Senin, 07 April 2008 00:00 WIB
Hamparan Perak Juara Umum
*MTQ Dan FSN Deli Serdang Ditutup
BATANGKUIS, WASPADA Online
8.000-an Umat muslim menghadiri penutupan MTQN Ke-41 dan Festival Seni Nasyid (FSN) ke-30 tingkat Kab. Deli Serdang 2008 di Lapangan PTPN-II Kebun Bandar Klippa Rayon Batangkuis Desa Tanjungsari, Sabtu (5/4) malam.
Kafilah Kec. Hamparan Perak juara umum, dan berhak memboyong piala bergilir bupati. Poisi II Kec. Tanjungmorawa dan III Kec. Percut Sei Tuan. Sementara untuk FSN golongan putra, juara umum Group Nasyid Ar Rizal El Fikri Kec. Percut Sei Tuan dan putri diraih Group Nasyid Alfin Mahabbah Kec. Lubuk Pakam.
Amri Tambunan menyatakan bangga dan syukur karena kedua kegiatan itu sukses serta mendapat sambutan luar biasa masyarakat. “Melalui MTQ dan FSN diharapkan kemampuan umat muslim membaca dan mendalami serta menghayati isi kandungan al quran semakin baik,” katanya.
Adapun juara MTQ I-III untuk golongan Anak-Anak Putra Juara I-III, Miftahuddin Nasution (PS Tuan), Fahmi Aziz (Hp. Perak) dan Mhd Fadhli (Kutalimbaru). Putri, Nazli Arfah Nasution (B. Kuis), Sifa Audifa (Sunggal) dan Mutia Firenza (PS Tuan).
Remaja Putra, Rusdi Kurnia (Sunggal), M Khowasi Rokan (Hp. Perak) dan Heri Sandi (L.Deli). Putri, Marlina (L.Deli), Ainul Afifah Nst (B.Kuis) dan Ulpiwidyasari (PS Tuan). Dewasa Putra, Zainuddin (Hp.Perak), Ismail Hasim (B.Kuis) dan Ahmad Fauzi Lbs (Patumbak). Putri, Misrawati (Hp. Perak), Dani Ridho (L.Pakam) dan Muliana (Sunggal).
Tartil Quran Putra, Abdul Hamid Lbs (PS Tuan), Tanzilul Aziz (Hp. Perak) dan M Ikrom Azhima (P.Labu). Putri, Desi Ariani (Hp. Perak), Nada Syafira Alya (L.Deli) dan Alsha Anddi Hsb (STM Hilir). Tuna Netra Putra, M Ilyas (Sunggal), Zainuddin (T.Morawa) dan M Sabira (Kutalimbaru). Putri, Khomsaniati (P.Labu) dan Hendriyeni (L.Deli).
Hafizh 1 Juz dan Tilawah Putra, Ahmad Sholihin (T.Morawa), Alinnuha A.Mutawalli (Hp.Perak) dan Abdul Hakim Nst (Beringin). Putri, Halimatussa’diyah (Hp.Perak), Rizki Muaddah (L.Deli) dan Nurul Vikha Fadilla (B.Kuis).
Lima Juz Putra, Ahmad Husein (Hp.Perak), Habil Putra Adam (L. Pakam) dan Awaluddin (B.Purba). Putri, Nurlatifah Siregar (B.Purba), Khairunisa Pasaribu (Beringin) dan Ulfah Mayangsari (Sunggal). 10 Juz Putra, Iskandar Muda (Hp Perak), Rahmat Habibi (Sunggal) dan Arif Suhada Husin (T.Morawa).
10 Juz Putri ; Siti Zubaidah (Sunggal), Najihatul Husna (Beringin ) dan Chairunnisa Panjaitan (B.Purba). 20 Juz Putra ; Bangsawan Dalimunthe (Beringin), Zakaria Hasibuan (T. Morawa) dan Iriawan (P.Batu). Putri; juara I dan II kosong, juara III Siti Kholijah Matondang (Biru-Biru).
30 Juz Putra ; Zubair (Sunggal), Hilman Fauzi (PS Tuan) dan Ahmad Jamil Nst (P.Batu). Putri ; kosong.
Fahmil Qur’an juara I-III ; Deli Tua, PS Tuan dan Patumbak.Syarhil Quran ; PS Tuan, Hp.Perak dan Sunggal. Tulisan Buku Putra ; Abdulah (Hp.Perak), Mhd Irfan Kholis L.Deli) dan Zulkhaidir (Sunggal). Putri ; Nurul Arafahj HS (T.Morawa), Mina Ulinda (PS Tuan) dan Yuniar Dwiana (P.Merbau). Hiasan Mushaf Putra; Zulkifli (L.Deli), Ismail (Hp.Perak) dan Wahono Suprayogi (T.Morawa). Putri ; Dewi Astuti (T.Morawa), Ria Damayanti (PS Tuan) dan Sri Muliani (L.Pakam).
Kaligrafi utra ; Jepri Hamdani (T.Morawa), Hadi Saputra (L.Deli) dan Mhd Sofwan Hadi Nur (Sunggal). Putri ; Sri Mulyani (T. Morawa), Nazarianti (L.Pakam) dan Diah Fakhraini Nst (Kutalimbaru).(a05)
Jumat, 08 Oktober 2010
Rabu, 06 Oktober 2010
SEJARAH PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, sanagtalah penting untuk kita ketahui. Selain untuk memperdalam pengetahuan kita tentang sejara hukum Islam, namun yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memahami betul sumber dan dasar hukum Islam itu sendiri, karena dengan mempelajari sejarah kita bisa merasakan betapa dekat dan besar perjuangan para ulama dahulu terhadap perkembangan hukum Islam sekarang dengan menggali ilmu-ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Kita tidak bisa menutup mata terhadap sejarah, kalau bukan karena ulama-ulama kita terdahulu yang mempelajari, mengajakan serta menulis buku-buku tentang Islam atau sejarahnya, tidak mustahil kita tidak pernah merasakan manisnya hukum Islam itu sendiri.
Adapun judul makalah yang kami bahas dalam makalah ini adalah Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. Dimana didalamnya membahas tentang perkembangan hukum Islam mulai pada zaman rasul sampai sekarang ini. Dimana setiap periode mempunyai krakter tersendiri yang berbeda dengan periode-periode lainnya.
Di dalam makalah ini juga kami menjelaskan tokoh-tokoh yang berperan openting dalam pengembangan hukum Islam, baik pada zaman Rasul maupun sesudahnya, kemudian penyebab perkembngan dan kemunduran hokum Islam itu sendiri dan hal-hal yang berkaitan dengan judul makalah ini.
Kami sebagai pemakalah mohon maaf, apa bila didalam makalah ini ada kesalahan baik dalam pengutipan, penulisan dan penyusunannya, kemudian kami mengharapkan kritik dan saran dari kawan-kawan sekalian terutama bapak pembimbing mata kuliah ini, demi untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kepada Allah jualah kita mengharap ridho dan hidayahnya, mudah-mudahan makalah ini memberi manfaat bagi kta semua. Amiin
SEJARAH PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, dikalangan ulama fiqh kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal adalah cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas Amman, Yordania).
Cara pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri' al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu: [1]
1. | Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul; |
2. | Periode para sahabat besar; |
3. | Periode sahabat kecil dan thabi'in; |
4. | Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H; |
5. | Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan |
6. | Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang. |
Cara kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-'Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu:
1. | Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan |
2. | Periode sejak munculnya Majalah al-Al-Akam al-'Adliyyah sampai sekarang. |
Secara lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai berikut.
Periode pertama
Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila ayat Al-Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW.
Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur'an maupun dari sunnahnya sendiri. [2]
Periode Kedua
Masa al-Khulafa' ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyara'at tidak ditemukan di dalam Al-Qur'an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah. [3]
Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam periode ini masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.
Periode Ketiga
Periode ini dimulai dari pemerintahan Mua’wiyah bin Abu Sufyan tahun 41 Hijiriyah. Sampai timbulnya segi-segi kelemahan pada akerajaan Arab yakni pada awal abad ke II H. periode ini dimulai dengan bersatunya pendapat jumhur Islam pada Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Oleh karena itu tahun 41 Hijriyah disebut ‘amul jama’ah (tahun persatuuan Islam) hanya saja benih perselisihan politik tidak padam, masih tetap ada yang menyembunyikan perselisihan dan tipu daya terhadap Mu’awiyah dan keluarganya. Mereka itu dua golongan, yaitu golongan Khawarij dan Syi’ah.
Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas'ud (Ibnu Mas'ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyarakat setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para thabi'in. Para thabi'in yang terkenal itu adalah Sa'id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha’ bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha'i (w. 76 H) di Kufah, Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyara'at setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.
Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra'yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra'yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyara'at yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun usul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istishlah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh ra'yu (ar-ra'yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur'an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra'yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama'ah (imam yang empat). [4]
Periode Keempat
Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-ra'yu semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra'yu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain.
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai Ahlurra'yu (Ahlulhadits dan Ahlurra'yu), datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa' (buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi'i, salah seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurra'yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak berisi ra'yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafi'i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.
Pertentangan-pertentangan dalam materi usul fiqh merupakan sebab kesibukan ulama untukmenyusun ilmu yang mereka namakan “usul fiqh” yaitu kaida-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam istinbath.[5]
Periode Kelima
Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:
1. | Munculnya sikap ta'assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad; |
2. | Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan |
3. | Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut. |
Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
Periode Keenam
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta'assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara' dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah.
Periode Ketujuh
Sejak munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1. | Munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi; |
2. | Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan |
3. | Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman. |
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi'in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab. [6]
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
KESIMPULAN
Dengan meninjau dan menela’ah perjalanan fiqh dari zaman Rasulullah SAW. hingga sekarang dan dengan berceriminkan sejarah dari masa kemasa. Periode yang telah dilalui fiqh dari awalnya hingga sekarang dapat disimpulkan dalam enam atau tujuh periode.masing-masing periode itu mempunyai cirri masing-masing. Ringkasnya tiap-tiap periode mempunyai sifat dan keadaan yang berlainan dari masa pertama sampai seterusnya.
Dan para ulama membagi poembentukan hukum (fiqh) Islam kedalam tujuh periode sebagai berikut.
§ Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
§ Periode para sahabat besar
§ Periode sahabat kecil dan thabi'in;
§ Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
§ Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
§ Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang.
§ Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
· Prof. T.M. Hasbi As-Shiddieqiy. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
· Hudhari Bik Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islam yang dialih bahasakan oleh Drs. Mohammad Zuhri Sejarah Pembinaan Hukum Islam. Semarang: Darul Ihya, 1980.
· Asy-Syahrasytany. Al-Milal wan Nihal.
[1] Hudhari Bik Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islam yang dialih bahasakan oleh Drs. Mohammad Zuhri Sejarah Pembinaan Hukum Islam. Hal 12.
[2] Prof. T.M. Hasbi As-Shiddieqiy. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. Hal 31.
[3] Hudhari Bik Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islam yang dialih bahasakan oleh Drs. Mohammad Zuhri Sejarah Pembinaan Hukum Islam, hal 21.
[4] Prof. T.M. Hasbi As-Shiddieqiy. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, hal 53.
[5] Hudhari Bik Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islam yang dialih bahasakan oleh Drs. Mohammad Zuhri Sejarah Pembinaan Hukum Islam, hal 341.
[6] Asy-Syahrasytany. Al-Milal wan Nihal, hal 346.
Minggu, 03 Oktober 2010
Fakultas Syariah IAIN SU : Kompetensi, kiprah dan konstribusi
M. JAMIL & SYAFRUDDIN SYAMwww.waspada.co.id
Lahir dari “tangan” orang-orang yang tulus di awal pendiriannya, Faklutas Syariah telah tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Secara institusional, fakultas ini telah mengembangkan proyek peradaban dalam kancah keilmuan dengan membuka program studi yang menyahuti dan merespon kebutuhan pasar.
Saat ini saja telah dikembangkan dua sentral keilmuan yaitu hokum dan ekonomi yang diintegrasikan dengan ilmu-ilmu syariah. Beberapa jurusan yang telah dibuka adalah : Ahwal al-Syakhshiyyah (PerdataIslam), Perbandingan Hukum dan Mazhab, Jinayah Siyasah (Hukum Pidana dan Politik), Mu’amalah, Ekonomi Islam dengan tiga Program studi yaitu Perbankan Syari’ah, Akuntansi Syari’ah, dan Manajemen Syari’ah, serta satu Program D III Manajemen Perbankan dan Keuangan Syari’ah.
Di samping perkembangan secara organisatoris, Fakultas Syari’ah juga telah melahirkan banyak alumni yang berkiprah dalam banyak bidang seperti: ilmuwan, birokrat, pejabat, politisi, praktisi, konsultan, penulis, dai, tokoh dan sebagainya, baik dalam skala lokal maupun nasional.
Di tingkat kemahasiswaan sendiri, baru-baru ini mahasiswi Fakultas Syariah berhasil sebagai pemenang juara I pada lomba Ijtihad Kontemporer se Sumatera di Bukit Tinggi. Kesemua ini dipahami sebagai sebuah proses pencapaian menuju perwujudan Fakultas Syari’ah sebagai pusat keunggulan (center of excellence) bagi pengkajian, pengembangan dan penerapan ilmu-ilmu syari’ah untuk keadilan, kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.
Satu lembaga beban ganda
Fakultas Syariah sebagai jawaban atas tuntutan modernisasi sistem pendidikan hokum Islam merupakan bagian dari kesatuan lembaga pendidikan agama Islam yang telah lama dicita-citakan. Pada hakikatnya dengan didirikannya Fakultas Syariah merupakan upaya perwujudan salah satu proses mata rantai dari yang dicitacitakan syariah itu sendiri, yaitu kemaslahatan kehidupan baik di dunia maupun di akhirat yang dalam kapasitas spesialisasinya bertugas menciptakan para sarjana yang dengan modernisasi keahliannya dalam bidang hukum syariah akan mampu menerjemahkan serta menerapkan prinsip-prinsip agama (syariah) ke dalam format konkret yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing zaman dan tempatnya.
Dengan kata lain, para sarjana syariah diharapkan akan berfungsi sebagai “pengawal” perubahan atau dinamika berbagai aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, hukum, politik, sosial, budaya, teknologi, dan sebagainya menurut berbagai kiprah praksisnya. Mulai dari menjadi hakim, advokat, konsultan, dosen, aktivis lembaga swadaya masyarakat, politisi, dai, entrepreneur, hingga dalam bentuk peran tradisional sekalipun, atau berbagai bentuk pekerjaan dan profesi lainnya.
Namun hingga saat ini fakultas syariah dapat dikatakan belum mampu mencapai target maksimalnya secara mapan. Ini disebabkan tingginya dinamika perkembangan berbagai aspek kehidupan masyarakat baik yang berskala lokal maupun global yang kesemuanya itu pada gilirannya berimplikasi terhadap perkembangan fiqh sebagaimana yang menjadi “core study” nya fakultas syari’ah.
Sehingga amat wajar jika fakultas syari’ah cukup “kerepotan” merespons perkembangan tersebut mengingat peran konkret yang ditunggu pun bukanlagi “proyek” jangkapanjangmelainkan telah mendesak. Menarik untuk mencermati apa yang di sampaikan Prof.Satjipto Rahardjo dalam bukunya Hukum dan Masyarakat , beliau menjelaskan bahwa pembangunan itu bersifat imperative terhadap hukum, dalam arti bahwa baik secara langsung ataupun tidak, hukum diminta peran dan bantuannya untuk mengantarkan masyaraat kearah pembangunan serta menampung dan mengatasi segala bentuk akibat yang ditimbulkan dari pembangunan tersebut.
Jadi dalam hal ini baik para sarjana hukum maupun sarjana syari’ah kurang lebih mengemban tugas yang sama. Namun jika dibandingkan dengan tanggungjawab (berdasarkan kompetensinya) maka sarjana syari’ah memikul tanggung jawab yang cenderung lebih berat.
Tanggung jawab “two in one” pada tubuh fakultas syari’ah dapat dipahami mengingat calon sarjana syari’ah tidak hanya harus menguasai prinsip-prinsip dasar syari’ah saja melainkan juga harus mampu mentransfer ke dalam formulasi fiqh yang sesuai dengan berbagai aspek de facto dan de jure dari realitas yang berjalan di Indonesia.
Beban akademik bagi sarjana baik dalam ilmu-ilmu hukum dan ilmu-ilmu ekonomi konvensional cenderung lebih dititikberatkan dalam masalah de facto saja karena secara de jure –nya tidak begitu bermasalah karena yang berlaku di Indonesia ini secara umum adalah aturan konvensioanl itu sendiri, paling-paling pada aspek dan bagian tertentu saja yang memberlakukan dan mengadovsi sistem syariah.
Namun disisi lain, bagi sarjana syariah setelah mengkaji realitas sosial kemudian melanjutkan dengan mengkaji realitas hukum yang berlaku itu, baru setelah itu digarap dalam perspektif syariah. Dengan kata lain sarjana syari’ah akan mempunyai peran lebih konkret jika ia juga paham akan kondisi rimbahukum yang sesungguhnya berlaku saat ini yang notabbene hokum Barat (Continental dan Anglo Saxon), dan sebaliknya jika mahasiswa fakultas syari’ah tidak memahami hukum positif maka setidaknya akan cenderung mempersulit untuk mengetahui mana yang sudah sesuai dengan prinsip syariah, mana yang yang masih bertentangan, mana yang masih dinegosiasikan dan mana yang tidak.
Di samping persoalan beban ganda yang harus dipikul (umum dan syariah), para mahasiswa syari’ah juga dibebani dengan kemampuan mengintegrasikan keilmuan yang bersifat kewahyuan dan non kewahyuan. Hingga dengan demikian banyak beban akademik yang harus dipikul, namun di sisi lain tuntutan profesionalitas menunggu di depan mata. Sekadar tambahan sebuah komparasi, beberapa ahli pendidikan hokum menyatakan bahwa adalah satu hal yang mustahil untuk membekali mahasiswa hokum dengan seluruh pengetahuan dan ketrampilan yang membuatnya siap terjun menjalani profesi hukum, baik sebagai dosen, pengacara, apalagi hakim.
Ini terkait antara lain dengan akselerasi proses perubahan materi dan prosedural hukum serta kesenjangan antara law-in-books dengan lawin-action terutama di negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Oleh karenanya fakultas-fakultas hokum terkemuka di dunia lebih mengarahkan pendidikan hukum pada memberikan ketrampilan dan kemampuan dasar bagi mahasiswa untuk membelajarkan diri, hingga ia mampu menumbuh kembangkannya secara mandiri.
Pendidikan akademis menjadi mata kuliah dasar dan hanya didalami oleh mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendekatan ini lebih bertumpu pada penguasaan cara, proses dan metode dari pada produk hukum, hingga praktikum, magang (apprenticeship) dan pendidikan klinis menjadi bagian integral dari pendidikan hukum.
Tarik menarik antara pendidikan akademis dan professional/praktis merupakan gambaran umum bagi pendidikan di fakultas syari’ah saat ini. Karena itu perlu dialog yang panjang dan terus menerus untuk merumuskan materi dan system pendidikan yang seyogianya diterapkan ke depan.
Menyongsong masa depan
Ibaratgerbongyangberatdanpanjang sedang dibawa oleh fakultas syari’ah. Pada pertemuan dekan syari’ah se- Indonesia di Palembang yang diadakan pada tanggal 4-6 Desember 2009 yang lalu berkembang pemikiran yang mengkritisi tentang fenomena belakangan yang terjadi dalam kultur keilmuan syari’ah.
Bahwa akhir-akhir ini semakin memudarnya kemampuan dan geliat dalam merujuk kepada kitabkitab turats(baca:kitabkuning).Fenomena ini terjadi hamper diseluruh fakultas syari’ah se-Indonesia. Lemahnya kemampuan membaca khazanah Islam yang tergolong primer itu akan menggiring tercerabutnya para mahasiwa dari akar keilmuan dasar dari ilmu-ilmu syari’ah itu sendiri.
Karena itupertemuanitumerekomendasikanagar materi bahts al-kutub (membaca kitab) dibebankan sebanyak 4 SKS pada setiap jurusan di Fakultas Syari’ah. Menyahuti berbagai persoalan di atas, maka Fakultas Syari’ah IAIN SU terus melakukan pembenahan, dengan membuat berbagai program kegiatan sepereti membuka “swalayan ilmu”, meningkatkan atmosfir akademik lewat berabagi kegiatan seperti diskusi hampir setiap hari dari para dosen, menyelenggaraan kegiatan kemahasiswaan dalam upaya peningkatan kualitasakademik.
Di sampingitujugaakan diupayakan pembukaan program kelas khusus yang terdiri dari para mahasiswa yang benar-benar terseleksi dengan kualifikasi kemampuan-kemampuan dasar seperti Bahasa Arab dan Inggris dan sebagainya. Di sisilainpembinaanpadaaspekakhlak atau budi pekerti juga menjadi bagian penting. Prilaku, busana dan sebagainya akanterusdiperbaikisecaraterusmenerus. Diharapkan bahwa ke depan akan muncul parailmuwanmuslimyangkompetendan juga berahlak mulia. Semoga di tahun 1431 Hijriyah dan 2010 Miladiyah menjadi masa-masa mengukir prestasi dan keunggulan buat kemaslahatan kita semua di dunia dan di akhirat.Amin.
Penulis adalah Dekan dan Dosen Fakultas Syarian IAIN SU
Lahir dari “tangan” orang-orang yang tulus di awal pendiriannya, Faklutas Syariah telah tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Secara institusional, fakultas ini telah mengembangkan proyek peradaban dalam kancah keilmuan dengan membuka program studi yang menyahuti dan merespon kebutuhan pasar.
Saat ini saja telah dikembangkan dua sentral keilmuan yaitu hokum dan ekonomi yang diintegrasikan dengan ilmu-ilmu syariah. Beberapa jurusan yang telah dibuka adalah : Ahwal al-Syakhshiyyah (PerdataIslam), Perbandingan Hukum dan Mazhab, Jinayah Siyasah (Hukum Pidana dan Politik), Mu’amalah, Ekonomi Islam dengan tiga Program studi yaitu Perbankan Syari’ah, Akuntansi Syari’ah, dan Manajemen Syari’ah, serta satu Program D III Manajemen Perbankan dan Keuangan Syari’ah.
Di samping perkembangan secara organisatoris, Fakultas Syari’ah juga telah melahirkan banyak alumni yang berkiprah dalam banyak bidang seperti: ilmuwan, birokrat, pejabat, politisi, praktisi, konsultan, penulis, dai, tokoh dan sebagainya, baik dalam skala lokal maupun nasional.
Di tingkat kemahasiswaan sendiri, baru-baru ini mahasiswi Fakultas Syariah berhasil sebagai pemenang juara I pada lomba Ijtihad Kontemporer se Sumatera di Bukit Tinggi. Kesemua ini dipahami sebagai sebuah proses pencapaian menuju perwujudan Fakultas Syari’ah sebagai pusat keunggulan (center of excellence) bagi pengkajian, pengembangan dan penerapan ilmu-ilmu syari’ah untuk keadilan, kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.
Satu lembaga beban ganda
Fakultas Syariah sebagai jawaban atas tuntutan modernisasi sistem pendidikan hokum Islam merupakan bagian dari kesatuan lembaga pendidikan agama Islam yang telah lama dicita-citakan. Pada hakikatnya dengan didirikannya Fakultas Syariah merupakan upaya perwujudan salah satu proses mata rantai dari yang dicitacitakan syariah itu sendiri, yaitu kemaslahatan kehidupan baik di dunia maupun di akhirat yang dalam kapasitas spesialisasinya bertugas menciptakan para sarjana yang dengan modernisasi keahliannya dalam bidang hukum syariah akan mampu menerjemahkan serta menerapkan prinsip-prinsip agama (syariah) ke dalam format konkret yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing zaman dan tempatnya.
Dengan kata lain, para sarjana syariah diharapkan akan berfungsi sebagai “pengawal” perubahan atau dinamika berbagai aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, hukum, politik, sosial, budaya, teknologi, dan sebagainya menurut berbagai kiprah praksisnya. Mulai dari menjadi hakim, advokat, konsultan, dosen, aktivis lembaga swadaya masyarakat, politisi, dai, entrepreneur, hingga dalam bentuk peran tradisional sekalipun, atau berbagai bentuk pekerjaan dan profesi lainnya.
Namun hingga saat ini fakultas syariah dapat dikatakan belum mampu mencapai target maksimalnya secara mapan. Ini disebabkan tingginya dinamika perkembangan berbagai aspek kehidupan masyarakat baik yang berskala lokal maupun global yang kesemuanya itu pada gilirannya berimplikasi terhadap perkembangan fiqh sebagaimana yang menjadi “core study” nya fakultas syari’ah.
Sehingga amat wajar jika fakultas syari’ah cukup “kerepotan” merespons perkembangan tersebut mengingat peran konkret yang ditunggu pun bukanlagi “proyek” jangkapanjangmelainkan telah mendesak. Menarik untuk mencermati apa yang di sampaikan Prof.Satjipto Rahardjo dalam bukunya Hukum dan Masyarakat , beliau menjelaskan bahwa pembangunan itu bersifat imperative terhadap hukum, dalam arti bahwa baik secara langsung ataupun tidak, hukum diminta peran dan bantuannya untuk mengantarkan masyaraat kearah pembangunan serta menampung dan mengatasi segala bentuk akibat yang ditimbulkan dari pembangunan tersebut.
Jadi dalam hal ini baik para sarjana hukum maupun sarjana syari’ah kurang lebih mengemban tugas yang sama. Namun jika dibandingkan dengan tanggungjawab (berdasarkan kompetensinya) maka sarjana syari’ah memikul tanggung jawab yang cenderung lebih berat.
Tanggung jawab “two in one” pada tubuh fakultas syari’ah dapat dipahami mengingat calon sarjana syari’ah tidak hanya harus menguasai prinsip-prinsip dasar syari’ah saja melainkan juga harus mampu mentransfer ke dalam formulasi fiqh yang sesuai dengan berbagai aspek de facto dan de jure dari realitas yang berjalan di Indonesia.
Beban akademik bagi sarjana baik dalam ilmu-ilmu hukum dan ilmu-ilmu ekonomi konvensional cenderung lebih dititikberatkan dalam masalah de facto saja karena secara de jure –nya tidak begitu bermasalah karena yang berlaku di Indonesia ini secara umum adalah aturan konvensioanl itu sendiri, paling-paling pada aspek dan bagian tertentu saja yang memberlakukan dan mengadovsi sistem syariah.
Namun disisi lain, bagi sarjana syariah setelah mengkaji realitas sosial kemudian melanjutkan dengan mengkaji realitas hukum yang berlaku itu, baru setelah itu digarap dalam perspektif syariah. Dengan kata lain sarjana syari’ah akan mempunyai peran lebih konkret jika ia juga paham akan kondisi rimbahukum yang sesungguhnya berlaku saat ini yang notabbene hokum Barat (Continental dan Anglo Saxon), dan sebaliknya jika mahasiswa fakultas syari’ah tidak memahami hukum positif maka setidaknya akan cenderung mempersulit untuk mengetahui mana yang sudah sesuai dengan prinsip syariah, mana yang yang masih bertentangan, mana yang masih dinegosiasikan dan mana yang tidak.
Di samping persoalan beban ganda yang harus dipikul (umum dan syariah), para mahasiswa syari’ah juga dibebani dengan kemampuan mengintegrasikan keilmuan yang bersifat kewahyuan dan non kewahyuan. Hingga dengan demikian banyak beban akademik yang harus dipikul, namun di sisi lain tuntutan profesionalitas menunggu di depan mata. Sekadar tambahan sebuah komparasi, beberapa ahli pendidikan hokum menyatakan bahwa adalah satu hal yang mustahil untuk membekali mahasiswa hokum dengan seluruh pengetahuan dan ketrampilan yang membuatnya siap terjun menjalani profesi hukum, baik sebagai dosen, pengacara, apalagi hakim.
Ini terkait antara lain dengan akselerasi proses perubahan materi dan prosedural hukum serta kesenjangan antara law-in-books dengan lawin-action terutama di negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Oleh karenanya fakultas-fakultas hokum terkemuka di dunia lebih mengarahkan pendidikan hukum pada memberikan ketrampilan dan kemampuan dasar bagi mahasiswa untuk membelajarkan diri, hingga ia mampu menumbuh kembangkannya secara mandiri.
Pendidikan akademis menjadi mata kuliah dasar dan hanya didalami oleh mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendekatan ini lebih bertumpu pada penguasaan cara, proses dan metode dari pada produk hukum, hingga praktikum, magang (apprenticeship) dan pendidikan klinis menjadi bagian integral dari pendidikan hukum.
Tarik menarik antara pendidikan akademis dan professional/praktis merupakan gambaran umum bagi pendidikan di fakultas syari’ah saat ini. Karena itu perlu dialog yang panjang dan terus menerus untuk merumuskan materi dan system pendidikan yang seyogianya diterapkan ke depan.
Menyongsong masa depan
Ibaratgerbongyangberatdanpanjang sedang dibawa oleh fakultas syari’ah. Pada pertemuan dekan syari’ah se- Indonesia di Palembang yang diadakan pada tanggal 4-6 Desember 2009 yang lalu berkembang pemikiran yang mengkritisi tentang fenomena belakangan yang terjadi dalam kultur keilmuan syari’ah.
Bahwa akhir-akhir ini semakin memudarnya kemampuan dan geliat dalam merujuk kepada kitabkitab turats(baca:kitabkuning).Fenomena ini terjadi hamper diseluruh fakultas syari’ah se-Indonesia. Lemahnya kemampuan membaca khazanah Islam yang tergolong primer itu akan menggiring tercerabutnya para mahasiwa dari akar keilmuan dasar dari ilmu-ilmu syari’ah itu sendiri.
Karena itupertemuanitumerekomendasikanagar materi bahts al-kutub (membaca kitab) dibebankan sebanyak 4 SKS pada setiap jurusan di Fakultas Syari’ah. Menyahuti berbagai persoalan di atas, maka Fakultas Syari’ah IAIN SU terus melakukan pembenahan, dengan membuat berbagai program kegiatan sepereti membuka “swalayan ilmu”, meningkatkan atmosfir akademik lewat berabagi kegiatan seperti diskusi hampir setiap hari dari para dosen, menyelenggaraan kegiatan kemahasiswaan dalam upaya peningkatan kualitasakademik.
Di sampingitujugaakan diupayakan pembukaan program kelas khusus yang terdiri dari para mahasiswa yang benar-benar terseleksi dengan kualifikasi kemampuan-kemampuan dasar seperti Bahasa Arab dan Inggris dan sebagainya. Di sisilainpembinaanpadaaspekakhlak atau budi pekerti juga menjadi bagian penting. Prilaku, busana dan sebagainya akanterusdiperbaikisecaraterusmenerus. Diharapkan bahwa ke depan akan muncul parailmuwanmuslimyangkompetendan juga berahlak mulia. Semoga di tahun 1431 Hijriyah dan 2010 Miladiyah menjadi masa-masa mengukir prestasi dan keunggulan buat kemaslahatan kita semua di dunia dan di akhirat.Amin.
Penulis adalah Dekan dan Dosen Fakultas Syarian IAIN SU
THE RULE OF LAW AND CONSTITUTIONALISM IN ISLAM
By : Professor Nur Ahmad Fadhil Lubis, Ph.D
THE RULE OF LAW AND CONSTITUTIONALISM
IN ISLAM
(A Working Paper Presented at the Conference on
'Democracy and the Rule of Law', University of Maryland)
Constitutionalism, and its close concept of ‘the rule of law’ makes reference to the idea of ‘law’, inasmuch as constitutionalism requires the conduct of different organs of the state vis-à-vis citizens, as well as vis-à-vis each other, be regulated by laws, or rules (which may be or may not be written). For this reason, it is convenient to begin the inquiry into the possible foundations of constitutionalism in Islamic values and Muslim thought and deal subsequently with the question what the (Islamic) law is, and the place it has in society. It is here one would hope to be able to discover foundations for constitutionalism (or a certain version thereof) in Islam.
A. SHARI’AH AND FIQH
The Muslims refer to their religion as din al-islam, a term which is used by al-Qur’an. Theologically din is defined by divine institution (wad’ ilahi) which guides rational beings, by their choosing and submitting to it, to salvation here and in the hereafter. It thus means ‘religion’ in the broadest sense, and it is different from shari’ah and fiqh, two terms that are often translated into ‘Islamic law’ and need further clarification.
The din is generally understood by Muslims as covering three things: islam with its five pillars, iman with its five (some believe six) pillars, and ihsan (virtues). These three make up the basic elements of Islamic din.
There can be no doubt that the essence of Islam is tawhid, the act of affirming Allah to be the One, Absolute, transcendent Creator, Lord and Master of the whole universe. Tawhid is that which gives Islamic civilization its identity, which binds all its constituents together and thus makes them an integrated entity. In binding disparate elements together, the essence of civilization impresses them with its own mold. It recasts them so as to harmonize with and mutually support other elements. Without necessarily changing their nature, the essence transforms, the elements making up a civilization, giving them their new character as constitutive of that civilization.
God, in His love and mercy, revealed to man His will. ‘Unto every people, the Qur’an affirms, God has sent prophets to teach them the divine imperatives in their own tongue’ (Q, 14:4). Reason and revelation are ‘two open books’ available to mankind to discern the divine imperative. Although human reasoning is fallible, yet is trustworthy as an avenue of truth, since it can reconsider and correct its previous findings. Although revelation is not fallible, man’s understanding of it is not free from mistakes, and therefore stands to be corrected by reason. The two sources thus become equivalent in the sense that no contradiction between them can be ever final. Where there is fault, reconsideration by reason is the only recourse. Fortunately, it is an open, free, public, self-conscious, and critical avenue.
Shari’ah is originally referred to a path trodden by camels to a water source. Water is unavoidable source of life, especially in the desert area such as Arabia in which Islam was born. The shari’ah is later used by Qur’an to mean a straight path, as in 45:18. ‘Then We put on a straight path in your affairs, so follow it and do not follow the desires of those who have no knowledge. Islamically, therefore, it is understood as the sum total of Islamic injunctions which were revealed to the Prophet and which are recorded in the Qur’an as well as deducible from the Prophet’s divinely-guided lifestyle (sunnah).
Its religious character is due to the Muslim belief that it derives from divinely inspired sources and represents God’s will for the proper ordering of all human activities. In Isla God is the sole, ultimate law-giver (shari’). Given the absence of a living prophet, all law worthy of the name must therefore be derived from texts that contain divine revelation or possess authority grounded on that revelation. Classical Muslim jurisprudents regarded the effort to discover divine law through these texts exceedingly demanding, since it requires one to grapple with an enormous array of difficult text-criticism and hermeneutic issues.
Except in a few cases, the letter of the prescriptive elaboration of the values of Islam was declared sacrosanct and hence absolutely unalterable. The qualities of eternity and immutability belonged to the values or principles behind the prescriptive elaboration, not the legal form given them by translation of the purposes of law into legislative prescriptions. Eternity and absoluteness belonged, in the main, to the axiological postulates. With the exception of these postulates and directions, all deontological elaboration were open to reinterpretation by humans. The openness was dictated by ever-changing conditions and situations of human life which demanded in turn a readiness on the part of the law to meet them in pursuit of its eternal objectives. The shari’ah was divine and eternal not in its letter but in its spirit. The letter of the law was honored because of derivation from that which is divine and eternal.
To govern the process of translation of the values of Islam into legislative prescriptions, and to enable the shari’ah to accommodate the changing human conditions, revelation provided both the principles of laws and the mechanism for its renewal. The fundamental principles, the values, and groundwork for both the law and the methodology for its dynamic development were given by Islam under divine authority. Muslims invented the science of usul al-fiqh to systematize development of the law to meet new situations and problems, to institutionalize the continuous adaptation of the law to historical change. It was the task of usul al-fiqh to distinguish between the changeable and the changeless, to develop a methodology out of the relevant principles laid down in the Qur’an and the Sunnah for governing change. Usul al-fiqh arose in order to establish criteria of validity for the development of new laws from the sources in the revelation.
Meanwhile the overall understanding undertaken by Muslims, especially the learned ones, of the provisions of the shari’ah is called fiqh, which literally means a true understanding and deep comprehension of what is intended. Technically, however, fiqh refers to the science of deducing Islamic laws from evidence found in the sources of Islamic law. The prime sources of Islamic law are the Qur’an and the Sunnah of the Prophet, in which the shari’ah situates.
The Islamic tradition carefully distinguishes the articulation of the divine categorization by human scholars from the categorization themselves. The former is called fiqh, the latter – as it has already been noted – shari’ah. Fiqh, which means ‘deep understanding’, clearly the human scholars as its subject, while the subject of the shari’ah – the shari’ah-giver, or shari’ah-maker (al-shari’) is ultimately God. The shari’ah is thus the object of the understanding that human scholars seek as such is distinct from the understanding itself. It is under the heading of fiqhk, rather than shari’ah that the actual articulations of the divine characterizations by human scholars are to be placed, since these articulations represent or express the scholars’ understanding of the shari’ah. The hesitation of the Islamic tradition to identity these articulations with the shari’ah as such arises from an acknowledgment that they are fallible, and therefore sometimes be erroneous. The fact that the articulations of different scholars or schools can contradict each other bears testimony to this fallibility.
The task of articulating the divine categorization of human acts is to be undertaken in accordance with a body of carefully worked out methodological principles. These principles are elaborated in a special science known as ‘ilm usul al-fiqh, the science of the principles underlying (or foundations) of fiqh. Its practitioners are called, in Arabic, usuliyyun. Alongside this science stands the actual articulation of the divine categorization, to produce fiqh. These two sciences together constitute complementary parts of a single enterprise, one that endeavors to discover and expound the shari’ah.
So are the words, shari’ah and fiqh refer to the same thing, or sometimes different? If different, what is the difference? For some scholars, they take these two words are referring to the same entity, even with slight different emphasis. For others, the two words point to two different entities, however closely related they are. Some scholars, for example, points out three differences between the two:
1). Shari’ah is the body of revealed ‘laws’ found both in the Qur’an and in the Sunnah, while fiqh is a body of laws deduced from shari’ah to cover specific situations not directly treated in the shari’ah law;
2). Shari’ah is fixed and unchangeable, whereas fiqh changes according to the circumstances under which it is applied;
3). The laws of shari’ah, for the most part, general; they lay down basic principles. In contrast, the laws of fiqh tend to be specific, they demonstrate how the basic principles of shari’ah should be applied in given circumstances.
B. THE RULE OF LAW AND CONSTITUTIONALISM
The rule of law is generally understood as the largely formal or procedural properties of a well-ordered legal system (Audi, 1995:699). Commonly, these properties are thought to include a prohibition of arbitrary power (the lawgiver is also the subject of the laws); laws that are general, prospective, clear, and consistent (capable of guiding conduct); and tribunal (courts) that reasonably accessible and fairly structured to hear and determine legal claims. Contemporary discussions of the rule of law focus on two major questions: (a) to what extent is conformity to the rule of law is essential to the very idea of a legal system, and (b) what is the connection between the rule of law and the substantive moral value of a legal system?
What is the meaning of ‘constitutionalism’ in the context of Islamic legal political thought? Other terms which may have sometimes been used as equivalents of constitutionalism in Western languages include ‘rule of law’, ‘rechsstaat’, and ‘l’etat de droit’. Some of these terms have natural sounding equivalents in Arabic, the Islamic language: such as dawlat al-qanun will do very nicely for rechsstaat, and the same can be said for hukm al-qanun for ‘rule of law’. Constitutionalism, however, has no readily identifiable Arabic equivalent, but some come up with the term dusturiyyah, so a constitution is translated as al-qanun al-dusturi.
In Western political thought, terms such as ‘constitutionalism’, ‘rule of law’, and the like have come to express meaning which are richer, and more complex, than what is suggested by etymology, or mere juxtaposition of words. The is usually the mark of terms and concepts that have come to play a pivotal role in the theory of the subject-matter in which the term is used. Such terms invariably carry a greater semantic burden that is suggested by their linguistic derivation or the sum of their parts. The same can be said for the terms and concepts born and elaborated within the tradition of Islamic thought. However, this does not mean that the other civilization does not known entirely issues and ideals fall under the concept. Themes which are found in constitutionalism, such as ruling in accordance with the law, the right that people have to oppose unjust rule, liberties with rulers are not permitted to infringe on, and other similar concerns, have existed in Muslim legal-political thought since the earliest times.
Among concepts that play an important role in recent Western political thought and practices, the ideas of ‘constitutionalism’ does not appear to be essentially contested outside European areas. However, some questions continue to be raised about the consequence of constitutionalism for the functioning of democracy, and the extent to which constitutionalism may be thought to impose restrictions on liberty – the liberty of ordinary citizens, government officials, or even the liberty of future generations. But all of this takes place within the framework of a broad agreement on what constitutionalism basically means.
Two ideas are basic to constitutionalism: (a) the limitation of the State versus society in the form of respect for a set of human rights covering not only civic rights but also political and economic rights, (b) the implementation of separation of powers within the state. These two ideas are closely related. According to Lane (1996:25), the first functions as ‘external principle’ which restricts state power with respect to civil society, while the second functions as an ‘internal principle’ which ensures that no body (organ or person) in the state completely prevails over the others.
Let us begin with the questions of rights, for this is easier that the question of the different branches of government, and the relations which may be hold between them. What rights individuals have in Islam? How does the Islamic scheme of individual (and human) rights compare to other schemes? It is commonplace to say that Islam is not one thing to all who profess to believe in it, or practice it. This is true in many respects, but the subject of rights stands out as an area in which drastically different interpretations of the faith are possible. In this sense, we may look at the writings of Mawdudi, an Islamic thinker of considerable fame and influence, whose al-Khilafah wa al-Muluk (1975) enumerates no fewer than 13 rights which citizens hold against the government. They include the right to life, dignity, privacy, property, due process, equality before the law, freedom of belief, freedom of assembly, and freedom of religious persecution. Many, or most, of the rights which he elaborates are supported by reference to fairly unequivocal Qur’anic verses.
The same spirit seems to be operative also in many of the Islamic human rights scheme that have been made public. The documents in question tend to be guarded, on account of their being potentially addressed to an international audience. Still, many inconsistencies, obfuscations, and equivocations are to be found in several places, especially in the areas of freedom of thought, treatment of non-Muslims, and women’s rights. For example, whereas the English version of article XX (a) of the Universal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR)says that the husband owes his wife means of support ‘in the event of divorce’, the Arabic version of the same article uses the phrase ‘if he divorces her’. What the English version passes over in silence is, of course, the troublesome problem of the unconditional right to divorce, which most classical fiqh opinions have given to men. In addition, the Arabic version invokes the notion of qiwamah (authority which men have over women), something which the English version omits altogether.
In short, we can say that the shari’ah and fiqh offer a rich and varied field in which human rights can be grounded. Depending on how shari’ah is interpreted, and fiqh is extracted, there may be limitations, serious omissions, and shortcomings which our modern ethical sensibilities cannot accept. But one probably should not judge Islamic shari’ah or fiqh (or other religious traditions, for that matter) harshly. After all, we could not have been able to ascertain the vision of one humanity, whose members are equal in worth and dignity, endowed with inalienable human rights, regardless of gender, race, or social positions, had we not ‘stood on the shoulders’ prophets, who were the first the announce the equality of all humans in sight of God, the Just Creator.
C. CONSTITUTIONAL CHANGE: INDONESIAN CASE
One thing is important to express before dealing with the issue of Islam and constitutionalism in Indonesia, namely the fact that there is no mention of any opposition to constitutionalism both when the preparatory commission for independence was doing its tasks which included the designing of a constitution, and when Indonesian independence was proclaimed in August 17, 1945 and the draft constitution with certain changes was promulgated a day after.
The disagreement seems to begin on the issue of the ideological basis of this new nation-state which subsequently the commission into two general camps, which one strove for an ‘Islamic’ state, and the other struggled for a secular state. A compromise was later reached by the special commission specially set up to settle the issue. The compromise was recorded and signed by all the members of the commission on June 22, 1945. In it, there is a statement that the state is based on ‘belief in God, with an obligation to observe the Islamic shari’ah by its adherents’. When this became an official preamble of the constitution of the new state of Indonesia, the second half of the sentence (or what is known in Indonesia as ‘the seven words’) were erased.
The omission of ‘shari’ah’ from the Constitution does not stop some segments of Indonesian Muslims to fight for it. When Soekarno changed the structure of the state into more a totalitarian government, in July 5, 1959, by returning to the first Constitution, he did mention the Jakarta Charter. It rekindled certain hope among its exponents, however their high hope was soon vanished when Soekarno did not care less about implementing the Constitution, let alone the Jakarta Charter.
After the fall of Soekarno and when Soeharto just started to found a new constitutional government, some Muslim politicians in the parliament pursued their goals of legalizing the content of Jakarta Charter, but failed. On June 29, 1968, celebrations commemorating the Jakarta Charter were held in Jakarta, which emphasized, among others, the position of the Charter to the 1945 Constitution. Not only their demand was turned down, but also many Muslim leaders have to lose their political positions.
The political climat3e changed quite dramatically in mid eighties. Soeharto found himself not in a quite stable position, which subsequently forced him to approach the Muslims. He appeased the Muslims by enacting ‘Islamic’ laws, strengthening the existing ‘Islamic’ institutions, especially the Islamic ‘agama’ courts of justice, legalizing new Islamic institutions, such as Islamic banks and insurance. Regardless the debates on who’s coopting whom, this new political climate gave a new era for Islamic activism in this biggest Muslim populous country in the world today.
The collapse of the New Order regime in May 1998 has ushered in some new hopes for the implementation of Islamic values and the application of shari’ah in Indonesia. Numerous Muslim groups and Indonesian figures consider this as a golden opportunity to struggle for a fuller incorporation of Islamic values into Indonesian life. These aspirations are actually gaining in significance because, with the political liberalization in the wake of Soeharto’s fall, each individual or group is free to express their goals and interest. In addition, the political shift from an authoritarian to amore democratic order, including the possibility of amending the Constitution, has given the Indonesian people a fresh beginning for rebuilding the nation and consolidating their existence.
However, as time passes by, it turns out that the so-called political Islam was not a favorite choice of Indonesian people at large. The 1999 general election, so far considered as the most democratic election in Indonesia, does not place the ‘Islamic political parties’ in leading positions. In contrast, it was the PDIP, a nationalist secular party, that got the highest number of votes. During the process of constitutional changes, which have taken place four times in annual meetings of the Assembly, the demands of the some ‘Islamic’ parties to revive the content of Jakarta Charter, was failed. However, the promulgation of ‘Islamic’ origin legal concepts and values have been increasing lately. This points out the reality that one should be aware and careful not to be confused between ‘law-in-books’ and ‘law-in-action’. Indonesian case may be not that far from what happened in new states in Central Asia. As has been pointed out by the study on the constitutional ideals and practices in Central Asia and Uzbekistan, Rebecca Bichel (1997) concluded that the cloning of the U. S. Constitution in Uzbekistan rather than fostering indigenous democracy, chose to emphasize the formation of democratic institutions at the expense of democratic ideals, has resulted in creating constitutional fiction and legal disguise to hide on-going abuses of human rights and authoritarian regime.
Nur A. Fadhil Lubis
Professor of Islamic Law
State Institute of Islamic Studies
North Sumatra – Medan
Indonesia
BIBLIOGRAPHY
Ainnurrafiq (ed). Mazhab Jogya: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002).
Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2001).
Audi, Robert (ed). The Cambridge Dictionary of Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1995).
Bichel, Rebecca H. ‘Deconstructing Constitutionalism: The Case of Central Asia and Uzbekistan’ (Original Publications, ICARP).
Chand, Hari. Modern Jurisprudence (Kuala Lumpur: International law Book Services, 1994).
Lane, Jan-Erik. Constitutions and Political Theory (Machester: Manchester University Press, 1996).
Lubis, Nur A. Fadhil. A History of Islamic Law in Indonesia (Medan: IAIN Press, 2000).
Salim, Arskal and Azra, Azyumardi (eds). Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003).
Wahid, Marzuki & Rumadi (eds). Fiqh Mazhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001).
THE RULE OF LAW AND CONSTITUTIONALISM
IN ISLAM
(A Working Paper Presented at the Conference on
'Democracy and the Rule of Law', University of Maryland)
Constitutionalism, and its close concept of ‘the rule of law’ makes reference to the idea of ‘law’, inasmuch as constitutionalism requires the conduct of different organs of the state vis-à-vis citizens, as well as vis-à-vis each other, be regulated by laws, or rules (which may be or may not be written). For this reason, it is convenient to begin the inquiry into the possible foundations of constitutionalism in Islamic values and Muslim thought and deal subsequently with the question what the (Islamic) law is, and the place it has in society. It is here one would hope to be able to discover foundations for constitutionalism (or a certain version thereof) in Islam.
A. SHARI’AH AND FIQH
The Muslims refer to their religion as din al-islam, a term which is used by al-Qur’an. Theologically din is defined by divine institution (wad’ ilahi) which guides rational beings, by their choosing and submitting to it, to salvation here and in the hereafter. It thus means ‘religion’ in the broadest sense, and it is different from shari’ah and fiqh, two terms that are often translated into ‘Islamic law’ and need further clarification.
The din is generally understood by Muslims as covering three things: islam with its five pillars, iman with its five (some believe six) pillars, and ihsan (virtues). These three make up the basic elements of Islamic din.
There can be no doubt that the essence of Islam is tawhid, the act of affirming Allah to be the One, Absolute, transcendent Creator, Lord and Master of the whole universe. Tawhid is that which gives Islamic civilization its identity, which binds all its constituents together and thus makes them an integrated entity. In binding disparate elements together, the essence of civilization impresses them with its own mold. It recasts them so as to harmonize with and mutually support other elements. Without necessarily changing their nature, the essence transforms, the elements making up a civilization, giving them their new character as constitutive of that civilization.
God, in His love and mercy, revealed to man His will. ‘Unto every people, the Qur’an affirms, God has sent prophets to teach them the divine imperatives in their own tongue’ (Q, 14:4). Reason and revelation are ‘two open books’ available to mankind to discern the divine imperative. Although human reasoning is fallible, yet is trustworthy as an avenue of truth, since it can reconsider and correct its previous findings. Although revelation is not fallible, man’s understanding of it is not free from mistakes, and therefore stands to be corrected by reason. The two sources thus become equivalent in the sense that no contradiction between them can be ever final. Where there is fault, reconsideration by reason is the only recourse. Fortunately, it is an open, free, public, self-conscious, and critical avenue.
Shari’ah is originally referred to a path trodden by camels to a water source. Water is unavoidable source of life, especially in the desert area such as Arabia in which Islam was born. The shari’ah is later used by Qur’an to mean a straight path, as in 45:18. ‘Then We put on a straight path in your affairs, so follow it and do not follow the desires of those who have no knowledge. Islamically, therefore, it is understood as the sum total of Islamic injunctions which were revealed to the Prophet and which are recorded in the Qur’an as well as deducible from the Prophet’s divinely-guided lifestyle (sunnah).
Its religious character is due to the Muslim belief that it derives from divinely inspired sources and represents God’s will for the proper ordering of all human activities. In Isla God is the sole, ultimate law-giver (shari’). Given the absence of a living prophet, all law worthy of the name must therefore be derived from texts that contain divine revelation or possess authority grounded on that revelation. Classical Muslim jurisprudents regarded the effort to discover divine law through these texts exceedingly demanding, since it requires one to grapple with an enormous array of difficult text-criticism and hermeneutic issues.
Except in a few cases, the letter of the prescriptive elaboration of the values of Islam was declared sacrosanct and hence absolutely unalterable. The qualities of eternity and immutability belonged to the values or principles behind the prescriptive elaboration, not the legal form given them by translation of the purposes of law into legislative prescriptions. Eternity and absoluteness belonged, in the main, to the axiological postulates. With the exception of these postulates and directions, all deontological elaboration were open to reinterpretation by humans. The openness was dictated by ever-changing conditions and situations of human life which demanded in turn a readiness on the part of the law to meet them in pursuit of its eternal objectives. The shari’ah was divine and eternal not in its letter but in its spirit. The letter of the law was honored because of derivation from that which is divine and eternal.
To govern the process of translation of the values of Islam into legislative prescriptions, and to enable the shari’ah to accommodate the changing human conditions, revelation provided both the principles of laws and the mechanism for its renewal. The fundamental principles, the values, and groundwork for both the law and the methodology for its dynamic development were given by Islam under divine authority. Muslims invented the science of usul al-fiqh to systematize development of the law to meet new situations and problems, to institutionalize the continuous adaptation of the law to historical change. It was the task of usul al-fiqh to distinguish between the changeable and the changeless, to develop a methodology out of the relevant principles laid down in the Qur’an and the Sunnah for governing change. Usul al-fiqh arose in order to establish criteria of validity for the development of new laws from the sources in the revelation.
Meanwhile the overall understanding undertaken by Muslims, especially the learned ones, of the provisions of the shari’ah is called fiqh, which literally means a true understanding and deep comprehension of what is intended. Technically, however, fiqh refers to the science of deducing Islamic laws from evidence found in the sources of Islamic law. The prime sources of Islamic law are the Qur’an and the Sunnah of the Prophet, in which the shari’ah situates.
The Islamic tradition carefully distinguishes the articulation of the divine categorization by human scholars from the categorization themselves. The former is called fiqh, the latter – as it has already been noted – shari’ah. Fiqh, which means ‘deep understanding’, clearly the human scholars as its subject, while the subject of the shari’ah – the shari’ah-giver, or shari’ah-maker (al-shari’) is ultimately God. The shari’ah is thus the object of the understanding that human scholars seek as such is distinct from the understanding itself. It is under the heading of fiqhk, rather than shari’ah that the actual articulations of the divine characterizations by human scholars are to be placed, since these articulations represent or express the scholars’ understanding of the shari’ah. The hesitation of the Islamic tradition to identity these articulations with the shari’ah as such arises from an acknowledgment that they are fallible, and therefore sometimes be erroneous. The fact that the articulations of different scholars or schools can contradict each other bears testimony to this fallibility.
The task of articulating the divine categorization of human acts is to be undertaken in accordance with a body of carefully worked out methodological principles. These principles are elaborated in a special science known as ‘ilm usul al-fiqh, the science of the principles underlying (or foundations) of fiqh. Its practitioners are called, in Arabic, usuliyyun. Alongside this science stands the actual articulation of the divine categorization, to produce fiqh. These two sciences together constitute complementary parts of a single enterprise, one that endeavors to discover and expound the shari’ah.
So are the words, shari’ah and fiqh refer to the same thing, or sometimes different? If different, what is the difference? For some scholars, they take these two words are referring to the same entity, even with slight different emphasis. For others, the two words point to two different entities, however closely related they are. Some scholars, for example, points out three differences between the two:
1). Shari’ah is the body of revealed ‘laws’ found both in the Qur’an and in the Sunnah, while fiqh is a body of laws deduced from shari’ah to cover specific situations not directly treated in the shari’ah law;
2). Shari’ah is fixed and unchangeable, whereas fiqh changes according to the circumstances under which it is applied;
3). The laws of shari’ah, for the most part, general; they lay down basic principles. In contrast, the laws of fiqh tend to be specific, they demonstrate how the basic principles of shari’ah should be applied in given circumstances.
B. THE RULE OF LAW AND CONSTITUTIONALISM
The rule of law is generally understood as the largely formal or procedural properties of a well-ordered legal system (Audi, 1995:699). Commonly, these properties are thought to include a prohibition of arbitrary power (the lawgiver is also the subject of the laws); laws that are general, prospective, clear, and consistent (capable of guiding conduct); and tribunal (courts) that reasonably accessible and fairly structured to hear and determine legal claims. Contemporary discussions of the rule of law focus on two major questions: (a) to what extent is conformity to the rule of law is essential to the very idea of a legal system, and (b) what is the connection between the rule of law and the substantive moral value of a legal system?
What is the meaning of ‘constitutionalism’ in the context of Islamic legal political thought? Other terms which may have sometimes been used as equivalents of constitutionalism in Western languages include ‘rule of law’, ‘rechsstaat’, and ‘l’etat de droit’. Some of these terms have natural sounding equivalents in Arabic, the Islamic language: such as dawlat al-qanun will do very nicely for rechsstaat, and the same can be said for hukm al-qanun for ‘rule of law’. Constitutionalism, however, has no readily identifiable Arabic equivalent, but some come up with the term dusturiyyah, so a constitution is translated as al-qanun al-dusturi.
In Western political thought, terms such as ‘constitutionalism’, ‘rule of law’, and the like have come to express meaning which are richer, and more complex, than what is suggested by etymology, or mere juxtaposition of words. The is usually the mark of terms and concepts that have come to play a pivotal role in the theory of the subject-matter in which the term is used. Such terms invariably carry a greater semantic burden that is suggested by their linguistic derivation or the sum of their parts. The same can be said for the terms and concepts born and elaborated within the tradition of Islamic thought. However, this does not mean that the other civilization does not known entirely issues and ideals fall under the concept. Themes which are found in constitutionalism, such as ruling in accordance with the law, the right that people have to oppose unjust rule, liberties with rulers are not permitted to infringe on, and other similar concerns, have existed in Muslim legal-political thought since the earliest times.
Among concepts that play an important role in recent Western political thought and practices, the ideas of ‘constitutionalism’ does not appear to be essentially contested outside European areas. However, some questions continue to be raised about the consequence of constitutionalism for the functioning of democracy, and the extent to which constitutionalism may be thought to impose restrictions on liberty – the liberty of ordinary citizens, government officials, or even the liberty of future generations. But all of this takes place within the framework of a broad agreement on what constitutionalism basically means.
Two ideas are basic to constitutionalism: (a) the limitation of the State versus society in the form of respect for a set of human rights covering not only civic rights but also political and economic rights, (b) the implementation of separation of powers within the state. These two ideas are closely related. According to Lane (1996:25), the first functions as ‘external principle’ which restricts state power with respect to civil society, while the second functions as an ‘internal principle’ which ensures that no body (organ or person) in the state completely prevails over the others.
Let us begin with the questions of rights, for this is easier that the question of the different branches of government, and the relations which may be hold between them. What rights individuals have in Islam? How does the Islamic scheme of individual (and human) rights compare to other schemes? It is commonplace to say that Islam is not one thing to all who profess to believe in it, or practice it. This is true in many respects, but the subject of rights stands out as an area in which drastically different interpretations of the faith are possible. In this sense, we may look at the writings of Mawdudi, an Islamic thinker of considerable fame and influence, whose al-Khilafah wa al-Muluk (1975) enumerates no fewer than 13 rights which citizens hold against the government. They include the right to life, dignity, privacy, property, due process, equality before the law, freedom of belief, freedom of assembly, and freedom of religious persecution. Many, or most, of the rights which he elaborates are supported by reference to fairly unequivocal Qur’anic verses.
The same spirit seems to be operative also in many of the Islamic human rights scheme that have been made public. The documents in question tend to be guarded, on account of their being potentially addressed to an international audience. Still, many inconsistencies, obfuscations, and equivocations are to be found in several places, especially in the areas of freedom of thought, treatment of non-Muslims, and women’s rights. For example, whereas the English version of article XX (a) of the Universal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR)says that the husband owes his wife means of support ‘in the event of divorce’, the Arabic version of the same article uses the phrase ‘if he divorces her’. What the English version passes over in silence is, of course, the troublesome problem of the unconditional right to divorce, which most classical fiqh opinions have given to men. In addition, the Arabic version invokes the notion of qiwamah (authority which men have over women), something which the English version omits altogether.
In short, we can say that the shari’ah and fiqh offer a rich and varied field in which human rights can be grounded. Depending on how shari’ah is interpreted, and fiqh is extracted, there may be limitations, serious omissions, and shortcomings which our modern ethical sensibilities cannot accept. But one probably should not judge Islamic shari’ah or fiqh (or other religious traditions, for that matter) harshly. After all, we could not have been able to ascertain the vision of one humanity, whose members are equal in worth and dignity, endowed with inalienable human rights, regardless of gender, race, or social positions, had we not ‘stood on the shoulders’ prophets, who were the first the announce the equality of all humans in sight of God, the Just Creator.
C. CONSTITUTIONAL CHANGE: INDONESIAN CASE
One thing is important to express before dealing with the issue of Islam and constitutionalism in Indonesia, namely the fact that there is no mention of any opposition to constitutionalism both when the preparatory commission for independence was doing its tasks which included the designing of a constitution, and when Indonesian independence was proclaimed in August 17, 1945 and the draft constitution with certain changes was promulgated a day after.
The disagreement seems to begin on the issue of the ideological basis of this new nation-state which subsequently the commission into two general camps, which one strove for an ‘Islamic’ state, and the other struggled for a secular state. A compromise was later reached by the special commission specially set up to settle the issue. The compromise was recorded and signed by all the members of the commission on June 22, 1945. In it, there is a statement that the state is based on ‘belief in God, with an obligation to observe the Islamic shari’ah by its adherents’. When this became an official preamble of the constitution of the new state of Indonesia, the second half of the sentence (or what is known in Indonesia as ‘the seven words’) were erased.
The omission of ‘shari’ah’ from the Constitution does not stop some segments of Indonesian Muslims to fight for it. When Soekarno changed the structure of the state into more a totalitarian government, in July 5, 1959, by returning to the first Constitution, he did mention the Jakarta Charter. It rekindled certain hope among its exponents, however their high hope was soon vanished when Soekarno did not care less about implementing the Constitution, let alone the Jakarta Charter.
After the fall of Soekarno and when Soeharto just started to found a new constitutional government, some Muslim politicians in the parliament pursued their goals of legalizing the content of Jakarta Charter, but failed. On June 29, 1968, celebrations commemorating the Jakarta Charter were held in Jakarta, which emphasized, among others, the position of the Charter to the 1945 Constitution. Not only their demand was turned down, but also many Muslim leaders have to lose their political positions.
The political climat3e changed quite dramatically in mid eighties. Soeharto found himself not in a quite stable position, which subsequently forced him to approach the Muslims. He appeased the Muslims by enacting ‘Islamic’ laws, strengthening the existing ‘Islamic’ institutions, especially the Islamic ‘agama’ courts of justice, legalizing new Islamic institutions, such as Islamic banks and insurance. Regardless the debates on who’s coopting whom, this new political climate gave a new era for Islamic activism in this biggest Muslim populous country in the world today.
The collapse of the New Order regime in May 1998 has ushered in some new hopes for the implementation of Islamic values and the application of shari’ah in Indonesia. Numerous Muslim groups and Indonesian figures consider this as a golden opportunity to struggle for a fuller incorporation of Islamic values into Indonesian life. These aspirations are actually gaining in significance because, with the political liberalization in the wake of Soeharto’s fall, each individual or group is free to express their goals and interest. In addition, the political shift from an authoritarian to amore democratic order, including the possibility of amending the Constitution, has given the Indonesian people a fresh beginning for rebuilding the nation and consolidating their existence.
However, as time passes by, it turns out that the so-called political Islam was not a favorite choice of Indonesian people at large. The 1999 general election, so far considered as the most democratic election in Indonesia, does not place the ‘Islamic political parties’ in leading positions. In contrast, it was the PDIP, a nationalist secular party, that got the highest number of votes. During the process of constitutional changes, which have taken place four times in annual meetings of the Assembly, the demands of the some ‘Islamic’ parties to revive the content of Jakarta Charter, was failed. However, the promulgation of ‘Islamic’ origin legal concepts and values have been increasing lately. This points out the reality that one should be aware and careful not to be confused between ‘law-in-books’ and ‘law-in-action’. Indonesian case may be not that far from what happened in new states in Central Asia. As has been pointed out by the study on the constitutional ideals and practices in Central Asia and Uzbekistan, Rebecca Bichel (1997) concluded that the cloning of the U. S. Constitution in Uzbekistan rather than fostering indigenous democracy, chose to emphasize the formation of democratic institutions at the expense of democratic ideals, has resulted in creating constitutional fiction and legal disguise to hide on-going abuses of human rights and authoritarian regime.
Nur A. Fadhil Lubis
Professor of Islamic Law
State Institute of Islamic Studies
North Sumatra – Medan
Indonesia
BIBLIOGRAPHY
Ainnurrafiq (ed). Mazhab Jogya: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002).
Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2001).
Audi, Robert (ed). The Cambridge Dictionary of Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1995).
Bichel, Rebecca H. ‘Deconstructing Constitutionalism: The Case of Central Asia and Uzbekistan’ (Original Publications, ICARP).
Chand, Hari. Modern Jurisprudence (Kuala Lumpur: International law Book Services, 1994).
Lane, Jan-Erik. Constitutions and Political Theory (Machester: Manchester University Press, 1996).
Lubis, Nur A. Fadhil. A History of Islamic Law in Indonesia (Medan: IAIN Press, 2000).
Salim, Arskal and Azra, Azyumardi (eds). Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003).
Wahid, Marzuki & Rumadi (eds). Fiqh Mazhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001).
Langganan:
Postingan (Atom)