M. JAMIL & SYAFRUDDIN SYAMwww.waspada.co.id
Lahir dari “tangan” orang-orang yang tulus di awal pendiriannya, Faklutas Syariah telah tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Secara institusional, fakultas ini telah mengembangkan proyek peradaban dalam kancah keilmuan dengan membuka program studi yang menyahuti dan merespon kebutuhan pasar.
Saat ini saja telah dikembangkan dua sentral keilmuan yaitu hokum dan ekonomi yang diintegrasikan dengan ilmu-ilmu syariah. Beberapa jurusan yang telah dibuka adalah : Ahwal al-Syakhshiyyah (PerdataIslam), Perbandingan Hukum dan Mazhab, Jinayah Siyasah (Hukum Pidana dan Politik), Mu’amalah, Ekonomi Islam dengan tiga Program studi yaitu Perbankan Syari’ah, Akuntansi Syari’ah, dan Manajemen Syari’ah, serta satu Program D III Manajemen Perbankan dan Keuangan Syari’ah.
Di samping perkembangan secara organisatoris, Fakultas Syari’ah juga telah melahirkan banyak alumni yang berkiprah dalam banyak bidang seperti: ilmuwan, birokrat, pejabat, politisi, praktisi, konsultan, penulis, dai, tokoh dan sebagainya, baik dalam skala lokal maupun nasional.
Di tingkat kemahasiswaan sendiri, baru-baru ini mahasiswi Fakultas Syariah berhasil sebagai pemenang juara I pada lomba Ijtihad Kontemporer se Sumatera di Bukit Tinggi. Kesemua ini dipahami sebagai sebuah proses pencapaian menuju perwujudan Fakultas Syari’ah sebagai pusat keunggulan (center of excellence) bagi pengkajian, pengembangan dan penerapan ilmu-ilmu syari’ah untuk keadilan, kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.
Satu lembaga beban ganda
Fakultas Syariah sebagai jawaban atas tuntutan modernisasi sistem pendidikan hokum Islam merupakan bagian dari kesatuan lembaga pendidikan agama Islam yang telah lama dicita-citakan. Pada hakikatnya dengan didirikannya Fakultas Syariah merupakan upaya perwujudan salah satu proses mata rantai dari yang dicitacitakan syariah itu sendiri, yaitu kemaslahatan kehidupan baik di dunia maupun di akhirat yang dalam kapasitas spesialisasinya bertugas menciptakan para sarjana yang dengan modernisasi keahliannya dalam bidang hukum syariah akan mampu menerjemahkan serta menerapkan prinsip-prinsip agama (syariah) ke dalam format konkret yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing zaman dan tempatnya.
Dengan kata lain, para sarjana syariah diharapkan akan berfungsi sebagai “pengawal” perubahan atau dinamika berbagai aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, hukum, politik, sosial, budaya, teknologi, dan sebagainya menurut berbagai kiprah praksisnya. Mulai dari menjadi hakim, advokat, konsultan, dosen, aktivis lembaga swadaya masyarakat, politisi, dai, entrepreneur, hingga dalam bentuk peran tradisional sekalipun, atau berbagai bentuk pekerjaan dan profesi lainnya.
Namun hingga saat ini fakultas syariah dapat dikatakan belum mampu mencapai target maksimalnya secara mapan. Ini disebabkan tingginya dinamika perkembangan berbagai aspek kehidupan masyarakat baik yang berskala lokal maupun global yang kesemuanya itu pada gilirannya berimplikasi terhadap perkembangan fiqh sebagaimana yang menjadi “core study” nya fakultas syari’ah.
Sehingga amat wajar jika fakultas syari’ah cukup “kerepotan” merespons perkembangan tersebut mengingat peran konkret yang ditunggu pun bukanlagi “proyek” jangkapanjangmelainkan telah mendesak. Menarik untuk mencermati apa yang di sampaikan Prof.Satjipto Rahardjo dalam bukunya Hukum dan Masyarakat , beliau menjelaskan bahwa pembangunan itu bersifat imperative terhadap hukum, dalam arti bahwa baik secara langsung ataupun tidak, hukum diminta peran dan bantuannya untuk mengantarkan masyaraat kearah pembangunan serta menampung dan mengatasi segala bentuk akibat yang ditimbulkan dari pembangunan tersebut.
Jadi dalam hal ini baik para sarjana hukum maupun sarjana syari’ah kurang lebih mengemban tugas yang sama. Namun jika dibandingkan dengan tanggungjawab (berdasarkan kompetensinya) maka sarjana syari’ah memikul tanggung jawab yang cenderung lebih berat.
Tanggung jawab “two in one” pada tubuh fakultas syari’ah dapat dipahami mengingat calon sarjana syari’ah tidak hanya harus menguasai prinsip-prinsip dasar syari’ah saja melainkan juga harus mampu mentransfer ke dalam formulasi fiqh yang sesuai dengan berbagai aspek de facto dan de jure dari realitas yang berjalan di Indonesia.
Beban akademik bagi sarjana baik dalam ilmu-ilmu hukum dan ilmu-ilmu ekonomi konvensional cenderung lebih dititikberatkan dalam masalah de facto saja karena secara de jure –nya tidak begitu bermasalah karena yang berlaku di Indonesia ini secara umum adalah aturan konvensioanl itu sendiri, paling-paling pada aspek dan bagian tertentu saja yang memberlakukan dan mengadovsi sistem syariah.
Namun disisi lain, bagi sarjana syariah setelah mengkaji realitas sosial kemudian melanjutkan dengan mengkaji realitas hukum yang berlaku itu, baru setelah itu digarap dalam perspektif syariah. Dengan kata lain sarjana syari’ah akan mempunyai peran lebih konkret jika ia juga paham akan kondisi rimbahukum yang sesungguhnya berlaku saat ini yang notabbene hokum Barat (Continental dan Anglo Saxon), dan sebaliknya jika mahasiswa fakultas syari’ah tidak memahami hukum positif maka setidaknya akan cenderung mempersulit untuk mengetahui mana yang sudah sesuai dengan prinsip syariah, mana yang yang masih bertentangan, mana yang masih dinegosiasikan dan mana yang tidak.
Di samping persoalan beban ganda yang harus dipikul (umum dan syariah), para mahasiswa syari’ah juga dibebani dengan kemampuan mengintegrasikan keilmuan yang bersifat kewahyuan dan non kewahyuan. Hingga dengan demikian banyak beban akademik yang harus dipikul, namun di sisi lain tuntutan profesionalitas menunggu di depan mata. Sekadar tambahan sebuah komparasi, beberapa ahli pendidikan hokum menyatakan bahwa adalah satu hal yang mustahil untuk membekali mahasiswa hokum dengan seluruh pengetahuan dan ketrampilan yang membuatnya siap terjun menjalani profesi hukum, baik sebagai dosen, pengacara, apalagi hakim.
Ini terkait antara lain dengan akselerasi proses perubahan materi dan prosedural hukum serta kesenjangan antara law-in-books dengan lawin-action terutama di negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Oleh karenanya fakultas-fakultas hokum terkemuka di dunia lebih mengarahkan pendidikan hukum pada memberikan ketrampilan dan kemampuan dasar bagi mahasiswa untuk membelajarkan diri, hingga ia mampu menumbuh kembangkannya secara mandiri.
Pendidikan akademis menjadi mata kuliah dasar dan hanya didalami oleh mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendekatan ini lebih bertumpu pada penguasaan cara, proses dan metode dari pada produk hukum, hingga praktikum, magang (apprenticeship) dan pendidikan klinis menjadi bagian integral dari pendidikan hukum.
Tarik menarik antara pendidikan akademis dan professional/praktis merupakan gambaran umum bagi pendidikan di fakultas syari’ah saat ini. Karena itu perlu dialog yang panjang dan terus menerus untuk merumuskan materi dan system pendidikan yang seyogianya diterapkan ke depan.
Menyongsong masa depan
Ibaratgerbongyangberatdanpanjang sedang dibawa oleh fakultas syari’ah. Pada pertemuan dekan syari’ah se- Indonesia di Palembang yang diadakan pada tanggal 4-6 Desember 2009 yang lalu berkembang pemikiran yang mengkritisi tentang fenomena belakangan yang terjadi dalam kultur keilmuan syari’ah.
Bahwa akhir-akhir ini semakin memudarnya kemampuan dan geliat dalam merujuk kepada kitabkitab turats(baca:kitabkuning).Fenomena ini terjadi hamper diseluruh fakultas syari’ah se-Indonesia. Lemahnya kemampuan membaca khazanah Islam yang tergolong primer itu akan menggiring tercerabutnya para mahasiwa dari akar keilmuan dasar dari ilmu-ilmu syari’ah itu sendiri.
Karena itupertemuanitumerekomendasikanagar materi bahts al-kutub (membaca kitab) dibebankan sebanyak 4 SKS pada setiap jurusan di Fakultas Syari’ah. Menyahuti berbagai persoalan di atas, maka Fakultas Syari’ah IAIN SU terus melakukan pembenahan, dengan membuat berbagai program kegiatan sepereti membuka “swalayan ilmu”, meningkatkan atmosfir akademik lewat berabagi kegiatan seperti diskusi hampir setiap hari dari para dosen, menyelenggaraan kegiatan kemahasiswaan dalam upaya peningkatan kualitasakademik.
Di sampingitujugaakan diupayakan pembukaan program kelas khusus yang terdiri dari para mahasiswa yang benar-benar terseleksi dengan kualifikasi kemampuan-kemampuan dasar seperti Bahasa Arab dan Inggris dan sebagainya. Di sisilainpembinaanpadaaspekakhlak atau budi pekerti juga menjadi bagian penting. Prilaku, busana dan sebagainya akanterusdiperbaikisecaraterusmenerus. Diharapkan bahwa ke depan akan muncul parailmuwanmuslimyangkompetendan juga berahlak mulia. Semoga di tahun 1431 Hijriyah dan 2010 Miladiyah menjadi masa-masa mengukir prestasi dan keunggulan buat kemaslahatan kita semua di dunia dan di akhirat.Amin.
Penulis adalah Dekan dan Dosen Fakultas Syarian IAIN SU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar