Rabu, 15 Desember 2010

SADDU ADZ-DZARI'AH

1. Pengertian Saddu Adz-Dzari'ah

Saddu Adz-Dzari'ah secara etimologi bermakna menutupi kekurangan, menyumbat lobang, dan menahan sesuatu. Kata ﺴﺩ artinya Menutup celah atau mencegah sesuatu, sedangkan ﺬﺭﻴﻌﺔ berarti wasilah (sarana).
Pengertian Saddu Dzari’ah menurut para ‘ulama:

”Mencegah sarana-sarana yang dapat menjadi sarana kepada keharaman, atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan dan menolaknya.”
Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.

Tujuan penetapan hukum Saddu dan Dzari’ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini, Syari’at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Inilah yang dimaksud dengan kaidah:

ﻤﺍ ﻻ ﻳﺗﻢ ﺍﻠﻭﺍﺟﺏ ﺇﻻ ﺒﻪ ﻓﻬﻭ ﻮﺍﺟﺏ
Artinya:
"Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula."
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib.
Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar,
maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.

2. Dasar hukum Saddu Adz-Dzari'ah

Dasar hukum Saddu dan Dzari’ah ialah dari Al-Qu’an dan Hadits, yaitu:
a. Firman Allah SWT yang artinya:

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (Al-Anam: 108).

Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.

b. Dan firman Allah SWT:

"...Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (An-Nur: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

c. Nabi Muhammad SAW bersabda:
. ”Termasuk dosa besar adalah seseorang memaki kedua orangtuanya” mereka bertanya, ’wahai Rasulullahg apakah ada seseorang memaki kedua orangtuanya?”Beliau menjawab, ”Ya, seseorang memaki bapak orang lain lalu orang tersebut memaki bapaknya dan memaki ibu orang lain lalu orang lain memaki ibunya” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling
selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

3. Obyek Saddu Adz-Dzari'ah

Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:
Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek Saddu dan Dzari’ah karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Di samping itu Imam As-Syatibi menyatakn bahwa, dilihat dari segi kualitas ke-mafsadat-annya, Dzari,ah dapat dibagi kepada empat macam :

a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada ke-mafsadat-an secara pasti (qath’i).
b. Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada ke-mafsadat-an.
c. Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada ke-mafsadat-an.
d. Pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemashlahatan, tetapi ada kemungkinan perbuatan itu membawa kepada ke-mafsadat-an.

4. Ketentuan dasar mengamalkan Saddu Adz-Dzari’ah

Untuk mengamalkan Saddu Az-Dzari’ah, ada beberapa point yang harus diperhatikan:
1. Perbuatan yang dibolehkan tersebut menjadi sarana kerusakan atau kerusaka secara dominan. apabila perbuatan tersebut menjadi sarana kerusakan hanya kadang-kadang atau tidak dominan, maka tidak dilarang dan tetap pada hukum asalnya, tidak butuh mencari dalil kebolehannya.

2. Mafsadah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut harus sama atau lebih besar dari maslahatnya.

3. Tidak disyaratkan dalam mengamalkan kaidah ini adanya tujuan mukallaf berbuat kerusakan, bahkan cukup banyak tujuan itu secara adat, sebab niat atau tujuan tersebut pada umumnya tidak dapat dibuat baku, karena masalah batin yang sulit dijadikan pedoman.

4. Semua yang dilarang dalam rangka saddu adz-Dzara’i’ dibolehkan apabila dibutuhkan (hajat membutuhkannya). contohnya melihat wanita bukan mahromnya bagi orang yang akan melamar.
5. Kehujjahan kaidah Saddu Adz-Dzari’ah
Dzari’ah dari sisi wajibnya untuk ditutup atau dicegah terbagi tiga dalam pendapat para ulama :
1. Ijma’ menyatakan kewajiban mencegahnya dan itu pada perbuatan yang menjadi sarana kerusakan dalam perkara agama dan dunia, karena perbuatan itu memang menjadi sarana kerusakan secara pasti. contoh:larangan minum minuman memabukkan, karena sarana yang mengantar kepada mabuk yang merusak akal.

2. Ijma’ menyatakan itu sebagai dzari’ah, namun tidak wajib dicegah. seperti menanam anggur walaupun mungin ada yang membeli dan memiliki serta memerasnya untuk dijadikan Khomr.


3. Yang masih diperselisihkan para ulama, yaitu sarana mubah yang mengantar kepada keharaman secara mayoritas atau dominan.
Dalam masalah ini pendapat mereka dikategorikan dalam dua pendapat:
a. Harus dicegah. inilah pendapat madzhab Malikiyah dan Hanabilah.
b. Tidak memberlakukan kaidah ini. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hanafiyah.

Yang Rajih adalah pendapat pertama, karena sebagaiman disebutkan dalam kitab Ushul Fiqh Karya Muhammad Abu Zahrah, bahawa penetapan Saddu Adz-Dzari’ah sebagai salah satu Sumber Hukum (Mashadir Al-Ahkam), adalah Madzhab Malikiyah dan Hanabilah. Meskipun Syafi’iyah, Hanafiyah dan ulama-ulama lainnya tidak memandangnya sebagai Mashadir Al-Ahkam, akan tetapi hasil formulasi dari Saddu Adz-Dzari’ah ada ditemukan dalam hasil ijtihad mereka. Pendapat pertama inilah yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau, ”Dzari’at-dzari’at ini apabila mengantar pada kerusakan (mafsadat)secara pasti (yakin) atau dominan maka syari’at mengharamkannya secar mutlak.”

1 komentar:

  1. bg follow blog saya juga dong
    http://paradiananta.blogspot.com

    BalasHapus