Kamis, 06 Oktober 2011

Asuransi Syari’ah

A. Pengertian 
Dalam bahasa Arab Asuransi disebut at-Ta’min, penanggung disebut Mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut Mu’amman atau Musta’min. Kata at-Ta’min itu sendiri memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah ta’ala:  “Dialah Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” Men-ta’min-kan sesuatu, artinya adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan seseorang mempertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya, atau mobilnya. 
Menurut Musthafa Ahmad Zarqa, makna asuransi secara istilah adalah kejadian. Adapun metodologi dan gambarannya dapat berbeda-beda, namun pada intinya, asuransi adalah cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari risiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam perjalanan kegiatan hidupnya, maupun dalam aktivitas ekonominya. 
Menuurut Prof. Dr. Huzaimah Tahido Yanggo, dalam bukunya Masail Fiqhiyyah bahwa pengertian asuransi syari’ah itu adalah suatu kerjasama saling melindungi dan saling menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi sejumlah risiko melalui perjanjian yang sesuai dengan syari’ah.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam juga disebutkan bahwa asuransi (at-ta’min) adalah “transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.” 
Dengan demikian, asuransi dilihat dari segi teori dan sistem, tanpa melihat sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan sistem dan memperaktekkan teorinya, sangat relevan dengan tujuan-tujuan umum syari’ah dan oleh dalil-dalil juz’i-nya. Dikatakan demikian karena asuransi dalam arti tersebut adalah sebuah gabungan kesepakatan untuk saling menolong, yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapih, antara sejumlah besar manusia. 

B. Sumber Hukum 
Sumber hukum dari asuransi syari’ah itu sendiri adalah berasal dari syari’at Islam, sedangkan sumber hukum dalam syari’ah Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, ‘Urf, dan Maslahah Mursalah. Al- Qur’an dan Sunnah Rasul merupakan sumber utama dari hukum Islam. Oleh karena itu, dalam menetapkan prinsip-prinsip maupun praktik dan operasional dari asuransi syari’ah, parameter yang senantiasa menjadi rujukan adalah syari’ah Islam. Secara operasionalnya, di Indonesia di lengkapi dengan Fatwa MUI antara lain, Fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah. Fatwa DSN MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006 Tentang akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi Syari’ah. Fatwa DSN MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi dan Reasuransi Syari’ah. Fatwa DSN MUI No. 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syari’ah.

C. Tujuan dan Manfaatnya 
Pada dasarnya tujuan daripada asuransi syari’ah ini bertujuan untuk menghilangkan atau menghilangkan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpa sebagian mereka. Dan jalan yang mereka tempuh adalah dengan memberikan sedikit pemberian (derma) dari masing-masing individu.
Asuransi dalam pengertian ini dibolehkan, tanpa ada perbedaan pendapat. Tetapi, perbedaan pendapat timbul dalam sebagian sarana-sarana kerja yang berusaha merealisasikan dan mengaplikasikan teori dan sistem tersebut, yaitu akad-akad asuransi yang dilangsungkan oleh para tertanggung bersama perseroan-perseroan asuransi.
Asuransi syariah itu merupakan proteksi yang bukan hanya bermanfaat untuk diri sendiri dan keluarga, namun juga bermanfaat bagi orang lain. Karena dalam berasuransi syariah, kita bisa saling tolong meolong dengan sesama peserta asuransi yang diambil dari dana tabarru. 
Disamping mempunyai tujuan, asuransi syari’ah ini juga mempunyai manfaat yang sangat baik dan berpengaruh bagi kehidupan manusia. Dari sejumlah manfaat itu kita dapat mengetahuinya melalui nash al-Qur’an maupun Hadist. Diantaranya adalah sebagai berikut: Dalam surat al-A’raf ayat 34:  “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. al-A’raf: 34) 
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah, untuk menjalani kehidupannya di muka bumi. Namun dalam menjalankan kehidupannya tersebut manusia tidak mengetahui, sampai kapan ia akan terus hidup, kapan ia akan jatuh sakit, kapan tertimpa musibah, kecelakaan, kebakaran dan sebagainya. Karena hal tersebut semata-mata hanyalah merupakan rahasia Allah SWT. Begitu pula dalam surat an-Nisa ayat 9 disebutkan dalam firmannya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (Q.S. an-Nisa: 9) 
Dalam kehidupannya manusia memiliki potensi mendapatkan musibah dan bencana yang mungkin tidak diduga sebelumnya, dan oleh karenanya manusia diminta untuk mempersiapkan diri, menghadapi berbagai kemungkinan musibah yang akan menimpanya, sehingga tidak menimbulkan kemadharatan bagi orang-orang yang ditinggalkannya. Dan juga dari hadist Rasulullah, yang artinya, dikatakan: Dari Nu’man bin Basyir ra berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih sayang dan kelemah lembutan diantara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila terdapat satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya (seperti) tidak bisa tidur dan demam.” (H.R. Muslim) 

D. Pendapat Ulama Tentang Asuransi
Pada dasarnya para ulama telah sepakat bahwa asuransi ini diharamkan, walaupun ada beberapa yang membolehkannya. Adapun salah satu diantara yang mengharamkannya ialah Syekh Muhammad Yusuf al-Qardhawi, dalam kitabnya Al-Halal Wal Haram Fil Islam, mengatakan bahwa asuransi (konvensional) dalam praktik sekarang ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam. Sedangkan ulama yang membolehkannya itu diantaranya adalah Syaikh Abdur Rahman Isa. Dengan tegas ia menyatakan bahwa asuransi merupakan praktek muamalah gaya baru yang belum dijumpai imam-imam terdahulu, demikian juga para sahabat Nabi. Pekerjaan ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Ulama telah menetapkan bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hukum syara’ patut diamalkan. Oleh karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka halal menurut syara’.
Alasan Pengharaman itu antara lain: 
a. Asuransi adalah perjanjian pertaruhan dan merupakan perjudian semata-mata (maysir). 
b. Asuransi melibatkan urusan yang tidak pasti (gharar). 
c. Asuransi Jiwa merupakan suatu usaha yang dirancang untuk merendahkan iradat Allah. 
d. Dalam Asuransi Jiwa, jumlah premi tidak tetap karena tertanggung tidak mengetahui berapa kali bayaran angsuran yang dapat dilakukan olehnya sampai ia mati. 
e. Perusahaan Asuransi menginsvestasikan uang yang telah dibayar oleh tertanggung dalam bentuk jaminan berbunga. Dalam Asuransi Jiwa apabila tertanggung mati, dia akan mendapat bayaran yang lebih dari jumlah uang yang telah di bayar. Ini adalah riba’ (faedah atau bungan). 
f. Bahwa semua perniagaan Asuransi berdasarkan riba’ didalam Islam. Oleh karenanya, sebagian ulama dapat menerima kehadiran Asuransi dengan menghilangkan unsur Gharar, maysir, dan ribanya. 

E. Nilai-Nilai Dalam Pengelolaan Asuransi Syariah 
Berikut adalah 10 nilai yang mendasar dalam pengelolaan asuransi syariah, yaitu : 
1. Prinsip Tauhid 
Tauhid merupakan prinsip dasar dalam asuransi syariah. Karena pada haekekatnya setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya, tidak terkecuali dalam bermuamalah (baca ; berasuransi syariah). Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi syariah haruslah berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT. Sebagai contoh dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan, atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung pada syariah. Namun lebih dari itu, niatan awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam dunia asuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan untuk bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian, maka nilai tauhid terimplementasikan pada industri asuransi syariah. Allah SWT berfirman : وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ Artinya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Al-Dzariyat : 56) 
2. Prinsip Keadilan 
Prinsip kedua yang menjadi nilai-nilai dalam pengimplementasian asuransi syariah adalah prinsip keadilan. Artinya bahwa asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil, khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, maupun antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi syariah tidak boleh mendzalimi nasabah dengan hal-hal yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah. Pada asuransi syariah, dana saving nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah bersangkutan, berikut hasil investasinya. Bahkan terkadang asuransi syariah merasa kebingungan ketika terdapat dana-dana saving nasabah yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi, lalu tidak mengambil dananya tersebut kendatipun telah dhubungi baik melalui surat maupun melalui media lainnya. Mau dikemanakan dana ini? Karena dana tersebut bukanlah milik asuransi syariah, namun milik nasabah. Namun telah bertahun-tahun diberitahu atau dihubungi, nasabah bersangkutan tidak juga mengambilnya. Hal ini tentu berbeda dengan asuransi pada umumnya. Allah SWT berfirman : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah/ 5 : 08) 
3. Prinsip Tolong Menolong 
Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional asuransi syariah. Karena pada hekekatnya, konsep asuransi syariah didasarkan pada prinsip ini. Dimana sesama peserta bertabarru’ atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Perusahaan asuransi syariah mengelola dana tabarru’ tersebut, untuk diinvestasikan (secara syariah) lalu kemudian dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dan dengan konsep seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan saling tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak saling bertatap muka. Allah SWT berfirman : وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ Artinya: Dan bertolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah : 2) 
4. Prinsip Kerjasama 
Antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah terjalin kerjasama, tergantung dari akad apa yang digunakannya. Dengan akad mudharabah musyarakah, terjalin kerjasama dimana nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) sedangkan perusahaan asuransi syariah sebagai mudharib (pengelola/ pengusaha). Apabila dari dana tersebut terdapat keuntungan, maka akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati, misalnya 40% untuk perusahaan asuransi syariah dan 60% untuk nasabah. Ketika kerjasama terjalin dengan baik, nasabah menunaikan hak dan kewajibannya, demikian juga perusahaan asuransi syariah menunaikan hak dan kewajibannya secara baik, maka akan terjalin pola hubungan kerjasama yang baik pula, yang insya Allah akan membawa keberkahan pada kedua belah pihak.
5. Prinsip Amanah 
Amanah juga merupakan prinsip yang sangat penting. Karena pada hakekatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam mengelola dana premi. Demikian juga nasabah, perlu amanah dalam aspek resiko yang menimpanya. Jangan sampai nasabah tidak amanah dalam artian mengada-ada sesuatu sehingga yang seharusnya tidak klaim menjadi klaim yang tentunya akan berakibat pada ruginya para peserta yang lainnya. 
6. Prinsip Saling Ridha’ (‘An Taradhin) 
Dalam transaksi apapun, aspek an taradhin atau saling meridhai harus selalu menyertai. Nasabah ridha dananya dikelola oleh perusahaan asuransi syariah yang amanah dan profesional. Dan perusahaan asuransi syariah ridha terahdap amanah yang diembankan nasabah dalam mengelola kontribusi (premi) mereka. Demikian juga nasabah ridha dananya dialokasikan untuk nasbah-nasabah lainnya yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban penderitaan mereka. Dengan prinsip inilah, asuransi syariah menjadikan saling tolong menolong memiliki arti yang luas dan mendalam, karena semuanya menolong dengan ikhlas dan ridha, bekerjasama dengan ikhlas dan ridha, serta bertransaksi dengan ikhlas dan ridha pula. 
7. Prinsip Menghindari Riba’ 
Riba merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari sejauh-jauhnya khususnya dalam berasuransi. Karena riba merupakan sebatil-batilnya transaksi muamalah. Kontribusi (premi) yang dibayarkan nasabah, harus diinvestasikan pada investasi yang sesuai dengan syariah dan sudah jelas kehalalannya. Demikian juga dengan sistem operasional asuransi syariah juga harus menerapakan konsep sharing of risk yang bertumpu pada akad tabarru’, sehingga menghilangkan unsur riba pada pemberian manfaat asuransi syariah (klaim) kepada nasabah. 
8. Prinsip Menghindari Maysir. 
Asuransi jika dikelola secara konvensional akan memunculkan unsur maisir (gambling/judi). Karena seorang nasabah bisa jadi membayar premi hingga belasan kali namun tidak pernah klaim. Di sisi yang lain terdapat nasabah yang baru satu kali membayar premi lalu klaim. Hal ini terjadi, karena konsep dasar yang digunakan dalam asuransi konvensional adalah konsep transfer of risk. Dimana perusahaan asuransi konvensional ketika menerima premi, otomatis premi tersebut menjadi milik perusahaan, dan ketika membayar klaim pun adalah dari rekening perusahaan. Sehingga perusahaan bisa untung besar (makala premi banyak dan klaim sedikit), atau bisa rugi banyak (ketika premi sedikit dan klaimnya banyak). 
9. Prinsip Menghindari Gharar 
Gharar adalah ketidakjelasan. Dan berbicara mengenai resiko, adalah berbicara tentang ketidak jelasan. Karena resiko bisa terjadi bisa tidak. Dan dalam syariat Islam, kita tidak diperbolehkan bertransaksi yang menyangkut aspek ketidak jelasan. Dalam asuransi (konvensional), peserta tidak mengetahui apakah ia mendapatkan klaim atau tidak? Karena klaim sangat bergantung pada resiko yang menimpanya. Jika ada resiko, maka ia akan dapat klaim, namun jika tidak maka ia tidak mendapakan klaim. Hal seperti ini menjadi gharar adanya, karena akad atau konsep yang digunakan adalah transfer of risk. Sedangkan jika menggunakan aspek sharing of risk, ketidak jelasan tadi tidak menjadi gharar.
10. Prinsip Menghindari Risywah 
Dalam menjalankan bisnisnya, baik pihak asuransi syariah maupun pihak nasabah harus menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari aspek risywah (sogok menyogok atau suap menyuap). Karena apapun dalihnya, risywah pasti akan menguntungkan satu pihak, dan pasti akan ada pihak lain yang dirugikan. Nasabah umpamanya tidak boleh menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan manfaaat (klaim). Atau sebaliknya perusahaan tidak perlu menyogok supaya mendapatkan premi (kontribusi) asuransi. Namun semua harus dilakukan secara baik, transparan, adil dan dilandasi dengan ukhuwah islamiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar