I. PENGERTIAN PUASA
Shiyam atau Shaum menurut lughah/bahasa, artinya : " Menahan diri dari melakukan sesuatu". Seperti firman Allah:1]
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
Menurut Syara', ialah :
الإمساك عن الأكل والشرب والجماع وغيرها مما ورد به الشرع "في النهار على الوجه المشروع" ويتبع ذاك الإمساك عن اللغو والرفث وغيرهما من الكلام المحرّم والمكروه في وقت مخصوص بشروط مخصوصة.[2]
“Menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan lain-lain yang telah diperintahkan syara’ kepada kita menahan diri padanya, sepanjang hari menurut cara yang disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan keji/kotor dan lainnya dari perkataan yang diharamkan dan dimakruhkan pada waktu yang telah ditentukan serta menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan”.
II. AYAT-AYAT TENTANG PUASA
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.[3] (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.[4] (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[5]
III. TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG PUASA
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jia ia tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 183-184).
Allah berfirman yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Karena di dalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa. Juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah. Allah menyebutkan, di samping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu sebelum mereka. Dari sanalah mereka mendapat teladan. Maka hendaknya mereka berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan apa yang telah mereka kerjakan.[6]
Imam Mawardi menyebutkan tiga pendapat berkenaan dengan siapa yang dimaksud dengan "orang-orang sebelum kamu" adalah:[7]
a. Asy-Syu'bi, Ar-Rabi' dan Asbat mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang Nashrani.
b. Mujahid berpendapat bahwa mereka itu adalah Ahlul Kitab.
c. Qatadah mengatakan bahwa mereka itu adalah manusia secara umum.
Perbedaan pendapat juga terjadi dalam menjelaskan apa titik kesamaan antara puasa yang diwajibkan kepada umat Muhammad dengan umat yang lalu. Imam Mawardi mengurai dua pendapat dalam hal ini:
Perbedaan pendapat juga terjadi dalam menjelaskan apa titik kesamaan antara puasa yang diwajibkan kepada umat Muhammad dengan umat yang lalu. Imam Mawardi mengurai dua pendapat dalam hal ini:
o Kesamaan itu dalam hukum puasa dan sifatnya, bukan dalam hal bilangannya. Hal ini mengingat Yahudi juga berpuasa hanya mereka memulainya dari malam sampai ke malam lagi dan mereka tidak makan sesuatupun setelah malam tiba. Dan itulah juga yang dilakukan oleh umat islam di masa-masa awal Islam, yaitu mereka tidak makan sesuatupun di waktu malam sampai Umar bin Khattab dan Qais bin Sharmah melakukannya. Tindakan Umar dan Qais itu kemudian dihalalkan oleh Allah. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ar-Rabi' bin Anas. Ar-Rabi' berpegang pada hadis Nabi, "Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab adalah kita makan di waktu sahur".
o Titik kesamaan itu adalah pada bilangan puasanya. Pendapat ini terbagi dua lagi:
1. Kaum Nasrani diwajibkan berpuasa 30 hari sebagaimana kita juga diwajibkan demikian. Dan seringkali itu terjadi pada musim yang sangat panas, lalu dipisah sebagian dilakukan di musim dingin dan saat hari yang cerah. Akan tetapi puasa mereka kemudian ditambah dua puluh hari lagi. Ini untuk menghapus dosa mereka dan menghukum mereka karena mengganti ketentuan Tuhan. Ini pendapat yang dipegang oleh Asy-Syu'bi.
2. Kaum Yahudi berpuasa tiga hari pada setiap hari Asyura dan tiga hari di setiap bulan. Kondisi ini berjalan selama tujuh belas bulan sampai turun ayat puasa Ramadhan yang menghapus ketentuan itu. Inilah pendapat Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ketentuan yang awal-awal dinasakh (dihapus) adalah soal qiblat dan puasa ini.
Lalu Allah memberikan alasan diwajibkannya puasa tersebut dengan menjelaskan manfaatnya yang besar dan hikmahnya yang tinggi. Yaitu agar orang yang berpuasa mempersiapkan diri untuk bertaqwa kepada Allah, yakni dengan meninggalkan nafsu dan kesenangan yang dibolehkan, semata-mata untuk menta’ati perintah Allah dan mengharapkan pahala di sisi-Nya. Agar orang beriman termasuk mereka yang bertakwa kepada Allah, ta’at kepada semua petintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan dan segala yang diharamkan-Nya.[8]
Mahmud Syalthut megatakn, dan tidaklah diragukan (dalam ayat puasa itu) bahwa panggilan dimulai dengan kata sifat Iman (hai orang-orang yang beriman). Dan inilah dasar kebaikan dan keutamaan. Kemudian taqwa disebut di akhir ayat; inilah ruh iman dan rahasia kemenangan. Ini semua menjadi petunjuk yang kuat dan dalil yang jelas bahwasanya puasa itu wajib, bukan hanya untuk menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari semua hal yang dapat menghilangkan keimanan dan tidak menguatkan keutamaan taqwa itu.[9]
Ketika Allah menyebutkan bahwa Dia mewajibkan puasa atas mereka, maka Dia memberitahukan bahwa puasa tersebut pada hari-hari tertentu atau dalam jumlah yang relatif sedikit dan mudah. Di antara kemudahannya yaitu puasa tersebut pada bulan tertentu, di mana seluruh umat Islam melakukannya. Namun Allah memberi kemudahan bagi orang yang sakit dan musafir, dan memerintahkan agar menggantinya pada hari-hari lain. Yakni ketika ia sembuh dari sakit atau tak lagi melakukan perjalanan. Dan sedang dalam keadaan luang.[10]
Dan firman Allah SWT:
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184).
Maksudnya seorang boleh tidak berpuasa ketika sedang sakit atau dalam keadaan bepergian, karena hal itu berat baginya. Maka ia dibolehkan berbuka dan mengqadha’nya sesuai dengan bilangan hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari lain.
Adapun orang sehat dan mukim (tidak bepergian) tetapi berat (tidak kuat) menjalankan puasa, maka ia boleh memilih antara berpuasa atau memberi makan orang miskin. Ia boleh berpuasa, boleh pula tidak puasa dengan syarat memberi makan kepada orang miskin untuk setip hari yang ditinggalkannya. Jika ia memberi makan lebih dari seorang miskin untuk setiap harinya, tentu akan lebih baik. Dan bila ia berpuasa, maka puasa lebih utama daripada memberi makanan. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata: “karena itulah Allah berfirman: “dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.[11]
Diriwayatkan bahwa ayat ini (QS. Al-Baqarah: 184) turun berkenaan dengan maula (Budak yang sudah dimerdekakan) Qais bin Assa-ib yang memaksakan diri berpuasa, padahal ia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini (QS. Al-Baqarah: 184), ia berbuka dan membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin, selama ia tidak berpuasa itu.[12]
Firman Allah SWT:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kam mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagunggkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah: 185).
Allah memberitahukan bahwa bulan yang di dalamnya diwajibkan bagi mereka berpuasa itu adalah bulan Ramadhan. Bulan di mana Al-Qur’an –yang dengannya Allah memuliakan umat Muhammad- diturunkan untuk pertama kalinya. Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai undang-undang serta peraturan yang mereka pegang teguh dalam kehidupan. Di dalamnya terdapat cahaya dan petunjuk. Dan itulah jalan kebahagiaan bagi orang yang ingin menitinya. Di dalamnya terdapat pembeda antara yang hak dengan yang batil, antara petunjuk dengan kesesatan dan antara yang halal dengan yang haram.
Allah menekankan puasa pada bulan Ramadhan karena bulan itu adalah bulan diturunkannya rahmat kepada setiap hamba. Dan Allah tidak menghendaki kepada segenap hamba-Nya kecuali kemudahan. Karena itu Dia membolehkan orang sakit dan musafir berbuka puasa pada hari-hari bulan Ramadhan,[13] dan memerintahkan mereka menggantinya, sehingga sempurna bilangan satu bulan. Selain itu, dia juga memerintahkan memperbanyak dzikir dan takbir ketika selesai melaksanakan ibadah puasa, yakni pada saat sempurnanya bulan Ramadhan. Karena itu Allah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah: 185).
Maksudnya, bila telah menunaikan apa yang diperintahkan Allah, taat kepada-Nya dengan menjalankan hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan segala yang diharamkan serta menjaga batasan-batasan hukum-Nya, maka hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur karenanya.[14]
C. HUKUM YANG DAPAT DI AMBIL DARI AYAT-AYAT TENTANG PUASA
Adapun Istinbath al-Ahkam, atau hukum yang dapat dipetik darii ayat-ayat tersebut di atas adalah:
- Umat Islam wajib melakukan puasa Ramadhan.
- Kewajiban bertakwa kepada Allah dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
- Boleh berbuka di bulan Ramadhan bagi orang sakit dan musafir.
- Keduanya wajib mengganti puasa sebanyak bilangan hari mereka berbuka, pada hari-hari lain.
- Firman Allah SWT:
“Maka wajiblah mereka berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain.”
Adalah dalil wajibnya mengqadha bagi orang yang berbuka pada bulan Ramadhan karena uzur, baik sebulan penuh atau kurang, juga merupakan dalil dibolehkannya mengganti hari-hari yang panjang dan panas dengan hari-hari yang pendek dan dingin atau sebaliknya.
- Tidak diwajibkan berturut-turut dalam mengqadha puasa Ramadhan, karena Allah SWT berfirman:
“Maka wajiblah mereka berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain.”
Tanpa mensyaratkan puasa berturut-turut. Maka, dibolehkan berpuasa secara berturut-turut atau secara terpisah-pisah. Dan yang demikian itu lebih memudahkan manusia.
- Orang yang tidak kuat puasa karena tua atau sakit yang tidak ada harapan sembuh, wajib baginya membayar fidyah, untuk setiap harinya memberi makan satu orang miskin.
Firman Allah SWT:
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Menunjukkan bahwa melakukan puasa bagi orang yang boleh berbuka adalah lebih utama, selama tidak memberatkan dirinya.
- Di antara keutamaan Ramadhan adalah, Allah mengistimewakannya dengan menurunkan Al-Qur’an pada bulan tersebut sebagai petunjuk bagi segenap hamba dan untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.
- Bahwa kesulitan menyebabkan datangnya kemudahan. Karena itu Allah membolehkan berbuka bagi orang sakit dan musafir.
- Kemudahan dan kelapangan islam, yang mana ia tidak membebani seseorang di luar kemampuannya.
- Disyari’atkan mengumandangkan takbir pada malam Idul Fitri.
Firman Allah SWT:
“Dan sempurnakanlah bilangan puasamu, lalu hendaklah kamu mengangungkan Allah (mengumandangkan takbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”
D. BEBERAPA MANFAAT PUASA
Puasa memiliki beberapa manfaat,ditinjau dari segi kejiwaan, sosial dan kesehatan, di antaranya:
- Beberapa manfaat puasa secara kejiwaan adalah puasa membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, mengajari dan membantu bagaimana menguasai diri, serta mewujudkan dan membentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri, yang ia merupakan hikmah puasa yang paling utama.
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 183).
- Termasuk manfaat puasa secara sosial adalah membiasakan umat berlaku disiplin, bersatu, cinta keadilan dan persamaan, juga melahirkan perasaan kasih sayang dalam jiwa orang-orang beriman dan mendorong mereka berbuat kebajikan. Sebagaimana ia juga menjaga masyarakat dari kejahatan dan kerusakan.
- Manfaat puasa ditinjau dari segi kesehatan adalah ia membersihkan usus-usus, memperbaiki kinerja pencernaan, membersihkan tubuh dari sisa-sisa dan endapan makanan, mengurangi kegemukan dan kelebihan lemak di perut.
- Di antara manfaatnya juga adalah mengosongkan hati hanya untuk berfikir dan berzikir. Sebaliknya, jika berbagai nafsu syahwat itu dituruti maka ia bisa mengeraskan dan membutakan hati, selanjutnya menghalangi hati untuk berzikir dan berfikir, sehingga membuatnya lengah. Berbeda halnya jika perut kosong dari makanan, dan minuman, ia menyebabkan hati bercahaya dan lunak, kekerasan hati sirna, kemudian semata-mata dimanfaatkan untuk berzikir dan berfikir.
- Orang kaya menjadi tahu seberapa ni’mat Allah atas dirinya. Allah mengarunianya ni’mat tak terhingga, pada saat yang sama banyak orang-orang miskin yang tak mendapatkan sisa-sisa makanan, minuman dan tidak pula menikah. Dengan terhalangnya dia dari ni’mat hal-hal tersebut pada saat-saat tertentu, serta rasa berat yang ia hadapi karenanya, itu akan mengingatkan dia kepada orang-orang yang sama sekali tak dapat menikmatinya. Ini akan mengharuskannya mensyukuri ni’mat Allah atas dirinya berupa serba kecukupan, juga akan menjadikannya berbelas kasih kepada saudaranya yang memerlukan, dan mendorongnya untuk membantu mereka.
- Termasuk manfaat puasa adalah ia mempersempit jalan aliran darah yang merupakan jalan setan dalam diri anak Adam. Karena setan masuk kepada anak adam melalui jalan aliran darah. Dengan berpuasa, maka dia aman dari gangguan setan, kekuatan nafsu syahwat dan marah menjadi lumpuh. Karena itu Nabi menjadikan puasa sebagai benteng untuk menghalangi nafsu syahwat nikah, sehingga beliau memerintahkan orang yang belum mampu menikah untuk berpuasa dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
[1] QS. Maryam: 26.
[2]Al-Shan’any, Subul al-Salam, Jilid. 1, Hal. 150.
[3] QS. Al-Baqarah: 183
[4] QS. Al-Baqarah: 184
[5] QS. Al-Baqarah: 185
[7] Abul Hasan al-Mawardi, an-Nukat wa al-‘Uyun: Tafsir al-Mawardi, jilid 1, Dar al-Kitab al- Ilmiyah, Beirut. Hal. 235-237.
[11] Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I. Hal. 214.
[12] Mufradat al-Qur’an: Tafsir wa Bayan, Beirut: Dar al-Rasyid, Hal. 49.
[14] Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I. Hal. 218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar