juga akan berpengaruh pada pengambilan hadits dalam pijakan hukum Islam.

Dari uraian diatas menyimpulkan al-Qur'an tidak lagi perlu dilakukan penelitian terhadap keasliannya, karena sudah tidak ada keraguan terhadapnya. sedangkan hadits perlu sikap kritis untuk menyikapi kehadirannya dengan diadakan penelitian, dari penelitian ini akan diketahui bahwa hadits ini memang benar dari Nabi Muhammad dan bukan hadits yang palsu. Penelitian ini bukan meragukan keseluruhan hadis Nabi tetapi lebih kepada kehati-hatian kita dalam pengambilan dasan hukum dalam agama. Inilah bukti bahwa kita benar-benar ingin mengikuti Nabi Muhammad dan menjalankan Islam sepenuhnya.

Dari pentingnya permasalahan ini maka muncullah berbagai macam kritik atas hadits dengan hadirnya metodologi kritik hadis atau metodologi penelitian hadits. Dalam ilmu hadits tradisi penelitian ini lebih difokuskan kepada unsur pokok hadis yaitu sanad, matan dan rawi(1) . Dalam ilmu sejarah, penelitian matn atau nagdul matn dikenal dengan istilah kritik intern, atau an-naqdud dakhili, atau an-naqdul-batini. Untuk penelitan sanad atau naqdus-sanad, istilah yang biasa dipakai dalam ilmu sejarah ialah kritik ekstern, atau an-naqdul-khariji, atau an-naqduz zahiri(2) .

Pada tulisan ini penulis hanya memfokuskan pada tradisi kritik/penelitian hadis, urgensinya, dan kajian sejarah penelitian matn dan sanad hadis. Dari senilah selanjutnya kita mampu memilah dan memilih secara kritis mana hadis yang perlu diikuti dan mana yang tidak, dari sinilah juga kita bisa menentukan kualitanya dari hadis tersebut.

Latar Belakang Pentingnya Penelitian Hadis
Dalam studi hadis persoalan sanad dan matn merupakan dua unsur yang penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis. Kedua unsur itu begitu penting artinya, dan antara yang satu dengan yang lainya saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan berpegaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis. Karenya suatu berita yang tidak memilki sanad tidak dapat disebut sebagai hadis; demikian sebaliknya matn, yang sangat memerlukan keberadaan sanad(3) .

Ada beberapa faktor yang menjadikan penelitian hadis berkedudukan sangat penting. Menurut Syuhudi Ismail faktor-faktor tersebut adalah:
1) Hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Kita harus memberikan perhatian yang khusus karena hadis merupakan sumber dasar hukum Islam kedua setelah al-Qur'an dan kita harus menyakininya.
2) Tidaklah seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi. Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadis, tetapi dalam perjalannnya hadis ternyata dibutuhkan untuk di bukukan.
3) Telah timbul berbagai masalah pemalsuan hadis. Kegiatan pemalsuan hadis ini mulai muncul kira-kira pada masa pemerintahan khalifah ali bin Abi Thalib, demikaian pendapat sebagaian ulama hadis pada umumnya.
4) Proses penghimpunan hadis yang memakan waktu yang lama. Karena proses yag panjang maka diperlukan openelitian hadis, sebagai upaya kewaspadaan dari adanya hadis yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.
5) Jumlah kitab hadis yang banyak dengan model penyusunan yang beragam. Bayaknya metode memunculkan kriteria yag berbeda mengenai hadis, terkadang kitab-kitab hadis hanya mengumpulkan/menghimpunn hadis, maka hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
6) Telah terjadi periwayatan hadis secara makna, hal ini di khawatirkan adanya keterputusan sumber informasinya(4) .

Sungguh telah banyak problem yang menimpa otentikan hadis, mulai dari persoalan ekternal, yakni aksi gugat mengugat yang datang dari kalangan non muslim (orientalis) maupun muslim sendiri, yang mempersolakan keberadaan hadits. Tokoh-tokoh yang mempersoalkan keberadaan hadis misalnya Ignas Goldziher dan Yosep Scahcht, dua orientalis ini sangat getol mengkritik hadis (meragukan otentisitasnya)(5) .

Adapun persoalan yang mengemukakan dari sisi internal, adalah persoalan yang bersangkutan dari figur Nabi, sebagai figus sentral. Sebagai Nabi akhir zaman, otomatis ajarn-ajaran beliau berlaku bagi keseluruhan umat, dari berbagi tempat, waktu sampai pada akhir zaman, sementara hadis itu sendiri turun pada kisaran kehidupan Nabi. Disamping itu tidak semua hadis mempuyai asbab al-wurud, yang menyebabkan hadis bersifat umum atau khusus. Dengan melihat kondisi yang melatar belakangi menculnya suatu hadis, menjadikan sebuah hadis kadang difahami secara tekstual dan secara kontektual.

Keberadaan Nabi dalam berbagai posisi dan fungsinya yang terkadang sebagai manusia biasa, sebagai pribadi, suami, sebagai utusan Allah, sebagai kepa;al-Qur'an negara, sebagai panglima perang, sebagai hakim dan lainya. Keberadan Rasulallah ini menjadi acuan bahwa untuk memahami hadis perlu dikaitkan dengan peran apa yang beliau ‘mainkan’. Oleh karenaya penting sekali untuk mendudukan pemahaman hadis pada tempatnya yang proposional, kapan dipahami secara tekstual, kontektual, universl, temporal, situasional maupun lokal(6) . Itulah pentingnya mengenal ilmu penelitian hadis, hal ini akan memudahlkan kita memahami hadis disamping itu kita juga bisa menilai kualitas hadis itu.


Definisi Kritik
Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata naqd atau dari kata tamyiz yang diartikan; sebagai usaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran(7) , jadi kritik disini sebagai upaya mengkaji hadis Rasulallah saw. untuk menentukan hadis yang benar-benar datang dari Nabi Muhammad SAW.

Pengertian kritik dengan mnggunakan kata naqd mengidentfikasikam bahwa kritik studi harus dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai pengimbang yang baik, ada timbal balik menerima dan memberi, terarah pada sasaran yang dikritik. Adanya unsur perdebatan yang berarti mengeluarkan pemikiran masing-masing(8) . Dengan demikian, pengertian kritik harus bertujuan untuk memperoleh kebenaran yang tersembunyi.

Definisi kritik hadis menurut istilah.
a. Menurut Muhammad Tahir al-Jawaby.
"Ilmu kritik hadis dalah ketentuan terhadap para periwayat hadis baik kecacatan atau keadilannya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang dikenal oleh ulama-ulama hadis. Kemudian meneliti matn hadis yang telah dinyatakan sahih dari aspek sanad untuk menetukan keabsahan atau ke-dhaifan matn hadis tersebut, mengatasi kesulitan pemahaman dari hadis yang telah dinyatakan sahih, mengatasi kontradisi pemahaman hadis dengan pertimbangan yang mendalam(9)"
b. Menurut Muhammad Mustafa Azami
"Kemungkinan definisi kritik hadis adalah membedakan (al-Tamyis) antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da'if dan menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya"(10) .

Jika melihat definisi diatas maka sebenarnya kritik sudah ada pada zaman Nabi Muhammad, pengertian kritik pada masa ini hanya bersifat konfirmatif untuk memperkuat kebenaran informasi yang diterima. Metode sederhana yang ada pada nabi menjadi landasan dasar dalam perkembangan ilmu kritik hadis yang sistematis.

Studi/kritik Sanad Hadis
Sedangakan kata sanad menurut bahasa adalah sandaran atau sesuatu yang di jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena setiap hadis selalu bersandar kepadanya(11) . Yang berkaitan dengan istilah sanad adalah kata-kata, seperti al-isnad, al-musnid dan al-musnad. Kata- kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas yang artinya; menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal, dan mengangkat)(12) maksudnya ialah menyandarkan hadis kepada orang yang menyatakanya.

Fakta sejarah telah menyatakan bahwa hadis Nabi hanya diriwayatkan dengan mengandalkan bahasa lisan/hafalan dari para perawarinya selama kurun waktu yang panjang, hal ini memungkinkan terjadi kesalahan, kealpaan dan bahkan penyimpangan. Berangkat dari peristiwa ini ada sebagaian kaum muslimin bersedia mencari, mengumpulkan dan meneliti kualitas hadis, upaya tersebut dilakukan hanya untuk menyakinkan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi.

Sehubungan dengan hal itu, mereka akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu, sebagai langkah mereka mengadakan penelitian pada sanad. Bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah; (1) nama perawi, (2) lambang-lambang periwayatan hadis, misalnya; sami’tu, akhbarāni, ‘an dan annă.. menambahkan hal itu menurut Bustamin, sanad harus mempunyai ketersambungan, yaitu (1) perawi harus berkualitas siqat (‘adil dan dhabit); (2) masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya pertemuan, diantaranya; sami’tu, hadatsana, hadatsani, akhbirni, qala lana, dhakaran (13)i.

Pada umumnya para ulama dalam melakukan penelitian hanya berkosentrasi pada dua pertanyaan; Pertama, apakah perawi tersebut layak dipercaya, atau kedua, apakah perawi tersebut tidak pantas dipercaya(14) . Untuk meneliti isnad/sanad diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter berbagai pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda. Sanad juga untuk memahami signifikansi yang tepat dari matn, sedangkan untuk menguji keaslian hadis diperlukan pengetahuan tentang berbagai makna ungkapan yang digunakan, dan juga diperlukan kajian terhadap hubungan lafadz matn di hadis-hadits yang lain(15) (beberapa di antaranya memilki kesamaan atau bertolak belakang dengan matn tersebut). Matn hadis yang sudah sahih belum tentu sanadnya sahih. Sebab boleh jadi dalam sanad hadis tersebut terdapat masalah sanad, sepeti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatanya tidak siqat (‘adil dan dhabit )(16).

Singkatnya studi sanad hadis berarti mempelajari rangkaian perawi dalam sanad, dengan cara mengetahui biografi masing-masing perawi, kuat dan lemahnya dengan gambaran umum, dan sebab- sebab kuat dan lemah secara rinci, menjelaskan muttasil dan munqati’nya perawi(17) . Dan selanjutkan akan diteruskan pada kajian matn
Pembahasan/ penelitian ini (kualitas perawi) terangkum dalam kitab/ilmu Rijal al Hadis, atau ilmu Riwayah. Lebih spesifik lagi kita bisa temukan di kitab Jarh wat Ta’dil, dan lain sebagainya. Telah bayak kitab-kitab yang berisi biografi perawi, sampai kepada ketersambungan masa hidup, dan kualits pribadi mereka(perawi).

Studi/kritik Matan Hadist
Kata mattan atau al-matn menurut bahasa berarti mairtafa’a min al-ardi (tanah yang meninggi). Sedangkan menurut istilah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad, dengan definisi lebih sederhana bahwa; matan adalah ujung sanad (qayah as sanad), dengan kata lain yang dimaksud matan ialah materi hdis atau lafal hadis itu sendiri(18) .

Sebagai langkah selanjutnya untuk mengadakan penelitian/kritik hadis pada bidang materi (matn) paling tidak menggunakan kriteria sebagai berikut;
1) Ungkapanya tidak dangkal, sebab yang dangkal tidak pernah diucapkan oleh orang yang mempunyai apresiasi sastra yang tinggi fasih.
2) Tidak menyalahi orang yang luas pandanganya/pikiranya, sebab sekiranya menyalahi tidak mungkin ditakwil.
3) Tidak menyimpang dari kaedah umum dan akhlak.
4) Tidak menyalahi perasaan dan pengamatan.
5) Tidak menyalahi cendekiawan dalam bidang kedokteran dan filsafat.
6) Tidak mengandung kekerdilan, sebab syariah jauh dari sifat kerdil
7) Tidak betentangan dengan akal sehubungan dengan pokok kaidah, termasuk sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya.
8) Tidak bertentangan dengan sunnatullah mengenai alam semesta dan kehidupan manusia.
9) Tidak mengandung sifat naif, sebab orang berakal tidak pernah dihinggapinya.
10) Tidak menyalahi al-Qur'an dan al-sunnah.
11) Tidak bertentangan dengan sejarah yang diketahui umum mengenai zaman Nabi.
12) Tidak menyerupai mazdhab rawi yang ingin benar sendiri.
13) Tidak meriwayatkan suatu keadilan yang dapat disaksikan orang banyak, padahal riwayat tersebut hanya disaksikan oleh seorang saja.
14) Tidak menguraikan riwayat yang isinya menonjilkan kepentingan pribadi
15) Tidak mengandung uraian yang isinya membesar-besarkan pahala dari perbuatan yang minim dan tidak mengandung ancaman besar terhadap perbutan dosa kecil(19) .

Lebih sederhana lagi kriteria ke shahihan hadis adalah sepeti yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Baqdadi (w.463 H/1072 M) bahwa suatu matn hadis dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matn hadis yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut;

1) Tidak bertentangan dengan akal sehat
2) Tidak bertentangan dengan al-Qur'an yang telah muhkam
3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama masa lalu
5) Tidak bertentanga dengan dalil yang telah pasti, dan
6) Tidak bertentangan dengan hadis Ahad yang kualitas keshahihannya kuat(20) .

Kritik Matn dan Sanad (Hadits) dalam Lintasan Sejarah
Sebelum Islam datang, tampaknya sudah ada suatu metode yang mirip dengan pemakaian sanad dalam menytusun buku. Akan tetapi, metode ini masih tampak samar-samar. Sebagaimana dalam penukilan syair-syair jahiliyah, metode sanad sudah digunakan.

Penyampaian hadis oleh Nabi pada awalnya berjalan alamiah, langsung diterima oleh sahabat tanpa melalui syarat yang ketat atau dengan menggunakan al-adā’ wa at-tahammaul yang rumit, karena beberapa faktor yang menyebabkan pengetahuan para sahabat tidak sama, ada yang langsung dia dengar dari Nabi ada yang lewat orang lain, dari sinilah lahir embrio salah satu cabang ilmu hadis yakni ilmu riwayah(21) . Dengan kata lain ilmu ini adalah metode penelitian (penilaian) hadis melalui siapa perawi hadisnya hal ini akan sama dengan penelitian sanad hadis dan lebih jauh lagi akan menginjak kepada penelitian matn hadis.

Jadi sebenarnya sejarah penelitian sanad sudah ada sejak jaman sahabat, misalnya ada hadis yang dikeluarkan seseorang, maka para sahabat akan mengecek siapa yang meriwayatkan hadis itu, bagaimana keadaan orang itu dan kualitas hafalan serta tinggkahnlakuanya, karena hal itu akan mempengaruhi kealitas hadis. Hal ini pernah dilakukan oleh Umar Ibn Khattab, beliau mengatakan:" kami dengan seoarang tetangga dari golongan Ansar di kampung Bani Umayyah ibn Zaid di pinggir ('awaly) kota madinah saling bergantian untuk mengikuti majlis ta'lim yang diadakan oleh nabi. Apabila dia yang ikut aku beritahukan tentang hal-hal yang diajarkan Rasulallah, baik berupa wahyu dan lainya. Dan apabila aku yang ikut majlis pegajian tersebut, maka aku yang memberitahuakan isi pengajian tersebut kepadanya" (22)

Seperti contoh: Imam Muslim meriwayatkan melalui jalur Anas bin Malik, ada seorang dari dusun datang kepada Rasulallah, kami mendengar ia bertanya; “ Hai Muhammad, telah datang kepada kami utusanmu, menjelaskan, bahwa Allah mengirim engkau sebagai Rasul?”, “benar”(23) Riwayat ini menunjukan adanya upaya mencari kebenaran berita di masa Rasulallah. Untuk masa sekarang, komfirmasi tersebut disebut penelitianApa yang mereka dengar dan lihat selalu dinisbatkan kepada nabi. Para sahabat juga menuturkan sumber-sumber berita baik yang bersumber dari Nabi ataupun sahabat, apabila yang meriwayatkan tidak melihat sendiri kejadianaya atau tidak mendengar langsung dari nabi, maka dengan sendirinya mereka akan mnyebutkan sumbernya. Inilah disebut dengan pemakaian sanad.

Sedang masa setelah para sahabat bisa kita lihat dari produk kitab-kitab dari para ulama’ tentang kriteria dan kualits sanad atau perawi yang tentunya dia akan berpengaruh kepada kualaitas hadis. Ilmu itu semua terangkum dalam Jarh wat Ta’dil.

Cikal bakal ilmu jarh wa Ta'dil telah terjadi sejak masa sahabat, guna menjaga kaedah-kaedah agama dan syariat. Sekalipun ada perbedaan meode yang digunakan para sahabat dengan para ulama jarh wa ta'dil. Para sahabat tidal melakukan jarh (pencelaan/ pencacatan ) kepada sahabat lain, tetapi sebagai tindakan hati-hati. (ihtiyat) terhadap informasi yang diterima dan untuk menyakinkan kebenaran dari informasi tersebut. Metode yang digunakan oleh para sahabat adalah "kesaksian" dari sahaba lain yang mendengar hadis tersebut. Metode ini di pelopori oleh Abu Bakar as-siddiq(24).

Sejak kapan muncul kritik matn hadis? Pada masa rasulallah hal ini sudah dilakukan para sahabat ketika rasulallah masih hidup(25) . Kritik matn dilakukan pada aktu itu tela membentuk pola yang selanjutnya sebaai inpirasi metode selanjunya, yaitu metode perbandingan (comparison), atau pertanyaan silang dan silang rujuk (cross question and cross reference) (26).

Maksud kritik matn pada masa sahabat adalah sikap kritis para sahabat terhadap sesuatu yang dinilai janggal pada pemahaman mereka. Misalanya:
Said ibn Abi Maryam menceritaka kepadaku (Bukhari) ia berkata: Nafi ibn 'Umar menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibn Abi Mulaikah menceritakan kepada kami bahwa 'Aisyah, istri Nabi tidak pernah mendengar sesuatu yag belum dipahaminya, kecuali dia akan mengulanginya (menayakan kembali) sehingga dia paham benar. Nabi pernah bersabda: "Barang siapa dihisab, maka dia akan disiksa" 'Aisyah berkomentar: "Bukankah Allah berfirman: 'dia akan dihisab (diperhitungkan) dengan perhitungan yang mudah".(al-Insyiqaq/84:8). Nabi menjawab: "itulah adalah pemeriksaan. Akan tetapi barang siapa yang diteliti dalam pemeriksaannya dengan cermat maka dia akan binasa.(27) "

Zubair ibn harb menceritakan kepada kami (muslim), ia berkata Jabir menceritakan kepada kami dari Mansur dari Hilal ibn Yusuf dari Abi yahya dari abdullah ibn 'Amr berkata: " diceritakan kepaku bahwa Rasulallah SAW. Bersabda:" Salat seorang dalam keadaan duduk sama dengan setengah salat (sempurna/berdiri)". Abdullah ibn Amr berkata:" maka aku mendatangi Nabi da aku dapati beliau sedang solat dalam keadaan duduk. Aku letakkan tanganku di atas kepala beliau". "ada apa wahai Abdullah ibn Amr". Aku menjawab." Wahai Rasulallah! Diceritakan kepadaku bahwa engkau pernah bersabda 'salat seorang dalam keadaan duduk sama dengan setengah salat (sempurna/berdiri)", sedangkan enkau sendiri salat dengan keadaan duduk." Nabi menjawab."benar!.akan tetapi aku tidak seperti kalian(28) .

Tindakan yang dilakuakan 'Aisyah dan Abdullah ibn 'Amr adalah cross reference yaitu mengklarifikasi antara berita yang diterima kepada sumber Rasullah sebagai sumber berita. Hal tersebut untuk mengkomfirmasi adanya kontradiksi antara informasi tentang sabda nabi dari sumber lain dengan perbuatan beliau.

Sikap kritis ini juga kita akan temukan pada sahabat-sahabat lain, yang berusaha untuk memahami ataupun mengecek hadis Nabi. Inilah upaya untuk penyempurnaan pemahaman Kritik matn pada masa Nabi lebih mudah dilakuaknm dibanding kritik matn setelah masa sahabat. Pada masa Nabi sahabat yang mnmukan "kejanggalan" atau kesulitan dalam memahami perkataan atau perbuatan Nabi secara langsung, hal itu dilakukan karena Nabi sebagai subjek paling mengetahui maksud tindakan atau perkataan beliau.

Kritik hadis pasca sahabat dilakukan para ulama dengan cara seperti yang dilakukan oleh para sahabat, hanya sasja para ulama harus membutuhkan ekstra keras untuk mmbandingkan data (dalil) yang lain untuk memahami hadis Nabi. Seperti pada peristiwa hadis maudhu’ (palsu), untuk mengecek apakah hadis itu maudhu’ atau tidak para ulama melihat redaksi hadis, apakah susunan katanya layak diucapkan oleh rasulallah atau tidak, terlihat ganjal dan apakah bertentangan dengan al-Qur'an atau tidak.

Untuk membedakan lebih jelas tentang sanad dan matn lihat tabel perbandingan:
Tabel Perbedaan Metodologi
Aspek Perbedaan Sanad Matn
Secara umum:
•Analisa/melihat keabsahan (kualitas) perawi; dhabit, shiqhoh. dll
•Lebih kepada asal sumber informasi (Orang). Secara Umum:
•Lebih kepada isi/teks hadis
•Pemahaman hadis dengan perbandingan: cross question , cross reference.
•Kajian bisa dengan berbagai cara. Bahasa, asbab al –wurud hadis, atau crosscek dengan dalil/data lainya.
Pada masa Nabi/ sahabat Kesaksian langsung bisa di cek dari para sahabat(perawi)
Bisa langsung cros cek kepada Nabi
Tidak ada pencelaan terhadap perawi
Bersifat konfirmalistik untuk memperkuat informasi yang diterima dan dari siapa
Proses konsolidasi untuk mendapatkan kenyakinan dalam mengamalkan info yang diterima dari Nabi.
Belum ada kritria keabsahan perawi secara sistematis
Metode sederhana dan tidak sistematis Pemahaman langsung bisa ditanyakan/ di diskusikan kepada Nabi
Cenderung ada keseragaman pemahaman karena bisa di cros cek kepada nabi
Ada keragaman pemahan tetapi tidak banyak karena pemahaman yang didampingi Nabi dan para Sahabat
Setelah Sahabat Melihat keabsahan perawi dari riwarat hidup perawi, sehingga memberikan penilaian baku atas perawi (analisis biografi)
Tipis dimungkingkan adanya perbedaan. Karena sudah ada kriteria keabsahan perawi Conten analisis (analisa teks)
Lihat dari aspek bahasa dan sejarah
Ada selalu perbedaan pemahaman dan tidak bisa satu karena sumber /referensi yang berbeda.
Ada kebebasan untuk mmahami hadis dari berbagai aspek kehidupan karena permasalahan kehidupan udah semakin komplek
Berpotensi adanya multi intepretatif dari masa kemasa
Hikmah •Menambah kenyakinan kita terhadap keontetikan hadis Nabi
•Menjaga keautentikan hadis
•Metode sanad adalah satu-satu metode yang tidak ada di agama lain.
•Kenunjukan kehati-hatian kita terhadap sumber kebenaran
•Sebagai pelajaran kita bahwa sumber informasi (data) itu harus jelas dan tidak boleh dimanipulasi
•Mengasah nalar kritis kita •Menambah pemahaman kita terhadap hadis
•Meminimalisir kesalah pahaman kita terhadap hadis Nabi
•Membuka pintu ijtihad dan kreatifitas penafsiran dari masa kemasa.
•Mengurangi sikap fanatisme golongan (sekte)
•Mengasah nalar kritis kita
Penutup
Kritik hadis atau dengan kata lain penelitian hadis adalah upaya kita untuk menseleksi kehadiran hadis, memberikan penilaian dan membuktikan keautentikan sebuah hadis. Upaya ini juga berarti mendudukan hadis sebagai hal yang sangat penting dalam sumber hukum Islam kedua setelah Islam, itulah bukti kehati-hatian kita. Upaya ini juga sebagai upaya untuk memahami hadis dan tepat dalam mengamalkan isi dari hadis tesebut. jadi kita akan lebih yakin akan kebenaran hadis karena adanya proses penseleksian yang ketat dari para sahabat dan para ulama dan metode pemahaman yang benar. Lengkaplah sumber kebenaran dalam Islam, selanjutnya bagaimana kita mendialektikakan teks (al-Qur’an dan Hadis) kekehidupan kita masing-masing, kapanpun dan dimanapun berada.
Catatan :






1. Mudasir. Ilmu hadis. Pustaka Setia. Bandung. 2005.h.61
2. Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadis Nabi..Bulan Bintang. Jakarta. 1992. h. 4-5
3. Erfan Soebahar. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Musthofa al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmaf Amin Mengeanai Hadits dalam Fajr al-Islam. Kencana. Jakarta. 2003.h.174
4. Ibid. h.7-20
5. Fazlur Rahman. Dkk. Wacana Studi Hadis Kontemporer.Tiara Wacana Yogjakarta. 2002. h. 138
6. Ibid. h. 139-140
7. Bustamin. Metodologi Kritik hadis. Raja Grafindo. Jakarta. 2004. h. 7
8. Ahmad Fudhaili,. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadis-Hadis Sahih. Pilar media. Yogjakarta. 2005. h. 26-27
9. Ibid. h.27
10. Ibid. h.28
11. Mudasir. 2005. Op.Cit. h. 61
12. Ibid. h. 62
13. Bustamin.Op.Cit.h.53
14. Nizar Ali. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan) CESad.Yogjakarta. 2001. h. 17
15. Fazlur Rahman dkk. Op.Cit. h. 78.
16. Bustamin.Op.Cit.h.53
17. Mahmud at Tahhan. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis. (Terj; Ridwan Nasir) Bina Ilmu. Surabaya. 1995. h. 97
18. Mudasir. 2005. Op.Cit. h.63
19. Nizar Ali. 2001. Op.Cit. h. 19
20. Dikutib dari Salah Al-Din bin Ahmad Al-Adabi. Oleh Bustamin; Metodologi Kritk Hadis….h. 63
21. Fazlur Rahman. Dkk. .2002 Op.Cit. h. 9
22. Ahmad Fudhaili. 2005. Op.Cit.h.38
23. Shahih Muslim, Juz I, Kitab al-Imam, h. 24-25.
24. Ibid. h. 39
25. Moh. Zuhri. Telaah Matn Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis. LESFI.Yogjakarta. 2003.h.44
26. Ahmad Fudhaili.2005. Op.Cit. h. 44
27. Cerita di ambil dari Ahmad Fudhaili.2005. Op.Cit. h.44
28. Ibid h.47-48
Daftar Pustaka
Ali Nizar. 2001 Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan) CESad.Yogjakarta..
Bustamin. 2004. Metodologi Kritik hadis. Raja Grafindo. Jakarta.
Fudhaili Ahmad, 2005. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadis-Hadis Sahih. Pilar media. Yogjakarta.
Ismail Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi..Bulan Bintang. Jakarta.
Mudasir. 2005. Ilmu hadis. Pustaka Setia. Bandung.
Rahman Fazlur. 2002. Dkk. Wacana Studi Hadis Kontemporer.Tiara Wacana Yogjakarta
Soebahar Erfan. 2003.Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Musthofa al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmaf Amin Mengeanai Hadits dalam Fajr al-Islam. Kencana. Jakarta.









































LARANGAN KHALWAT DENGAN NON MUHRIM Takhrij al-Hadis

Oleh: H. Zaenu Zuhdi, Lc, MHI*

Pada masa modern seperti sekarang ini, adanya interaksi dua gender tidak dapat terelakkan. Baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan, ataupun selainnya. Akan tetapi orang-orang islam sudah banyak yang terkontaminasi oleh budaya luar (negatif), dimana mereka sudah tidak memperhatikan lagi nilai-nilai syariat islam itu sendiri, seperti hubungan pra nikah yang begitu bebas tanpa batas.

Berkaitan dengan hal di atas, kami akan mengangkat sebuah hadis yang berhubungan dengan larangan khalwat antara non muhrim dengan mengadakan penelitian. tujuan pokok dari penelitian hadis ini adalah untuk meneliti kualitas hadis, baik dari segi Sanad maupun dari segi Matan, dan juga untuk mengingat kembali pesan Nabi Saw. Mengetahui kualitas Hadis adalah sesuatu yang sangat penting, sebab hal tersebut berhubungan erat dengan kelayakan hadis untuk dijadikan sebagai hujjah.
Dalam makalah ini kami telah memulai mengadakan penelitian berdasarkan teks hadis yang berbunyi:



“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimnya”.

Dari teks tersebut kami telah menelitinya dengan menggunakan bantuan dari kitab Mu’jam al-Mufahras Li al-Fadz al-Hadis . Kata kunci yang dipakai adalah lafadz . Dalam penelitian ini, kami dapati dalam Shahih Bukhari pada “Kitab al-Nikah” no. hadis: 4904, Shahih Muslim pada “Kitab al-Hajji” no. hadis: 424, dan Sunan Tirmidzi pada “Kitab al-Fitan” no. hadis: 2165.

Penulis akan meneliti hadis-hadis tersebut dengan sistematika pembahasan: Pertama, eksplorasi data hadis, Kedua, kritik sanad, dan ketiga, kritik matan.

A-Teks Hadis
1. Shahih Bukhari dalam Syarah al-Karmani, jilid 9, hal.166, no. hadis 4904:



Nabi Saw bersabda:“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimnya”, lantas ada seorang laki-laki berdiri seraya berkata: Ya Rasulallah, istriku keluar menunaikan ibadah haji, sedangkan saya terkena kuwajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: “kembalilah! Dan tunaikan haji bersama istrimu”,

2. Shahih Muslim dalam Syarah al-Sanusi, jilid 4, hal. 435, no. hadis 424:



Diriwayatkan oleh Abu Ma’bad, ia berkata: saya pernah mendengar Ibn Abbas berkata: Saya pernah mendengar Nabi Saw berpidato: “janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimya. Tiba-tiba seorang laki-laki bangkit berdiri dan berkata: Ya Rasulallah, sesungguhnya istriku bepergian untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kuwajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: “Berangkatlah dan tunaikanlah haji bersama istrimu”.


3. Sunan Tirmidzi, jilid 4, hal 404 no. hadis 2165:



Diriwayatkan oleh Ibn Umar, ia berkata: Umar berpidato kepada kami di al-Jabiyah dan ia berkata: Wahai manusia sekalian, sesungguhnya saya berdiri di tengah-tengah kamu seperti berdirinya Rasulallah Saw di tengah-tengah kami, lalu Beliau bersabda: Saya berwasiat kepadamu agar mengikuti jejak para sahabatku kemudian orang-orang mengiringi mereka, kemudian orang-orang mengiringi mereka, kemudian dusta tersebar sehingga seseorang bersumpah sedang ia tidak diminta sumpah dan seseorang menjadi saksi sedangkan ia tidak diminta menjadi saksi. Ingatlah, janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita melainkan yang ketiganya adalah syaitan. Tetaplah bersatu dan jauhilah perpecahan. Karena sesungguhnya syaitan beserta dua orang itu lebih jauh. Barang siapa menghendaki tempat di surga maka hendaklah ia selalu bersatu. Barang siapa yang kebaikannya dapat menyenangkannya dan kejelekannya dapat menyedihkannya maka ia adalah seorang mukmin.

B-Kritik Sanad Hadis
Di bawah ini skema sanad dari tiga hadis di atas:
Rasulallah
10 H
Ibn Abbas
70 H
Ibn Ma’bad
104 H
Amru bin Dinar
126 H
Sufyan bin Uyainah
198 H
Ibn Abi Syaibah Zuhair bin Harb Ali bin Abdullah
235 H 234 H 234 H
Imam Muslim Imam Bukhari
261 H 265 H

Rasulallah
10 H
Umar bin Khatta
23 H
Ibn Umar
73 H
Abdullah bin Dinar
127 H
Muhammad bin Suqah

Nadhar bin Ismail
182 H
Ahmad bin Mani’
244 H
Imam Tirmidzi
279 H
Sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim adalah sebagai berikut:
1- Ibn Abbas
a. Nama lengkapnya: Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib al Hashimi . Wafat: 70 H
b. Guru-gurunya antara lain: Nabi Saw, Abbas bin Abd Muthalib, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Afan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf.
c. Murid-muridnya antara lain: Abu Ma’bad, Ali dan muhammad bin Abdullah bin Abbas, Abu Imamah bin Sahal, Sa’ad bin Musayyab, Mujahid, Ata’.
d. Derajatnya: tsiqah.

2-Abu Ma’bad
a. Nama lengkapnya: Nafidz Abu Ma’bad. Wafat: 104 H
b. Gurunya: Ibn Abbas
c. Murid muridnya: Amru bin Dinar, Yahya bin Abdullah, Abu Zubair, Sulaiman al-Ahwal, Qasim bin Abi Bazah.
d. Derajatnya: Menurut Ahmad bin Hambal, ibn Ma’in dan Abu Zar’ah: Tsiqah. Ibn Hibban: Tsiqah.

3- Amru bin Dinar
a. Nama lengkapnya: Amru bin Dinar al-Maki Abu Muhammad. Wafat: 126 H.
b. Guru-gurunya antara lain: Ibn Abbas, Abu Ma’bad, Abu Hurairah, Ibn Zubair, Jabir bin Abdullah, Ibn Amru ibn Ash
c. Murid-muridnya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Qatadah, Ayub, Ibn Juraih, Ja’far Shadiq, Malik, Daud Abdurrahman, Ibn Qasim.
d. Derajatnya: Menurut Imam Ahmad, Ibn al-Madani: Tsiqah. Menurut Abdiurrahman bin Hakim: Tsiqah.

4- Sufyan bin Uyainah
a. Nama lengkapnya: Sufyan bin Uyainah bin Ali Imran abu Muhammad al-Kufi. Wafat: 198 H
b Guru-gurunya antara lain: Amru bin Dinar, Abdul Malik bin Umair, Abu Ishaq al-Sabi’I, Aswad bin Qais, Ishaq bin Abdullah.
c. Murid muridnya antara lain: Ibn Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, Ibn Juraij, al-A’masyi, Muhammad bin Idris .
d. Derajatnya: menurut al Madani: Tsiqah. Al ‘Ajli Kufi: Tsiqah Tsubut.

5- Ibn Abi Syaibah
a.Nama lengkapnya: Abu Bakar bin Ahmad bin Abi Syaibah Ibrahim bin usman. Wafat; 235 H.
b. Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Ibn Mubarak, Abu bakar bin Abbas, Jarir bin Abd Hamid.
c. Murid- muridnya antara lain: Imam Bukhari, Imam Muslim, Dawud, Ibn Majah.
d. Derajatnya: Menurut al-‘Ajli: Tsiqah. Menurut Abu Hatim dan Ibn Kharazh: Tsiqah

6- Zuhair bin Harb
a.Nama lengkapnya: Zuhair bin Harb bin Syaddad al-Harsy abu Khasyamah. Wafat: 234 H.
b.Guru-gurunya antara lain:, Sufyan bin Uyainah, Hafas bin Ghiyas, Humaid bin Abd Rahman, Jarir bin Abdul Hamin.
c. Murid-muridnya antara lain: Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah.
d.Derajatnya: Menurut Abu Hatim: Shaduq. Ali bin Junaid: Dapat diterima. Ibn Main: Tsiqah.

7- Imam Muslim
a.Nama lengkapnya: Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi Abul Husain an-Naisaburi. Wafat: 261 H
b.Guru-gurunya antara lain: Zuhair bin Harb, Ibn Abi Syaibah, Ahmad bin Yunus, Ismail bin Uwais, Daud bin Amru.
c. Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin salamah, Ibrahim bin Abu Thalib, Abu Amru al-Kharaf.
Derajatnya: Menurut Abi Hitam: Tsiqah, al-Jarudi berkata: Ia sangat banyak mengetahui hadis. Ibn Qasim: Tsiqah.

Sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Bukhari adalah -seperti yang telah disebutkan di atas selain Ibn Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb- sebagai berikut:
1- Ali bin abdullah
a. Nama lengkapnya: Ali bin Abdullah bin Ja’far, bin Najih Assa’adi. wafat: 234 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Hamad bin Zaid, Hatim bin Wardan, Khalid bin Haris, Abi Dlamrah.
c.Murid-muridnya antara lain: Imam Bukhari, Abu Dawud, Tirmizi, Nasai dan Ibn Majah.
d.Derajatnya: Abu Hatim berkata: Ali adalah orang yang sangat mengerti hadis. Ibn Main berkata: Ia banyak sekali meriwayatkan hadis. Derajatnya Tsiqah.

2-Imam Bukhari
a.Nama lengkapnya: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari. Wafat: 256 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Ali bin Abdullah, Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin Abdullah al-Ansari, Abi ‘Asyim an-Nabil, Abi Mughirah.
c.Murid-muridnya antara lain: Imam Musli, Tirmidzi, Nasai, Tabrani.
d.Derajatnya: Menurut Ahmad al-Mawarzi: Ia banyak mencari hadis, mengetahui dan menghafalnya. Derajatnya Tsiqah.

Adapun sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Tirmidzi adalah sebagai berikut:
1-Umar bin Khattab
a.Nama lengkapnya: Umar bin Khatab bin Nufail bin Abdul Uza bin Rayah bin Ibn Abdillah bin Qirat bin Kaab al-Quraisyi Amirul Mukminin.
b.Guru-gurunya: Nabi Saw, Abu Bakar, Ubay bin Ka’ab.
c.Murid-muridnya antara lain: Abdullah bin Umar, ‘Ashim, Hafshah, Usman, Ali, Said bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf.
d.Derajatnya: Nabi Saw bersabda: Telah ada umat sebelum kalian para pembaharu, kalau sekiranya pada umat sekarang ada pembaharu, maka Umar bin Khatablah orangnya.

2-Ibn Umar
a.Nama lengkapnya: Abdullah bin Umar bin Khatab bin Nufail al-Quraisyi. Wafat: 73 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Nabi Saw, Umar bin Khatab, Zaid, Hafshah, Abu Bakar, Usman bin Affan, Ali.
c.Murid-muridnya antara lain: Abdullah bin Dinar, Hamzah bin Abdullah, ubaidilah, Abu Bakar bin Ubaidillah, Muhammad bin Zaid, Said Musayyab.
d. Derajatnya: Nabi Saw bersabda: Abdullah adalah seorang laki-laki yang shalih. Menurut al Khatib: Tsiqah. Ibn hiban: Tsiqah.

3-Abdullah bin Dinar.
a.Nama lengkapnya: Abdullah bin Dinar Abdurrahman al-Madani. Wafat: 127 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Ibn Umar, Anas, Sulaiman bin Yasar, Abu Shalih al-Samman.
c.Murid-muridnya antara lain: Muhamad bin Suqah, Abdurrahman, Malik, Sulaiman bin Bilal, Abdul Aziz bin al-Majsum.
d.Derajatnya: Menurut Ibn Hiban: Tsiqah. Abu Hatim: Tsiqah. Nasai: Tsiqah. Al-Laits: Shaduq.

4- Muhammad bin Suqah
a.Nama lengkapnya: Muhammad bin Suqah al-Ghanawi Abu Bakar al-Kufi.: (tidak tercantum tahun wafatnya)
b.Guru-gurunya antara lain: Abdullah bin Dinar, said bin Jubair, Abu Shalih al-Saman, Nafi’ bin Jubair bin Muth’am, Ibrahim Nakha’I, Anas.
c.Murid-muridnya antara lain: Nadlru bin Ismail, Malik bin Mughawal, al-Tsauri, Ibn Mubarak, Abu Muawiyah, Abdurrahman bin Muhamad al-Muharibi.
d.Derajatnya: Menurut Abu Hatim: Shalih al-Hadis. Nasai: Tsiqah. Ibn Hiban: Tsiqah.

5-Nadlru bin Ismail
a.Nama lengkapnya: Nadlru bin Ismail bin Hazim Abul Mughirah al-Kufi. Wafat: 182 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Muhammad bin Suqah, Ismail bin Abi Khalid, al-A’masyi, Mas’ar, Husain bin Ubaidillah.
c.Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin Mani’, Ahmad bin Hambal, Ubaidillah bin muhamad an-Nufaili, Zakariya bin Uday, Abu Ubaidil Qasim bin Salam.
d.Derajatnya: Menurut Ahmad bin Hambal: Hafalannya tidak kuat. Ibn Main berkata: ia tidak masalah. Al-Ajli: Tsiqah. Ibn Syuwaibah: ia Shaduq Dhaif al-hadis. Nasai: Tidak kuat hafalannya. Dar al-Qurthni: ia Shalih.

6-Ahmad bin Mani’
a.Nama lengkapnya: Ahmad bin Mani’ bin Abdurrahman Abu Ja’far al-Hafidz. Wafat: 244 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Nadlru bin Ismail, Ibn Ainah, Ibn ‘Ilyah, Hisyam, Ibn Abi Hazim, Warwan bin Syuja’.
c.Murid-muridnya antara lain: Imam Bukhari, Tirmidzi, Ishaq bin Ibrahim, Ibn Shaid, Ibn Huzaimah.
d.Derajatnya: Menurut Nasai: Tsiqah. Ibn Hiban: Tsiqah. Ibn Qayim: Tsiqah.

7- Imam Tirmidzi
a.Nama lengkapnya: Muhamad bin Isa bin Surah bin Musa bin Dhahaq Abu Isa at-Tirmidzi. Wafat: 279 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Ahmad bin Mani’, Abu Bakar bin Nafi’, Yahya bin Musa.
c.Murid-muridnya antara lain: Abu Hamid Ahmad bin Abdullah, ibn Dawud, Hisyam bin Kulaib al-Syami, Muhamad bin MahbubAbul Abbas, Ahmad bin Yusuf.
d.Derajatnya: Menurut Ibn Hiban: Tsiqah, al-Khalili: Tsiqah, Abul Qasim: Tsiqah.

Dari keterangan di atas dapat dijumpai bahwa seluruh Rawi yang meriwayatkan hadis Shahih Bukhari dan Muslim adalah Tsiqah, dan dapat diambil kesimpulan bahwa sanad hadis di atas adalah Shahih. Adapun sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Tirmidzi ada seorang yang tidak kuat hafalannya menurut sebagaian Ulama, nama Rawi itu adalah Nadlru bin Ismail.

C-Kritik Matan Hadis
Di dalam teks-teks di atas terkandung larangan berkhalwat (menyendiri) dengan laki-laki ataupun perempuan lain yang bukan mahram, karena dikhawatirkan setan akan menjerumuskan keduanya kedalam fitnah. Karena tidak sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan melainkan setan sebagai orang ketiga. Akan tetapi, bila wanita yang bersangkutan ditemani oleh seorag mahramnya, baik mahram karena nasab ataupun karena lainnya, maka bukan khalwat lagi namanya bila ia berada diantara lelaki lain. Dan termasuk ke dalam pengertian khalwat, melakukan suatu perjalanan dengan seorang wanita, tanpa memandang apakah perjalanan itu berjarak dekat ataupun berjarak jauh. Untuk itu seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali dengan mahramnya karena menimbang makna hadis di atas, yaitu dikhawatirkan akan terjadi fitnah.
Nabi Saw memerintahkan kepada suami untuk berangkat bersama istrinya jika istrinya akan menunaikan ibadah haji. Perintah ini hanya sebagai anjuran belaka, buksn wajib; dan si suami tidak boleh melarang istrinya untuk menunaikan ibadah haji “fardhu”, karena hal tersebut merupakan ibadah yang telah di gariskan oleh Allah. Sedangkan menurut kaidah, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk berbuat maksiat terhadap khaliq. Kedudukan mahram dalam keadaan tertentu dapat diganti dengan orang lain bersama rombongan yang dapat dipercaya.
Berdasarkan kandingan dari Hadis di atas, penulis tidak menemukan kecelaan ataupun kejanggalan. Oleh karena itu penulis dapat mengatakan bahwa hadis riwayat Bukhari dan muslim adalah haids Shahih sanad dan matannya, sementara hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi adalah hadis hasan shahih. Kami katakan “hadis hasan”, karena dalam perawi sanadnya ada yang lemah ingatan, disamping juga terangkat oleh hadis yang lain.

Fiqih Hadis:
1-Hukunya haram berkhalwat (menyendir) dengan wanita lain yang bukan muhrimnya.
2-Wanita dilarang melakukan perjalanan tanpa ditemani mahramnya. Madzhab Hambali dan Syafi’i mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh bepergian untuk tujuan apapun, sekalipun untuk melakukan ibadah haji bila tidak ditemani oleh suami atau mahramnya.
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa wanita tidak boleh melakukan perjalanan selama tiga hari atau lebih kecuali bila ditemani oleh mahramnya. Namun ia diperbolehkan melakukan perjalanan yang kurang dari tiga hari tanpa mahram atau tanpa suami, dengan syarat, keadaannya aman dari fitnah.
Madzhab Maliki mengatakan bahwa wanita tidak boleh melakukan bepergian selama sehari semalam kecuali bila ditemani oleh mahramnya ataupun bersama jamaah yang dapat dipercaya, baik terdiri atas kaum laki-laki ataupun kaum perempuan.
3-Ibadah haji wanita sah, sekalipun ia berangkat tanpa mahram; tetapi ia dianggap telah melakukan maksiat karena berangkat sendirian ataun tanpa izin suami.



Daftar Pustaka
A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fadz al-Hadis al-Nabawi, Leiden: ES. Brill, 1943.

al-Karmani, Syarh Shahih al-Bukhari, vol. 9. Bairut: Dar al-Fikr, t.t..

Al-Sanusi, Syarh Shahih Muslim, vol. 4. Bairut: Dar al-Kutub, 1994.

Atturmudzi, Sunan al-Turmudzi. Bairut: Dar al-Fikr, 1988.

al-Asqalani, Tadzib al-Tdzhib, vol. 5 (Kairo: Dar al-Kitab, 1993), 276

Abbas al-Maliki, Alawi. Ibanat al-Ahkam Syarh Bulugh al-Maram. Bandung: Sinar baru, 1994.

Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillathu. Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2002.



*Penulis a

al-Karmani, Syarh Shahih al-Bukhari, vol. 9. Bairut: Dar al-Fikr, t.t..

Al-Sanusi, Syarh Shahih Muslim, vol. 4. Bairut: Dar al-Kutub, 1994.

Atturmudzi, Sunan al-Turmudzi. Bairut: Dar al-Fikr, 1988.

al-Asqalani, Tadzib al-Tdzhib, vol. 5 (Kairo: Dar al-Kitab, 1993), 276

Abbas al-Maliki, Alawi. Ibanat al-Ahkam Syarh Bulugh al-Maram. Bandung: Sinar baru, 1994.

Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillathu. Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2002.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar