Senin, 10 Oktober 2011

TRADISI SYARAH dan HASYIYAH dalam ILMU FIQH

Stagnasi Pemikiran Ilmu Hukum Islam 
Sejauh ini kita telah membicarakan garis perkembanganpemikiran sistem hukum Islam yang kemudian dikenal dengan (Ilmu) Fiqh, sejak dari pertumbuhannya di masa para Sahabat, kemudian para Tabi'in dan pengikut mereka, dan akhirnya pertumbuhannya di masa para imam madzhab. Sampai dengan masa itu yang kita saksikan dalam sejarah perkembangan Fiqh ialah dinamika dan kreatifitas, yang senantiasa disertai dengan kegaduhan polemik dan kontroversi, namun dalam suasana saling menghargai dan tenggang rasa yang besar. Demikian itu seperti dilukiskan oleh K.H. Muhammad Hasyim Asy'aridari Tebuireng (yang dalam pebahasan yang lalu telah kita singgung, dan di sini kita kutip sepenuhnya):

Telah diketahui bahwa sesungguhnya telah terjadi perbedaan dalam furu' (makalah rincian) antara para Sahabat Rasulullah saw (semoga Allah meridlai mereka semua), namun tidak seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, juga tidak seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, dan tidak saling menisbatkan lainnya kepada kesalahan ataupun cacad. Demikian pula telah terjadi perbedaan dalam furu' antara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik (semoga Allah meridlai keduanya) dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar empatbelas ribu dalam bab-bab ibadat dan mu'amalah, serta antara Imam al-Syafi'i dan gurunya, Imam Malik, (semoga Allah meridlai keduanya) dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar enam ribu, demikian pula antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan gurunya, Imam al-Syafi'i, dalam banyak masalah, namun tidak seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, tidak seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang pun dari mereka mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacad. Sebaliknya mereka tetapi saling mencintai, saling mendukung untuk sesama saudara mereka, dan masing-masing berdoa untuk segala kebaikan mereka itu. 1.


K.H. Hasyim Asy'ari juga menyebut betapa terjadibanyak perbedaan pendapat antara para tokoh intern madzhab sendiri pada saat-saat permulaan perkembangannya, seperti antara Imam al-Rafi'i dan Imam al-Nawawi, juga antara Imam Ahmad ibn Hajar dan Imam al-Ramli dan para pengikut mereka, namun ''tidak seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang pun dari mereka menyakiti yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacad, bahkan sebaliknya mereka selalu saling mencintai, berpersaudaraan, dan saling menolong.'' 2.

Setelah masa-masa para imam madzhab lewat, yaitu mulai sekitar abad keempat Hijri, maka yang terjadi ialah pertumbuhan dan perkembangan madzhab itu sendiri. Jalan pikiran para imam itu menjadi titik tolak, tapi kemudian dikembangkan begitu rupa sehingga yang terwujud ialah sebuah aliran yang meluas dan mendalam dan cukup pada dirinya sendiri (self-sufficient). Maka dari titik tolak pemikiran Imam al-Syafi'i, misalnya, tumbuh dan berkembang pemikiran yang lebih meluas dan mendalam, yang serba berkecukupan. Karena itu yang ada bukanlah pemikiran Imam al- Syafi'i itu an sich, melainkan pemikiran yang meskipun tetapi berwatak ''kesyafi'ian'' namun dalam banyak hal Imam al-Syafi'i sendiri mungkin tidak lagi tersangkut paut. Inilah yang dimaksudkan dengan istilah ''madzhab'', yaitu suatu kesatuan peikiran yang tumbuh dan berkembang bertitik tolak dari produk intelektual satu orang, namun belum tentu orang tersebut sepenuhnya dapat dipandang sebagai ikut bertanggung jawab. Penilaian ini lebih- lebih beralasan, karena para tokoh pemikir yang menjadi pangkal pengembangan suatu madzhab semasa hidupnya sendiri sering mengisyaratkan keengganan untuk menjadi pusat pengikutan. Jadi sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i menjadi imam madzhab adalah secara post factum, yaitu setelah fakta perkemabngan pemikiran yang bertitik tolak dari dia itu telah menjadi kenyataan sebuah dia sendiri lama tiada.

Pertumbuhan madzhab itu dengan sendirinya terjadi melalui para pengikut tokoh yang kelak disebut ''imam madzhab'' tersebut. Mula-mula masih terdapat sisa-sisa kreatifitas dan keberanian intelektual yang menghasilkan karya-karya tersendiri dengan tingkat orisinalitas yang memadai, seperti yang banyak dilakukan oleh, misalnya, al-Za'farani, al-Karabisi, al-Rabi', al-Buwaythi, al-Muzni, dll. dari kalangan para penganut madzuhab Syafi'i. Demikian pula tokoh-tokoh dari madzhab-madzhab yang lain.

Tetapi masa itu segera diikuti oleh masa dengan tingkat kreatifitas dan orisinalitas intelektual yang lebih rendah. Inilah masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah (penjabaran atas syarah). Ciri umum masyarakat Muslim saat itu ialah suasana traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat ialah ketenangan dan ketenteraman. Agaknya dambaan mereka tercapai, tetapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau kemandekan. Sebab ketenangan dan ketenteraman itu mereka ''beli'' dengan menutup dan mengekang kreatifitas intelektual dan pejelajahan, atas nama doktrin taqlid dan tertutupnya ijtihad. Ketidakberanian mengambil risiko salah dalam penelitian dan penjelajahan itu kemudian dirasionalisasikan dengan argumen bahwa apa yang telah dihasilkan oleh para imam madzhab dan pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah ''final'', dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai ebrlaku ''sekali dan untuk selamanya''. Ditambah dengan keadaan politik negeri-negeri Muslim yang telah mulai kehilangan ''elan vital''-nya (antara lain karena banyaknya serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan dan ketenteraman menjadi semakin beralasan, yang kemudian lambat laun berkembang menjadi semacam etos di kalangan kamu Muslim di seluruh dunia. Karena orisinalitas pemikiran tidak berkembang lagi, maka yang terjadi ialah pengulangan dan penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran kritis juga terkekang, maka tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos. Jadi tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai permulaan kemunduran peradaban Islam, yang kemudian kelak berakhir dengan kekalahan mereka oleh ummat- ummat lain, khususnya oleh bangsa-bangsa Eropa.


Syarah dan Hasyiyah

Mulai saat itulah kurang lebih muncul ide tentang keharusan seorang Muslim diharuskan memilih salah satu dari madzhab-madzhab yang ada sebagai anutan. Logika keharusan ini ialah ide tentang taqlid, yang taqlid itu, sebagaimana telah disinggung, merupakan dinamik dambaan kepada ketenteraman. Dari beberapa sudut pandang tertentu, seperti dari sudut keprihatinan karena situasi politik yang tidak mantap, keharusan memilih suatu madzhab itu seperti dapat dibenarkan. Begitu pula larangan mencampur-adukkan lebih dari satu madzhab, yang kemudian dikenal sebagai talfiq, juga sangat dicela, karena dalam praktek serupa itu mudah sekali masuk unsur oportunisme dalam paham (seperti, misalnya, mengenai suatu hukum tertentu seseorang cenderung mencari yang mudah dan ringan dari berbagai madzhab, tanpa kesungguhan meneliti bagaimana pangkal sebenarnya hukum itu).

Keharusan memilih salah satu madzhab sekaligus larangan untuk mencampur lebih dari satu madzhab --betapapun tulusnya hal itu dilakukan-- secara tersirat mengandung doktrin bahwa suatu pemikiran madzhab adalah suatu kesatuan organik yang tidak boleh dipisah-pisah. Pemisahan itu akan menghasilkan inkonsistensi, dan yang terakhir ini tentu berakibat kepada masalah istiqamah atau keteguhan dan keikhlasan dalam beragama. Tetapi konsekwensi yang lebih jauh ialah --sebagaimana telah disinggung tadi-- hilangnya kreatifitas dan orisinalis intelektual, dan bersamaan dengan itu hilang pula kemampuan memberi responsi kepada keadaan masyarakat nyata (historis) yang senantiasa berkembang dan berubah.

Pada saat itulah sejauh mengenai kegiatan intelektual yang muncul ialah karya-karya syarah, yaitu karya tulis berupa kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih orisinal, yang dipandang sebagai matan (teks inti). Kegiatan pseudo-ilmiah serupa ini paling banyak terjadi dalam pemikiran judisial, tetapi sesungguhnya juga merambah ke berbagai cabang ilmu Keislaman yang lain, seperti, dan terutama, Ilmu Kalam.

Tetapi syarah bukanlah akhir perjalanan tradisi pseudo-ilmiah dalam masa kemandekan intelektual ini. Sebuah karya syarah membuka peluang kepada bentuk elaborasi lebih lanjut, sehingga merupakan ''elaborasi atas elaborasi'', yang biasanya disebut hasyiyah.

Untuk memperoleh gambaran apa yang dinamakan syarah dan hasyiyah itu, berikut ini adalah sebuah contoh kutipan dari matan kitab Taqrib, yaitu sebuah kitab Fiqh yang paling standar di pesantren- pesantren. Matan itu kemudian diberi syarah dalam kitab Fat'h al- Qarib, juga sangat standar di pesantren-pesantren, dan akhirnya diberi hasyiyah dalam kitab al-Bajuri, sebuah kitab yang boleh dipandang cukup tinggi:

Matan: Air yang boleh untuk menyucikan ada tujuh air: air langit, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air salju, dan air embun. 3.

Syarah: (Air yang boleh) artinya sah (untuk menyucikan ada tujuh: air langit) artinya yang terjun dari langit, yaitu hujan (air laut) artinya yang asin (air sungai) artinya yang tawar (air sumur, air sumber, air saljut dan air embun) dan tujuh air itu tercakup dalam ungkapan Anda ''Apa yang turun dari langit dan apa yang menyembul dari bumi dalam keadaan bagaimanapun adalah termasuk pokok penciptaan. 4.

Syarah ini kemudian diberi hasyiyah, yaitu penjabaran atau elaborasi lebih lanjut. Berikut ini adalah contoh hasyiyah-nya (tapi karena hasyiyah yang bersangkutan itu panjang sekali, maka demi kepraktisan kita akan mengutip hasyiyah yang menyangkut salah satu dari air yang tujuh itu, yaitu ''air sungai'' saja):

Hasyiyah: (Perkataannya dan air sungai) rangkaian dalam pengertian di, artinya air yang mengalir di sungai (nhr) dengan fat'hah ha' dan matinya dan yang pertama lebih fasih dan al di situ adalah untuk jenis maka ia mencakup Nil dan Furat dan sebagainya dan asalnya dari surga sebagaimana hal itu disebutkan dalam nas mengenainya sebab sesungguhnya diturunkan dari surga Nil Mesir dan Sihun sungai India dan Jihun sungai Balkh dan keduanya itu bukanlah Sihan dan Jiham menurut yang unggul berlainan dengan orang yang menyangka keduanya itu sinonim sebab Sihan adalah sungai Arnah dan Jihan adalah sungai al-Mashishah dan Dajlah dan Furat adalah dua sungai di Irak dari asal Sidrat al-Muntaha dan itulah makna firman Dia Yang Maha Tinggi ''Dan Kami turunkan dari langit air dengan takaran tertentu'' maka pada waktu keluarnya Ya'juj dan Ma'juj sungai-sungai itu diangkat dan itulah makna firman Dia Yang Maha Tinggi ''Dan sesungguhnya Kami tentulah berkuasa untuk menghilangkannya.'' 5.

Kutipan di atas itu sengaja dibuat dalam bentuk terjemahan harfiah tanpa memberi tanda-tanda baca sesuai konteks, menurut keadaan aslinya dalam kitab. Maksudnya ialah agar kita dapat merasakan kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang membaca ''kitab gundul'', jika mereka tidak terlatih membaca dalam konteks. Dan keadaan menurut aslinya itu dapat memberi gambaran tentang ungkapan ''ilmiah'' masa kemunduran itu yang tidak dapat disebut mengangumkan, jauh di bawah ukuran masa kejayaan intelektual sebelumnya seperti diwakili oleh karya-karyaIbn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Ibn Taymiyyah, dll.

Bahkan dalam kutipan itu dapat dilihat munculnya beberapa dongeng dan mitologi, yang dirangkaikan dengan paham keagamaan, seperti bahwa sungai Nil berasal dari surga dan sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Eufrat) di Irak berasal dari Sidrat al-Muntaha! Juga ada mitos lain yang tercampur dengan pandangan keagamaan tertentu seperti cerita tentang datangnya Ya'juj dan Ma'juj (Gong dan Magong) yang tersebut dalam Kitab Suci al Quran, 6. yang pada saat itu akan diangkat sungai-sungai Nil, Furat dan Dajlah itu ke langit sebagai tafsir atas ayat suci al Quran pula. 7.


Kesimpulan :

Semangat obskurantisme atau kemasabodohan intelektual akibat berbagai faktor ekstern dalam proses-proses dan struktur-struktur politik masa itu sedemikian mencekam, sehingga mewarnai sikap intelektual sebagian besar kaum Muslim. Dan pandangan mereka ilmu pengetahuan telah ''habis'', dan yang tersisa ialah mencerna apa saja yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Stagnasi ini tidak dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu terjadi secara wajar saja, sampai akhirnya mereka terhentak dan kalah oleh bangkitnya bangsa-bangsa yang selama ini mereka remehkan, yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, atau lebih persisnya, Barat Laut, bangsa-bangsa pelopor ummat manusia masuk Zaman Modern.

Banyak ahli yang mengatakan bahwa semua ini diawali karena Ummat Islam terkena penyakit puas diri (complacency), akibat dominasi mereka atas kehidupan di muka bumi selama berabad-abad (dalam perhitungan konservatif setidaknya selama delapan abad, yang berarti empat kali lebih panjang daripada masa dominasi Eropa Barat yang sudah berlangsung selama dua abad ini). Dan ketika mereka dikejutkan oleh datangnya tentara Perancis ke Mesir di bawah Napoleon yang dengan amat mudah mengalahkan mereka itu, keadaan sudah sangat terlambat, sehingga dorongan ke arah kebangkitan kembali yang muncul sejak itu sampai sekarang belum mencapai tujuan yang dimaksud.

Tetapi tentu saja Ummat Islam masih tetap mempunyai kesempatan yang baik. Berbagai gejala masa-masa terakhir ini, yang biasanya diletakkan dalam bracket ''kebangkitan Islam'', dapat diacu sebagai petunjuk adanya masa depan yang baik, setidaknya lebih baik daripada yang sekarang, apalagi daripada masa obskurantisme tersebut di atas itu. Sebuah adagium mungkin relevan dengan masalah ini yaitu yang berbunyi: ''Tidak akan menjadi baik ummat ini kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baiknya ummat terdahulu.'' 8 Sementara banyak tafsiran yang berbeda-beda tentang apa ''yang membuat baik ummat terdahulu'', namun dari pembacaan kepada sejarah peradaban Islam, khususnya sejarah pemikirannya, jelas bahwa yang membuat baik mereka generasi Islam klasik itu ialah apa yang dalam ungkapan kontemporer dinamakan ''Etos Ilmiah''.

Berbeda dengan obskurantisme, etos ilmiah yang benar harus memandang bahwa ilmu tidak mempunyai batas (limit), melainkan ilmu hanya mempunyai perbatasan (frontier), yaitu ujung terakhir perkemabngan pemikiran ilmiah. Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah, karena itu tak terjangkau. Tetapi perbatasan atau frontier ilmu hanyalah produk kemampuan manusia sendiri yang tidak sempurna, karena itu harus selalu diusahakan untuk ditembus dengan keberanian intelektual serta kreativitas danorisinalitasnya. 9. Semuanya itu memerlukan suasana yang bersifat menopang atau kondusif. Dan suasana itu tidak lain, seperti dikemukakan K.H. Hasyim Asy'ari di atas, ialah toleransi dan saling menghargai dalam perbedaan. 
(Artikel Nurcholish Madjid : KKA-45 (Jakarta, Oktober 1990)

1. Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqata'at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Mathba'at Nahdlat al-'Ulama, tt.), h. 11. (Risalah ini ditulis pada 1360 H atau 1941 M).

2. Ibid., h. 12.

3. Abu Syuja' ahmad Ibn al-Husayn al-Ishfahani, al-Ghayah wa al-Taqrib, (Semarang: Pustaka al-'Alawiyyah, tt.), h. 2-3.

4. Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fat'h al-Qarib (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 3.

5. Al-Syaykh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyat al-Bajuri (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 27.

6. Lihat Q., s. al-Kahf/18:94 (dalam cerita tentang Dzu al- Qarnayan)

7. Lihat Q., s. al-Mu'minun/23:18.

8. ''La tashluhu hadzihi al-Umah illa bi ma shaluha bihi awwaluha.''

9. Seperti halnya dengan Zaman Modern, etos ilmiah Zaman Klasik Islam memandang perbatasan ilmu harus selalu ditebus, sementera dalam zaman obskurantisme, etos ilmiah yang ada mengajarkan agar setiap bertemu dengan perbatasan hendaknya kembali ke semula, dan ini menghasilkan praktek menghafal. Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah swt, jadi tidak mungkin dicapai manusia, apalagi ditembus. ''Katakan, 'Kalau seandainya seluruh lautan ini tinta untuk Kalimat Tuhanku, maka lautan itu akan habis sebelum kalimat Tuhanku habis, meski kami datangkan tinta sebanyak itu pula.''' (Q., s. al- Kahf/18:109

Tidak ada komentar:

Posting Komentar