Jumat, 26 November 2010

LARANGAN KHALWAT DENGAN NON MUHRIM Takhrij al-Hadis

Oleh: H. Zaenu Zuhdi, Lc, MHI*

Pada masa modern seperti sekarang ini, adanya interaksi dua gender tidak dapat terelakkan. Baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan, ataupun selainnya. Akan tetapi orang-orang islam sudah banyak yang terkontaminasi oleh budaya luar (negatif), dimana mereka sudah tidak memperhatikan lagi nilai-nilai syariat islam itu sendiri, seperti hubungan pra nikah yang begitu bebas tanpa batas.

Berkaitan dengan hal di atas, kami akan mengangkat sebuah hadis yang berhubungan dengan larangan khalwat antara non muhrim dengan mengadakan penelitian. tujuan pokok dari penelitian hadis ini adalah untuk meneliti kualitas hadis, baik dari segi Sanad maupun dari segi Matan, dan juga untuk mengingat kembali pesan Nabi Saw. Mengetahui kualitas Hadis adalah sesuatu yang sangat penting, sebab hal tersebut berhubungan erat dengan kelayakan hadis untuk dijadikan sebagai hujjah.
Dalam makalah ini kami telah memulai mengadakan penelitian berdasarkan teks hadis yang berbunyi:



“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimnya”.

Dari teks tersebut kami telah menelitinya dengan menggunakan bantuan dari kitab Mu’jam al-Mufahras Li al-Fadz al-Hadis . Kata kunci yang dipakai adalah lafadz . Dalam penelitian ini, kami dapati dalam Shahih Bukhari pada “Kitab al-Nikah” no. hadis: 4904, Shahih Muslim pada “Kitab al-Hajji” no. hadis: 424, dan Sunan Tirmidzi pada “Kitab al-Fitan” no. hadis: 2165.

Penulis akan meneliti hadis-hadis tersebut dengan sistematika pembahasan: Pertama, eksplorasi data hadis, Kedua, kritik sanad, dan ketiga, kritik matan.

A-Teks Hadis
1. Shahih Bukhari dalam Syarah al-Karmani, jilid 9, hal.166, no. hadis 4904:



Nabi Saw bersabda:“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimnya”, lantas ada seorang laki-laki berdiri seraya berkata: Ya Rasulallah, istriku keluar menunaikan ibadah haji, sedangkan saya terkena kuwajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: “kembalilah! Dan tunaikan haji bersama istrimu”,

2. Shahih Muslim dalam Syarah al-Sanusi, jilid 4, hal. 435, no. hadis 424:



Diriwayatkan oleh Abu Ma’bad, ia berkata: saya pernah mendengar Ibn Abbas berkata: Saya pernah mendengar Nabi Saw berpidato: “janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimya. Tiba-tiba seorang laki-laki bangkit berdiri dan berkata: Ya Rasulallah, sesungguhnya istriku bepergian untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kuwajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: “Berangkatlah dan tunaikanlah haji bersama istrimu”.


3. Sunan Tirmidzi, jilid 4, hal 404 no. hadis 2165:



Diriwayatkan oleh Ibn Umar, ia berkata: Umar berpidato kepada kami di al-Jabiyah dan ia berkata: Wahai manusia sekalian, sesungguhnya saya berdiri di tengah-tengah kamu seperti berdirinya Rasulallah Saw di tengah-tengah kami, lalu Beliau bersabda: Saya berwasiat kepadamu agar mengikuti jejak para sahabatku kemudian orang-orang mengiringi mereka, kemudian orang-orang mengiringi mereka, kemudian dusta tersebar sehingga seseorang bersumpah sedang ia tidak diminta sumpah dan seseorang menjadi saksi sedangkan ia tidak diminta menjadi saksi. Ingatlah, janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita melainkan yang ketiganya adalah syaitan. Tetaplah bersatu dan jauhilah perpecahan. Karena sesungguhnya syaitan beserta dua orang itu lebih jauh. Barang siapa menghendaki tempat di surga maka hendaklah ia selalu bersatu. Barang siapa yang kebaikannya dapat menyenangkannya dan kejelekannya dapat menyedihkannya maka ia adalah seorang mukmin.

B-Kritik Sanad Hadis
Di bawah ini skema sanad dari tiga hadis di atas:
Rasulallah
10 H
Ibn Abbas
70 H
Ibn Ma’bad
104 H
Amru bin Dinar
126 H
Sufyan bin Uyainah
198 H
Ibn Abi Syaibah Zuhair bin Harb Ali bin Abdullah
235 H 234 H 234 H
Imam Muslim Imam Bukhari
261 H 265 H

Rasulallah
10 H
Umar bin Khatta
23 H
Ibn Umar
73 H
Abdullah bin Dinar
127 H
Muhammad bin Suqah

Nadhar bin Ismail
182 H
Ahmad bin Mani’
244 H
Imam Tirmidzi
279 H
Sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim adalah sebagai berikut:
1- Ibn Abbas
a. Nama lengkapnya: Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib al Hashimi . Wafat: 70 H
b. Guru-gurunya antara lain: Nabi Saw, Abbas bin Abd Muthalib, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Afan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf.
c. Murid-muridnya antara lain: Abu Ma’bad, Ali dan muhammad bin Abdullah bin Abbas, Abu Imamah bin Sahal, Sa’ad bin Musayyab, Mujahid, Ata’.
d. Derajatnya: tsiqah.

2-Abu Ma’bad
a. Nama lengkapnya: Nafidz Abu Ma’bad. Wafat: 104 H
b. Gurunya: Ibn Abbas
c. Murid muridnya: Amru bin Dinar, Yahya bin Abdullah, Abu Zubair, Sulaiman al-Ahwal, Qasim bin Abi Bazah.
d. Derajatnya: Menurut Ahmad bin Hambal, ibn Ma’in dan Abu Zar’ah: Tsiqah. Ibn Hibban: Tsiqah.

3- Amru bin Dinar
a. Nama lengkapnya: Amru bin Dinar al-Maki Abu Muhammad. Wafat: 126 H.
b. Guru-gurunya antara lain: Ibn Abbas, Abu Ma’bad, Abu Hurairah, Ibn Zubair, Jabir bin Abdullah, Ibn Amru ibn Ash
c. Murid-muridnya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Qatadah, Ayub, Ibn Juraih, Ja’far Shadiq, Malik, Daud Abdurrahman, Ibn Qasim.
d. Derajatnya: Menurut Imam Ahmad, Ibn al-Madani: Tsiqah. Menurut Abdiurrahman bin Hakim: Tsiqah.

4- Sufyan bin Uyainah
a. Nama lengkapnya: Sufyan bin Uyainah bin Ali Imran abu Muhammad al-Kufi. Wafat: 198 H
b Guru-gurunya antara lain: Amru bin Dinar, Abdul Malik bin Umair, Abu Ishaq al-Sabi’I, Aswad bin Qais, Ishaq bin Abdullah.
c. Murid muridnya antara lain: Ibn Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, Ibn Juraij, al-A’masyi, Muhammad bin Idris .
d. Derajatnya: menurut al Madani: Tsiqah. Al ‘Ajli Kufi: Tsiqah Tsubut.

5- Ibn Abi Syaibah
a.Nama lengkapnya: Abu Bakar bin Ahmad bin Abi Syaibah Ibrahim bin usman. Wafat; 235 H.
b. Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Ibn Mubarak, Abu bakar bin Abbas, Jarir bin Abd Hamid.
c. Murid- muridnya antara lain: Imam Bukhari, Imam Muslim, Dawud, Ibn Majah.
d. Derajatnya: Menurut al-‘Ajli: Tsiqah. Menurut Abu Hatim dan Ibn Kharazh: Tsiqah

6- Zuhair bin Harb
a.Nama lengkapnya: Zuhair bin Harb bin Syaddad al-Harsy abu Khasyamah. Wafat: 234 H.
b.Guru-gurunya antara lain:, Sufyan bin Uyainah, Hafas bin Ghiyas, Humaid bin Abd Rahman, Jarir bin Abdul Hamin.
c. Murid-muridnya antara lain: Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah.
d.Derajatnya: Menurut Abu Hatim: Shaduq. Ali bin Junaid: Dapat diterima. Ibn Main: Tsiqah.

7- Imam Muslim
a.Nama lengkapnya: Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi Abul Husain an-Naisaburi. Wafat: 261 H
b.Guru-gurunya antara lain: Zuhair bin Harb, Ibn Abi Syaibah, Ahmad bin Yunus, Ismail bin Uwais, Daud bin Amru.
c. Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin salamah, Ibrahim bin Abu Thalib, Abu Amru al-Kharaf.
Derajatnya: Menurut Abi Hitam: Tsiqah, al-Jarudi berkata: Ia sangat banyak mengetahui hadis. Ibn Qasim: Tsiqah.

Sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Bukhari adalah -seperti yang telah disebutkan di atas selain Ibn Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb- sebagai berikut:
1- Ali bin abdullah
a. Nama lengkapnya: Ali bin Abdullah bin Ja’far, bin Najih Assa’adi. wafat: 234 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Hamad bin Zaid, Hatim bin Wardan, Khalid bin Haris, Abi Dlamrah.
c.Murid-muridnya antara lain: Imam Bukhari, Abu Dawud, Tirmizi, Nasai dan Ibn Majah.
d.Derajatnya: Abu Hatim berkata: Ali adalah orang yang sangat mengerti hadis. Ibn Main berkata: Ia banyak sekali meriwayatkan hadis. Derajatnya Tsiqah.

2-Imam Bukhari
a.Nama lengkapnya: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari. Wafat: 256 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Ali bin Abdullah, Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin Abdullah al-Ansari, Abi ‘Asyim an-Nabil, Abi Mughirah.
c.Murid-muridnya antara lain: Imam Musli, Tirmidzi, Nasai, Tabrani.
d.Derajatnya: Menurut Ahmad al-Mawarzi: Ia banyak mencari hadis, mengetahui dan menghafalnya. Derajatnya Tsiqah.

Adapun sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Tirmidzi adalah sebagai berikut:
1-Umar bin Khattab
a.Nama lengkapnya: Umar bin Khatab bin Nufail bin Abdul Uza bin Rayah bin Ibn Abdillah bin Qirat bin Kaab al-Quraisyi Amirul Mukminin.
b.Guru-gurunya: Nabi Saw, Abu Bakar, Ubay bin Ka’ab.
c.Murid-muridnya antara lain: Abdullah bin Umar, ‘Ashim, Hafshah, Usman, Ali, Said bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf.
d.Derajatnya: Nabi Saw bersabda: Telah ada umat sebelum kalian para pembaharu, kalau sekiranya pada umat sekarang ada pembaharu, maka Umar bin Khatablah orangnya.

2-Ibn Umar
a.Nama lengkapnya: Abdullah bin Umar bin Khatab bin Nufail al-Quraisyi. Wafat: 73 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Nabi Saw, Umar bin Khatab, Zaid, Hafshah, Abu Bakar, Usman bin Affan, Ali.
c.Murid-muridnya antara lain: Abdullah bin Dinar, Hamzah bin Abdullah, ubaidilah, Abu Bakar bin Ubaidillah, Muhammad bin Zaid, Said Musayyab.
d. Derajatnya: Nabi Saw bersabda: Abdullah adalah seorang laki-laki yang shalih. Menurut al Khatib: Tsiqah. Ibn hiban: Tsiqah.

3-Abdullah bin Dinar.
a.Nama lengkapnya: Abdullah bin Dinar Abdurrahman al-Madani. Wafat: 127 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Ibn Umar, Anas, Sulaiman bin Yasar, Abu Shalih al-Samman.
c.Murid-muridnya antara lain: Muhamad bin Suqah, Abdurrahman, Malik, Sulaiman bin Bilal, Abdul Aziz bin al-Majsum.
d.Derajatnya: Menurut Ibn Hiban: Tsiqah. Abu Hatim: Tsiqah. Nasai: Tsiqah. Al-Laits: Shaduq.

4- Muhammad bin Suqah
a.Nama lengkapnya: Muhammad bin Suqah al-Ghanawi Abu Bakar al-Kufi.: (tidak tercantum tahun wafatnya)
b.Guru-gurunya antara lain: Abdullah bin Dinar, said bin Jubair, Abu Shalih al-Saman, Nafi’ bin Jubair bin Muth’am, Ibrahim Nakha’I, Anas.
c.Murid-muridnya antara lain: Nadlru bin Ismail, Malik bin Mughawal, al-Tsauri, Ibn Mubarak, Abu Muawiyah, Abdurrahman bin Muhamad al-Muharibi.
d.Derajatnya: Menurut Abu Hatim: Shalih al-Hadis. Nasai: Tsiqah. Ibn Hiban: Tsiqah.

5-Nadlru bin Ismail
a.Nama lengkapnya: Nadlru bin Ismail bin Hazim Abul Mughirah al-Kufi. Wafat: 182 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Muhammad bin Suqah, Ismail bin Abi Khalid, al-A’masyi, Mas’ar, Husain bin Ubaidillah.
c.Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin Mani’, Ahmad bin Hambal, Ubaidillah bin muhamad an-Nufaili, Zakariya bin Uday, Abu Ubaidil Qasim bin Salam.
d.Derajatnya: Menurut Ahmad bin Hambal: Hafalannya tidak kuat. Ibn Main berkata: ia tidak masalah. Al-Ajli: Tsiqah. Ibn Syuwaibah: ia Shaduq Dhaif al-hadis. Nasai: Tidak kuat hafalannya. Dar al-Qurthni: ia Shalih.

6-Ahmad bin Mani’
a.Nama lengkapnya: Ahmad bin Mani’ bin Abdurrahman Abu Ja’far al-Hafidz. Wafat: 244 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Nadlru bin Ismail, Ibn Ainah, Ibn ‘Ilyah, Hisyam, Ibn Abi Hazim, Warwan bin Syuja’.
c.Murid-muridnya antara lain: Imam Bukhari, Tirmidzi, Ishaq bin Ibrahim, Ibn Shaid, Ibn Huzaimah.
d.Derajatnya: Menurut Nasai: Tsiqah. Ibn Hiban: Tsiqah. Ibn Qayim: Tsiqah.

7- Imam Tirmidzi
a.Nama lengkapnya: Muhamad bin Isa bin Surah bin Musa bin Dhahaq Abu Isa at-Tirmidzi. Wafat: 279 H.
b.Guru-gurunya antara lain: Ahmad bin Mani’, Abu Bakar bin Nafi’, Yahya bin Musa.
c.Murid-muridnya antara lain: Abu Hamid Ahmad bin Abdullah, ibn Dawud, Hisyam bin Kulaib al-Syami, Muhamad bin MahbubAbul Abbas, Ahmad bin Yusuf.
d.Derajatnya: Menurut Ibn Hiban: Tsiqah, al-Khalili: Tsiqah, Abul Qasim: Tsiqah.

Dari keterangan di atas dapat dijumpai bahwa seluruh Rawi yang meriwayatkan hadis Shahih Bukhari dan Muslim adalah Tsiqah, dan dapat diambil kesimpulan bahwa sanad hadis di atas adalah Shahih. Adapun sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Tirmidzi ada seorang yang tidak kuat hafalannya menurut sebagaian Ulama, nama Rawi itu adalah Nadlru bin Ismail.

C-Kritik Matan Hadis
Di dalam teks-teks di atas terkandung larangan berkhalwat (menyendiri) dengan laki-laki ataupun perempuan lain yang bukan mahram, karena dikhawatirkan setan akan menjerumuskan keduanya kedalam fitnah. Karena tidak sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan melainkan setan sebagai orang ketiga. Akan tetapi, bila wanita yang bersangkutan ditemani oleh seorag mahramnya, baik mahram karena nasab ataupun karena lainnya, maka bukan khalwat lagi namanya bila ia berada diantara lelaki lain. Dan termasuk ke dalam pengertian khalwat, melakukan suatu perjalanan dengan seorang wanita, tanpa memandang apakah perjalanan itu berjarak dekat ataupun berjarak jauh. Untuk itu seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali dengan mahramnya karena menimbang makna hadis di atas, yaitu dikhawatirkan akan terjadi fitnah.
Nabi Saw memerintahkan kepada suami untuk berangkat bersama istrinya jika istrinya akan menunaikan ibadah haji. Perintah ini hanya sebagai anjuran belaka, buksn wajib; dan si suami tidak boleh melarang istrinya untuk menunaikan ibadah haji “fardhu”, karena hal tersebut merupakan ibadah yang telah di gariskan oleh Allah. Sedangkan menurut kaidah, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk berbuat maksiat terhadap khaliq. Kedudukan mahram dalam keadaan tertentu dapat diganti dengan orang lain bersama rombongan yang dapat dipercaya.
Berdasarkan kandingan dari Hadis di atas, penulis tidak menemukan kecelaan ataupun kejanggalan. Oleh karena itu penulis dapat mengatakan bahwa hadis riwayat Bukhari dan muslim adalah haids Shahih sanad dan matannya, sementara hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi adalah hadis hasan shahih. Kami katakan “hadis hasan”, karena dalam perawi sanadnya ada yang lemah ingatan, disamping juga terangkat oleh hadis yang lain.

Fiqih Hadis:
1-Hukunya haram berkhalwat (menyendir) dengan wanita lain yang bukan muhrimnya.
2-Wanita dilarang melakukan perjalanan tanpa ditemani mahramnya. Madzhab Hambali dan Syafi’i mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh bepergian untuk tujuan apapun, sekalipun untuk melakukan ibadah haji bila tidak ditemani oleh suami atau mahramnya.
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa wanita tidak boleh melakukan perjalanan selama tiga hari atau lebih kecuali bila ditemani oleh mahramnya. Namun ia diperbolehkan melakukan perjalanan yang kurang dari tiga hari tanpa mahram atau tanpa suami, dengan syarat, keadaannya aman dari fitnah.
Madzhab Maliki mengatakan bahwa wanita tidak boleh melakukan bepergian selama sehari semalam kecuali bila ditemani oleh mahramnya ataupun bersama jamaah yang dapat dipercaya, baik terdiri atas kaum laki-laki ataupun kaum perempuan.
3-Ibadah haji wanita sah, sekalipun ia berangkat tanpa mahram; tetapi ia dianggap telah melakukan maksiat karena berangkat sendirian ataun tanpa izin suami.



Daftar Pustaka
A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fadz al-Hadis al-Nabawi, Leiden: ES. Brill, 1943.

al-Karmani, Syarh Shahih al-Bukhari, vol. 9. Bairut: Dar al-Fikr, t.t..

Al-Sanusi, Syarh Shahih Muslim, vol. 4. Bairut: Dar al-Kutub, 1994.

Atturmudzi, Sunan al-Turmudzi. Bairut: Dar al-Fikr, 1988.

al-Asqalani, Tadzib al-Tdzhib, vol. 5 (Kairo: Dar al-Kitab, 1993), 276

Abbas al-Maliki, Alawi. Ibanat al-Ahkam Syarh Bulugh al-Maram. Bandung: Sinar baru, 1994.

Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillathu. Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2002.



*Penulis a

al-Karmani, Syarh Shahih al-Bukhari, vol. 9. Bairut: Dar al-Fikr, t.t..

Al-Sanusi, Syarh Shahih Muslim, vol. 4. Bairut: Dar al-Kutub, 1994.

Atturmudzi, Sunan al-Turmudzi. Bairut: Dar al-Fikr, 1988.

al-Asqalani, Tadzib al-Tdzhib, vol. 5 (Kairo: Dar al-Kitab, 1993), 276

Abbas al-Maliki, Alawi. Ibanat al-Ahkam Syarh Bulugh al-Maram. Bandung: Sinar baru, 1994.

Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillathu. Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2002.




Ahmadinejad: "Ingatlah Anda Tidak Lebih dari Pelayan Kecil"

Televisi Fox Amerika pernah bertanya pada Presiden Iran Ahmadinejad : ”Saat anda bercermin di pagi hari, apa yang anda katakan pada diri anda?” Ahmadinejad menjawab, ”Saya melihat seseorang di cermin dan berkata padanya , ”Ingatlah, anda tidak lebih dari seorang pelayan kecil. Di depanmu hari ini ada tanggungjawab besar dan itu adalah melayani bangsa Iran”.

Itulah kalimat pembuka penyiar TV memperkenalkan seorang Ahmadinejad. Ahmadinejad, Presiden Iran yang mencengangkan banyak orang ketika menyumbangkan karpet Istana Presiden (berkualitas tinggi tentunya) ke sebuah masjid di Teheran. Ia lalu mengganti karpet istana dengan karpet murah.

Mantan walikota Teheran itu menutup ruangan kedatangan tamu VIP karena dinilai terlalu besar. Ia lalu meminta sekretariat istana mengganti dengan ruangan sederhana dan mengisi dengan kursi kayu. Sekali lagi fakta yang mengesankan…!

Dalam beberapa kesempatan Presiden juga bergabung dengan petugas kebersihan kota untuk membersihkan jalan di sekitar rumah dan istana Presiden.

Dibawah kepemimpinan Ahmadinejad, setiap menteri yang diangkat selalu menandatangani perjanjian dengan banyak ketentuan, terutama yang ditekankan adalah agar setiap menteri tetap hidup sederhana . Seluruh rekening pribadi dan keluarganya akan diawasi dan kelak jika masa tugasa berakhir sang menteri harus menyerahkan jabatannya dengan kewibawaan . Caranya adalah agar dirinya dan keluarganya tidak memanfaatkan keuntungan sepeser pun dari jabatannya.

Ahmadijed juga mengumumkan bahwa kemewahan terbesar dirinya adalah mobil Peogeot 504 buatan tahun 1977dan sebuah rumah kecil warisan ayahnya 40 tahun lalu yang terletak di salah satu daerah miskin di Teheran. Rekening tabungannya nol dan penghasilan yang diterima hanyalah gaji sebagai dosen sebesar kurang dari Rp 2.500.000,-. (U$ 250)

Asal tahu saja Presiden tetap tinggal di rumahnya. Satu-satunya rumah miliknya, salah satu presiden Negara terpenting di dunia secara strategi, ekonomi, politik dan tentunya minyak dan pertahanannya.

Ahmadinejad bahkan tidak mengambil gajinya sebagai presiden (yang merupakan haknya). Alasannya seluruh kekayaan adalah milik Negara dan ia hanya bertugas menjaganya.

Hal lain yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yang selalu dibawa setiap hari. Isinya adalah bekal sarapan, beberapa potong roti sandwinch dengan minyak zaitun dan keju . Ahmadinejad menyantap dengan nikmat makanan buatan isteri tersebut Di sisi lain ia menghentikan semua makanan istimewa yang biasa disediakan untuk presiden.

Ahmadinejad juga mengalihkan pesawat kepresidenan menjadi pesawat angkutan barang (cargo) dengan alasan untuk menghemat pengeluaran Negara. Presien juga memilih terbang dengan pesawat biasa di kelas ekonomi.

Ahmadinejad selalu melakukan rapat dengan para menteri kabinetnya untuk memantau semua aktivitas. Semua menteri bisa masuk ke ruangannya tanpa harus izin.Ia juga menghapus semua acara seremonial seperti red carpet, foto-foto dan iklan pribadi ketika jika mengunjungi Negara lain.

Jikalau harus menginap di hotel ia selalu memastikan untuk tidak tidur dengan ruangan dan tempat tidur mewah. Alasannya ia tidak tidur di tempat tidur tetapi tidur di lantai beralaskan matras sederhana dan sepotong selimut.

Apakah semua tindakan dan kelakuan presiden menimbulkan rasa tidak hormat?
 Coba bandingkan dengan foto-foto berikut. Ahmadinejad tidur di ruang tamu selepas dijaga pengawal kepresidenan seharian kemanapun ia pergi. Foto ini dibuat oleh adiknya dan diterbitkan harian Wifaq yang sehari kemudian menyebar di majalah dan Koran seluruh dunia terutama Amerika Serikat.

Bagaimana dengan Presiden dan pejabat-pejabat serta anggota MPR/DPR kita?

Tuhan mencintai orang yang hidup sederhana!

Sumber:
http://qitori.wordpress.com/2007/07/26/ahmadinejad-di-cermin-ingatlah-anda-tidak-lebih-dari-pelayan-kecil/
06 Februari 2009.




Rabu, 24 November 2010

Kuasai Kecerdasan Emosi Anda!

Berikut beberapa tips bagaimana cara
mengasah kecerdasan emosi:

1. Selalu hidup dengan keberanian.

    Latihan dan berani mencoba hal-hal baru
    akan memberikan beragam pengalaman dan
    membuka pikiran dengan berbagai
    kemungkinan lain dalam hidup.

2. Selalu bertanggung jawab dalam
    segala hal.


    Ini akan menjadi jalan untuk bisa
    mendapatkan kepercayaan orang lain dan
    mengendalikan kita untuk tidak mudah
    menyerah. "being accountable is being
    dependable"


3. Berani keluar dari zona nyaman.

    Mencoba keluar dari zona nyaman akan
    membuat kita bisa mengeksplorasi banyak
    hal.

4. Mengenali rasa takut dan mencoba
    untuk menghadapinya.


    Melakukan hal ini akan membangun rasa
    percaya diri dan dapat menjadi jaminan
    bahwa segala sesuatu pasti ada
    solusinya.

5. Bersikap rendah hati.

    Mau mengakui kesalahan dalam hidup
    justru dapat meningkatkan harga diri
    kita.

So, kuasailah kecerdasan emosi Anda!

Karena mengendalikan emosi merupakan
salah satu faktor penting yang bisa
mengendalikan Anda menuju sukses dan
juga menikmati warna-warni kehidupan. :-)

Menyusui Anak (ar-Radha'ah)

Ajaran “penyusuan anak” [ar-radhâ’ah] secara eksplisit dan tegas dikemukakan di dalam Kitab Suci al-Qur’ân dan kemudian mendapatkan penjelasan dari hadits Nabi SAW.Namun sebagaimana umumnya ayat dalam al-Qur’ân, ajaran itu masih membuka ruang interpretasi [tafsir] yang luas. Hampir semua kitab fiqhdari pelbagai madzhab membahas topik ar-radhâ’ah dalam pasal tersendiri di bawah pembahasan bab “nikâh. Namun, pembahasan mereka umumnya berkisar pada dua hal pokok. Pertama, pembahasan tentang teknis penyusuan yang menyebabkan menjadi mahram [haram dinikahi]. Kedua, pembahasan mengenai hubungan upah penyusuan di antara pihak-pihak terkait. Sementara posisi persusuan sebagai hak anak [haqq ar-radhî’] untuk menjamin kesehatan dan cara hidup yang baik, serta perlindungan kesehatan bagi ibu yang menyusui [haqq al-murdhi’ah] belum banyak disinggung, bahkan terkesan “tak dipikirkan” [allâ mufakkira fîh, l’impensé].


Secara etimologis, ar-radhâ’ah atau ar-ridhâ’ah adalah sebuah istilah bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang. Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui itu [ar-radhî’] berupa anak kecil [bayi] atau bukan.[1] Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqhmendefinisikan ar-radhâ’ah sebagai berikut:

“Sampainya [masuknya] air susu manusia [perempuan] ke dalam perut seorang anak [bayi] yang belum berusia dua tahun, 24 bulan.” [2]

Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa disebut ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah [persusuan yang berlandaskan etika Islam]. Yaitu, pertama, adanya air susu[3] manusia [labanu adamiyyatin]. Kedua, air susu itu masuk ke dalam perut seorang bayi [wushûluhu ilâ jawfithiflin]. Dan ketiga, bayi tersebut belum berusia dua tahun [dûna al-hawlayni]. Dengan demikian, rukun ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah ada tiga unsur: pertama, anak yang menyusu [ar-radhî’]; kedua, perempuan yang menyusui [al-murdhi’ah]; dan ketiga, kadar air susu [miqdâr al-laban] yang memenuhi batas minimal. Suatu kasus [qadhiyyah] bisa disebut ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah, dan karenanya mengandung konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus berlaku, apabila tiga unsur ini bisa ditemukan padanya. Apabila salah satu unsur saja tidak ditemukan, maka ar-radhâ’ah dalam kasus itu tidak bisa disebut ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi hukum syara’ tidak berlaku padanya.

Adapun perempuan yang menyusui itu disepakati oleh para ulama [mujma’ ‘alayh] bisa perempuan yang sudah baligh atau juga belum, sudah menopause atau juga belum, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak hamil. Semua air susu mereka bisa menyebabkan ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang disusuinya.[4]

Landasan Hukum

Setidak-tidaknya ada enam buah ayat dalam al-Qur’ân yang membicarakan perihal penyusuan anak [ar-radhâ’ah]. Enam ayat ini terpisah ke dalam lima surat, dengan topik pembicaraan yang berbeda-beda. Namun, enam ayat ini mempunyai keterkaitan [munâsabah] hukum yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam ayat ini, ar-radhâ’ah juga mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut. Baik al-Qur’ân maupun al-Hadits, kedua-duanya sangat berarti bagi kekokohan landasan hukum dan etika “menyusui”.

Enam ayat al-Qur’ân yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, ayat 233 Surat al-Baqarah [2]: “Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’rûf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih [sebelum dua tahun] dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Secara umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk Allah SWT kepada para ibu [wâlidât] agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara sempurna, yakni selama dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua, kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istrinya yang sedang menyusui dengan cara yang ma’rûf. Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak [sebelum dua tahun] asalkan dengan kerelaan dan permusyawaratan suami dan istri. Keempat, adanya kebolehan menyusukan anak kepada perempuan lain [al-murdhi’ah].

Kedua, ayat 23 surat An-Nisâ’ [4]: “Diharamkan atas kamu [mengawini] ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan ....”

Ayat ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak [ar-radhâ’ah] dapat menyebabkan ikatan kemahraman, yakni perempuan yang menyusui [al-murdhi’ah] dan garis keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya [ar-radhî’].

Ketiga, ayat 2 al-Hajj [22]: “[Ingatlah] pada hari [ketika] kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua perempuan yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala perempuan yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.”

Keempat, ayat 7 surat al-Qashash [28]: “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai [Nil]. Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah [pula] bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya [salah seorang] dari para rasul.”

Kelima, ayat 12 surat al-Qashash [28]: “Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui[nya] sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?” Tiga ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang menyusui anaknya dalam sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi Musa. Dijelaskan betapa pentingnya air susu ibu [kandung] untuk anaknya, hingga Nabi Musa kecil dicegah oleh Allah untuk menyusu kepada perempuan lain. Dan dijelaskan pula kedahsyatan goncangan hari kiamat, bahwa semua perempuan yang tengah menyusui anaknya akan lalai tatkala terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut.

Keenam, ayat 6 surat ath-Thalaq [65]: “Tempatkanlah mereka [para istri] di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan [hati] mereka. Dan jika mereka [istri-istri yang sudah ditalak] itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak]mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya.”

Sementara ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan penyusuan anak. Pertama, dalam ayat ini ditekankan adanya jaminan hak upah dari sang suami bagi sang istri muthallaqah [yang sudah ditalak] jika ia menyusukan anak-anaknya, di luar kewajiban nafkah yang memang harus diberikan selama belum habis masa‘iddah. Kedua, adanya kebolehan dan sekaligus hak upah bagi seorang perempuan yang menyusukan anak orang lain, asalkan dimusyawarahkan secara baik dan adil.

Hak Upah Susuan

Jika seorang perempuan menyusui anaknya sendiri, apakah ia berhak menuntut upah atas susuannya itu? Kepada siapakah sang perempuan itu menuntut upahnya? Jawabannya, tentu tergantung dari kondisi sang perempuan itu sendiri dalam hubungannya dengan suami. Wahbah az-Zuhaily dalam konteks ini menjelaskan tiga kondisi sang perempuan ketika menyusui, dan masing-masing terdapat hukumnya, yang semuanya berkaitan dengan kewajiban nafkah.[5]

Kondisi pertama, menurut ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ikatan perkawinan atau di tengah-tengah ‘iddah dari talak raj’iy, maka ia tidak berhak menuntut upah secara spesifik dari susuannya. Karena dalam kondisi ini, sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah kepada sang istri, maka istri tidak boleh menuntut upahujrah[] yang lain meskipun sebagai imbangan menyusui. Kebutuhan menyusui bisa dimasukkan ke dalam jumlah besarnya nafaqah sehari-hari.
           
Akan tetapi, pada kondisi kedua, jika sang perempuan yang menyusui sudah ditalak dan selesai dari ‘iddah, atau dalam ‘iddah wafat, disepakati oleh para ulama bahwa sang perempuan boleh menuntut upah atas susuannya itu, dan ayah dari anak yang disusuinya wajib memberikan upah itu secara adil. Sebab, bagi istri yang sudah ditalak dan habis ‘iddahnya atau dalam ‘iddah wafat dalam ketentuan fiqhsudah tidak ada lagi nafkah yang harus diterimanya dari sang suami. Hal ini didasarkan pada Suratath-Thalâq [65] ayat 6, [… fa`in ardha’na la kum fa â`tûhunna ujûrahunna wa’tamirû baynakum bi ma’rûfin…] [… kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak]mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik… ].

Menurut sebagian ulama Hanafiyah, padakondisi ketiga, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ‘iddah talak bâ`in, maka ia berhak menuntut upah dari susuannya. Ini didasarkan pada kenyataan hukum bahwa status perempuan yang ditalak bâ’in sama dengan perempuan yang tidak memiliki hubungan perkawinan [al-ajnabiyyah]: ia tidak lagi memperoleh hak nafkah. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh ulama Malikiyyah. Alasan mereka, surat ath-Thalâq [65] ayat 6 [fa`in ardha’na la kum fa â`tûhunna ujûrahunna] adalah pernyataan yang tegas tentang tuntutan hak upah atas susuan bagi perempuan yang ditolak bâ`in.

            Dalam ayat yang sama, terutama pada lafadz [“… wa in ta’âsartum fa saturdli’u lahû ukhrâ”] [… dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya], sang ayah juga wajib memberikan upah yang adil kepadanya, apabila mereka memang istirdhâ’ [meminta bantuan orang lain untuk menyusukan anaknya]. Sampai kapan hak upah susuan itu berlaku? Mengenai batasan waktu pemberlakuan hak upah susuan, para ahli hukum Islam bersepakat hanya dua tahun saja dari usia anak. Tidak adanya perbedaan ini karena ketegasan [sharîh al-lafdhi wa al-ma’nâ] surat al-Baqarah [2] ayat 233. Ayat ini menegaskan bahwa seorang ayah wajib memberikan upah susuan kepada perempuan yang menyusuinya sampai dengan usia anak dua tahun. Ini dibebankan karena sang ayah berkewajiban memberikan nafkah kepada anak dan istrinya.

Sedangkan mengenai besar upah susuan, fiqh tidak mengaturnya secara rinci dalam bentuk angka atau prosentase. Ditentukan bahwa upah susuan yang harus diberikan adalah upah mitsil, yakni upah kepatutan-sosial yang pada umumnya diterima oleh perempuan lain ketika ia menyusui seorang bayi di tempat dan di mana upah itu diberikan. Keputusan tentang jumlah besar soal ini agaknya diserahkan pada keputusan masyarakat sendiri dengan mempertimbangkan keadilan social yang berlaku pada masanya dan saatnya. Tentu saja ukuran keadilan menurut satu masyarakat dengan masyarakat lain berbeda-beda, karena itu besar upah pun dapat berbeda-beda asalkan memenuhi rasa keadilan di antara pihak yang terlibat.




Waktu Penyapihan

Dalam tradisi kita, dikenal luas istilah “penyapihan anak”. Yakni, masa pemutusan atau pemberhentian penyusuan anak dari ibunya. Oleh masyarakat, cara ini dilakukan dengan berbagai bentuk. Di antaranya adalah dengan memisahkan [paksa] anak dari pergaulan ibunya sehari-hari, atau sang ibu memakan makanan yang membuat rasa air susunya tidak disukai oleh anak, sehingga sang anak tidak lagi mau menyusu. Ini dilakukan dengan berbagai motif. Di antaranya adalah karena memang sudah tiba saatnya anak untuk disapih, akibat ada masalah dengan payudara ibu, atau karena keengganan ibu untuk menyusui anaknya.

Berkaitan dengan kasus ini, al-Qur’ân tegas menyatakan bahwa batas waktu boleh menyapih sebaiknya adalah ketika anak telah berusia dua tahun. Batas waktu ini berkait dengan batas maksimum kesempurnaan menyusui. Karena itu, sifat batas waktu ini tidak imperatif [ghairu mulzimun bih], tetapi lebih sebagai keutamaan dan kesempurnaan. Apabila memang hendak disapih sebelum batas maksimum ini, maka sebaiknya dimusyawarahkan dan dipertimbangkan secara matang antara bapak dan ibunya. Musyawarah penting dilakukan untuk menjamin hak-hak anak dalam memperoleh kehidupan dan kesehatan yang layak, dan jangan sampai penyusuannya membuat kesengsaraan [madlarat] bapak maupun ibu anak itu. Ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233, surat Luqmân (31) ayat 14, dan surat al-Ahqâf (46) ayat 15. Padahal boleh jadi penyapihan ini, terutama apabila kurang dari dua tahun, bias berdampak negatif bagi anak. Oleh karena itu, ketentuan Allah di atas menjadi penting baik dalam konteks pemeliharaan hak-hak anak untuk memperoleh susuan maupun dalam konteks penghargaan hak-hak ibu untuk menikmati kesehatan dan kenyamanan dalam kehidupannya.

Atas dua pertimbangan ini, Allah memberikan keringanan [rukhshah] bias menyapih anak kurang dari usia dua tahun, asalkan telah dimusyawarahkan di antara bapak dan ibu. Sebab diakui dalam kenyataan kehidupan anak-anak ada di antara mereka yang sudah mampu memakan makanan yang keras [taghaddi] sebelum berusia dua tahun. Akan tetapi, dalam konteks ini diperlukan pertimbangan yang masak dan kehati-hatian yang tinggi dari orang tua. Karena merekalah yang paling menyayangi dan mengetahui rahasia anak. Orang tua dilarang melakukan hal-hal yang memadharat-kan anak. Demikian juga anak tidak boleh menjadi madlarat bagi kehidupan orang tuanya.

Menyusui: Hak Anak atau Kewajiban Ibu?

Dijelaskan oleh Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, dalam kitab tafsirnya, para ahli hokum Islam [Islamic jurists] bersepakat bahwa menyusui dalam pandangan syara’ hukumnya wajib bagi seorang ibu kandung. Kelak sang ibu dimintai pertanggunganjawab [almas’ûliyyah] di hadapan Allah atas kehidupan anaknya.[6] Oleh Wahbah az-Zuhaily diperjelas, kewajiban ini terkena baik bagi ibu yang masih menjadi istri dari bapak anak yang disusui [ar-radhî’] maupun istri yang sudah ditalak [al-muthallaqah] dalam masa ‘iddah.[7] Ibnu Abi Hatim dan Sa’id Ibn Zubair ketika membicarakan surat al- Baqarah [2] ayat 233 juga mengatakan hal yang sama bahwa laki-laki yang menceraikan istrinya dan memiliki seorang anak, maka ibu anak itulah yang lebih berhak untuk menyusukan anaknya.[8] Demikian juga Waliyullah ad-Dihlawy, dengan pertimbangan rasional menyatakan bahwa ibu adalah orang yang diberi otoritas untuk memelihara bayi dan lebih menyayangi anak.

Dari sejumlah pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa “menyusui” dianggap sebagai kewajiban syara’ yang harus dipenuhi oleh setiap perempuan (ibu kandung). Pendapat ini tentu mengagetkan karena dari sejumlah ayat al-Qur’ân yang berbicara tentang persusuan tak satu pun yang menunjukkan kewajiban ini. Karena itu, perlu klarifikasi tentang bentuk kewajiban itu: apakah itu kewajiban legal-formal normative ataukah kewajiban moral-kemanusiaan? Dan dalam posisi tersebut, apakah hakim bisa memaksa kaum ibu atau tidak untuk memenuhi kewajiban itu? Pada tataran ini, para ulama juga masih berbeda pendapat. Madzhab Malikiyah, misalnya, berpendapat bahwa hakim boleh memaksa sang ibu untuk menyusui anaknya. Akan tetapi, berdasarkan surat ath-Thalâq [65] ayat 6, terutama pada dictum [fa`in ardha’na la kum fa`tûhunna ujûrahunna], madzhab Malikiyyah bersikap bahwa hukum menyusui tidak wajib bagi sang ibu yang sudah ditalak bâ`in oleh sang suami.

Sementara jumhur ulama mempunyai pendapat lain, bahwa hakim tidak boleh memaksakannya, kecuali dalam kondisi dharûrat.[9] Dalam pandangan jumhur ulama, kewajiban menyusui anak bagi seorang ibu lebih merupakan kewajiban moral kemanusiaan [diyânatan] ketimbang legal-formal [qadhâ`an].[10] Maksudnya, kalau si ibu tidak mau melakukannya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak memaksanya untuk menyusui. Menurut mereka, surat al-Baqarah [2] ayat 233 adalah perintah anjuran [mandûb] bagi sang ibu untuk meyusui anaknya. Dengan kata lain, menyusui anak adalah hak bagi ibu, tetapi juga hak bagi anak untuk memperoleh susuan yang memadai. Kecuali kalau si anak tidak mau menerima air susu selain ibunya, atau si ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka baru menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya. Argumentasi bahwa menyusui adalah hak bagi ibu sekaligus juga hak bagi anak terdapat dalam surat ath-Thalâq [65] ayat 6: [wa in ta’âsartum fa saturdhi’û lahu ukhrâ].[11] Dalam ayat itu dinyatakan “jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya.”

Memperkuat pendapatnya, yang oleh ulama lain dijadikan landasan hokum wajib “menyusui”, jumhur ulama menafsiri ayat [yurdhi’na awlâdahunna], ke dalam dua pengertian yang berkaitan. Pertama, sebagian mereka menyatakan bahwa kendatipun kalimat tersebut berbentuk kalâm khabar, tetapi bermakna insyâ`. Artinya, meski ayat tersebut memiliki arti perintah, namun, kedua, arti perintah yang terkandung dalam kalimat tersebut tidak termasuk perintah wajib.[12] Dengan demikian, meskipun “menyusui” diperintahkan oleh Allah SWT, tetapi perintah itu menunjukkan pada dorongan moral kemanusiaan untuk menyelamatkan dan memberikan perlindungan kesehatan bagi sang anak.

Meski begitu, para ahli hukum Islam memberikan ketegasan lain. Mereka bersepakat bahwa pekerjaan menyusui bisa menjadi wajib bagi seorang ibu kandung secara pasti jika terjadi dalam tiga keadaan berikut. Pertama, jika si anak tidak mau menerima air susu selain air susu ibunya sendiri. Kewajiban ini tentu lebih untuk menyelamatkan kehidupan anak dari kerusakan jasmani maupun rohani. Kedua, jika tidak ditemukan perempuan lain yang bisa meyusui, maka wajib bagi ibu kandung untuk menyusui anaknya agar kehidupan dan kesehatan anak terjamin. Dan ketiga, jika tidak diketahui bapak anak itu, dan si anak itu tak memiliki biaya untuk membayar perempuan yang menyusuinya, maka ibu kandung wajib menyusuinya agar si anak tersebut tidak meninggal dunia.[13]

Ketegasan preferensial ini dikuatkan oleh pendapat ulama Syafi’iyyah. Menurut mereka, sang ibu kandung justru wajib memberikan air susunya kepada sang bayi, terutama, pada masa awal keluarnya dari rahim. Sebab, sang bayi yang baru lahir biasanya tidak bisa hidup tanpa air susu ibunya.[14]

Dari perbincangan para ulama di sini jelaslah bahwa tugas “menyusui” adalah tugas para ibu [kaum perempuan], karena secara biologis merekalah yang dapat mengalirkan air susu sebagai minuman atau makanan bagi para bayi [anak].[15] Namun, apakah tugas ini semata-mata tugas kemanusiaan yang didorong oleh kesadaran regenerasi umat manusia atau kewajiban legal-normatif kodrati selaku orang yang melahirkannya, ternyata para ulama bersilang pendapat. Dari kompilasi pendapat yang terlacak, ada benang merah yang bisa kita tarik atas perbedaan pandang ini. Kita bisa memahami bahwa meskipun dikatakan wajib syar’iy, tetapi kewajiban ini dalam kerangka moralitas kemanusiaan. Demikian juga kita bisa memahami, meskipun dinyat akan sebagai tugas kemanusiaan, tetapi mempertimbangkan kebutuhan dlarûry bagi sang anak untuk mempertahankan kehidupannya, tugas moral ini bisa menjadi kewajiban legal bagi perempuan [bukan ibu kandung]. Tetapi di atas semua itu, adalah suatu kebajikan yang patut dilakukan oleh kaum perempuan untuk menyusui seorang anak. Dan adalah pemaksaan yang tidak manusiawi jika ibu kandung serta merta dikenai kewajiban legal menyusui anaknya, tanpa ada keseimbangan kewajiban pertanggungan dengan sang bapak. Al-Qur’ân menjelaskan bahwa penyusuan tidak boleh menjadi sumber kesusahan bagi kedua orang tua. Asalkan suami isteri mempunyai keinginan yang sama dengan cukup tersedianya perbekalan (jaminan) untuk si ibu dalam menyusui, mereka bisa memungut perempuan lain untuk menyusui anaknya.

Mempertegas konteks hukum di atas, di manakah posisi anak dan bapak kandung dalam tugas penyusuan ini? Seperti telah disebutkan berkali-kali di muka, tidak ada makanan atau minuman yang tepat bagi seorang anak yang baru lahir selain air susu ibu. Dengan begitu, kebutuhan air susu ibu betul-betul mempertaruhkan kehidupan sang anak. Maka, adalah menjadi hak [asasi] bagi seorang anak untuk memperoleh air susu ibu secara memadai. Posisi ini haruslah disesuaikan dengan penempatan radhâ’ah pada konteks hak-hak anak dalam literatur fiqh. Sementara posisi bapak [suami]--yang secara biologis tidak mungkin bias “menyusui”--adalah memberikan perlindungan kepada keduanya (ibu dan anak), baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi, sehingga penyusuan ini dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan anak. Bapak [suami] secara ekonomi wajib memberikan nafkah baik kepada ibu [istrinya] maupun kepada anaknya.[16] Kepada anaknya, bapak mempunyai lima kewajiban nafkah, yaitu [1] upah susuan, [2] upah pemeliharaan, [3] nafkah kehidupan sehari-hari, [4] upah tempat pemeliharaan, dan [5] upah pembantu jika membutuhkannya.[17] Lima hal ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan kerja “menyusui” dan memelihara anak, termasuk kepada istrinya sendiri.


[1]Abdurrahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz IV, [Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1987], hlm.250-251.
[2] Ibid.
[3] Ulama Hanafiyyah mengajukan syarat bagi air susu ini. Bagi mereka, air susu harus berbentuk benda cair. Kalau yang disusukan itu sudah berbentuk benda padat, seperti keju dan sebagainya, tidak menyebabkan adanya hubungan kemahraman. Baca al-Jaziri, Ibid., Juz IV, hlm. 254.
[4] Ibn ar-Rusyd al-Qurthubiy al-Andulusiy, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, Juz I, [t.tp.: t.p., t.t.], hlm. 30. Baca juga Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, hlm. 92.
[5] Ibid., hlm. 700-701.

[6] Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsîr al-Marâghiy, Juz I, [Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabiy, t.t.], hlm. 185.
[7] Wahbah az-Zuhayli, Op. Cit., hlm. 698. Baca juga Muhammad Husain adz-Dzahabiy, asy-syarî’ah al-Islâmiyyah, [Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1968], hlm. 398. Bandingkan juga dengan Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Op. Cit., hlm. 185
[8] Jalaluddin as-Suyuthi, Op. Cit., hlm. 687.
[9] Menurut al-Hamawy, darurat merupakan limit akhir keterpaksaan yang jika tidak menerjang sesuatu meski dilarang ia terancam jiwanya. Baca Hâsyiyah al-Hamawy ‘alâ al-Asybah wa an-Nadhâ’ir li Ibn Nujaym, hlm. 108. Pendapat ini juga selaras dengan sebagian pendapat dari kalangan ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
[10] Muhammad Ali as-Shabuniy, at-Tibyân fiy ‘Ulûm al-Qur’ân, (Makkah: t.p., 1980), hlm. 1146.
[11] Wahbah az-Zuhayli, Op. Cit., hlm. 699. Baca juga Muhammad Ali as-Shabuniy, Rawâ`i al-Bayân: Tafsîr Ayât al-Ahkâm min al-Qur`ân, [Makkah al-Mukarramah: t.p., t.t.], hlm. 353.
[12] Sebagai perbandingan, asy-syarbiniy memasukkan tugas “menyusui” ke dalam pembahasan al-hadlânah [pengurusan dan pemeliharaan anak]. Di situ disebutkan, jika al-hâdlinah [orang yang mengurus dan memelihara] tidak mempunyai air susu atau tercegah untuk menyusui karena suatu sebab, maka ia tidak terkena keharusan hadlânah. Bahkan kata al-Bulqiniy meskipun mempunyai air susu tetapi ada halangan menyusui, juga tidak ada keharusan hadlânah. Baca Muhammad asysyarbiniy al-Khathib, al-Iqnâ’ fiy Hill Alfâdh Abî Syujâ’, Juz I, [Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.], hlm. 196.
[13] Muhammad Husain ad-Dzahabiy, asy-syarî’ah al-Islâmiyyah, [Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1968], hlm. 398.
[14] Wahbah az-Zuhayli, Op. Cit., Juz VII, hlm. 699.
[15] Ini berkaitan dengan sabab an-nuzûl ayat 233 Surat al-Baqarah [2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id bin Jubair, bahwa firman Allah “wal wâlidâtu yurdli’na awlâdahunna hawlayni kâmilayni” berkaitan dengan seorang laki-laki yang mentalak istrinya, sementara ia memiliki seorang anak dari istri tersebut. Dalam posisi ini, maka sang istri lebih berhak dengan anak tersebut karena ia menyusuinya. Jalal ad-Din as-Suyuthiy, Op. Cit, Juz I, hlm. 687.
[16]Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, Juz I [Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabiy, t.t.], hlm. 185
[17] Wahbah az-Zuhayli, Op. Cit., Juz VII, hlm. 704.




Sabtu, 20 November 2010

Memaafkan Itu Menyehatkan



Oleh : M. Iqbal Irham, M.Ag

Sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam The Archives of General Psychiatry menyebutkan bahwa orang yang mempunyai perasaan depresi, marah dan rasa permusuhan yang tinggi akan meningkatkan resiko serangan jantung. Demikian juga dengan kondisi panik yang dapat mempercepat terjadinya serangan stroke. Menurut Dr. Jordan Smoller, peneliti dari Rumah Sakit Umum Massachussets, Boston, kepanikan ini termasuk dalam daftar gangguan emosional dan gejala psikiatri yang memiliki hubungan erat dengan meningkatnya resiko penyakit kardiovaskular dan kematian. Seseorang yang mengalami kecemasan yang berlebihan akan menyebabkan jantungnya berdetak lebih kencang dan nafas tersengal-sengal, naik turun secara tidak beraturan juga beresiko tinggi mengalami stroke.
Dalam kondisi marah, terjadi pelepasan hormon stres, kebutuhan oksigen yang meningkat dan kekentalan yang bertambah dari keping-keping darah. Pada saat marah, detak jantung meningkat melebihi batas wajar dan menyebabkan menaiknya tekanan darah pada pembuluh nadi. Oleh karena itu, hal ini akan memperbesar kemungkinan terkena serangan penyakit jantung. Menurut Vibhuti N Singh MD. MPH. FACC. FSCAI, Direktur Divisi Penyakit Kardiovaskular Sekolah Kedokteran Universitas Florida Selatan, serangan jantung ini biasanya lebih rentan terjadi dan ditandai dengan rasa sakit atau tidak nyaman pada bagian dada, mulut, bahu, lengan atau punggung.

Adapun orang-orang yang memiliki sifat pemaaf, mereka mempunyai rem yang kuat untuk menekan tingkat kemarahan itu bahkan sampai pada titik terendah sekalipun sehingga jantungnya akan berdetak secara normal, tekanan darah baik dan nafasnya sangat teratur.
Memberi maaf berarti membebaskan diri dari rasa kebencian dan amarah yang bersarang di dalam hati. Sikap memaafkan seperti inilah yang disebut dengan kemaafan yang tulus, tanpa embel-embel. Sikap ini muncul dari landasan yang kokoh dalam iman yang kuat kepada Tuhan dan diawali dengan sebuah pemahaman yang utuh tentang kehidupan itu sendiri. Hidup adalah sebuah perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rintangan dan ujian adalah bagian yang tak terpisahkan dalam perjuangan. Oleh karenanya, perilaku yang tidak menyenangkan dari orang lain, sekecil apapun, adalah bagian dari ujian itu sendiri. Mereka yang memiliki kemaafan yang tulus, akan mendapatkan pelajaran berharga dari berbagai kesalahan yang diperbuat oleh orang lain, sambil tetap menunjukkan kelapangan dada dan sikap pengasih dan penyayang, mengikuti sifat-sifat Tuhan. Lebih dari itu mereka juga akan mampu memaafkan walau sebenarnya mereka benar dan orang lain salah.

Saat memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan yang besar dan kesalahan yang kecil. Seseorang dapat saja sangat menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi mereka tahu bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah dan berjalan sesuai takdir tertentu Karena itu mereka tetap berserah diri kepada-Nya sembari melewati peristiwa tersebut tanpa dibelenggu oleh kemarahan.
Menurut penelitian terakhir para ilmuan Amerika, mereka yang mampu memaafkan terbukti lebih sehat baik jiwa maupun raga. Mereka yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan menjadi jauh lebih berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti hati mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik tidak hanya batiniah namun juga jasmaniah. Gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stres (tekanan jiwa), susah tidur dan sakit perut berkurang secara drastis pada orang-orang ini.
Dr. Frederic Luskin dalam bukunya ‘Forgive for Good’, menjelaskan bahwa sifat pemaaf merupakan resep yang telah terbukti manjur bagi kesehatan dan kebahagiaan manusia. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri seseorang. Permasalahan tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu tubuh. Ketika Anda terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari seperti apa keadaan  normal itu. Hal ini akan menyebabkan semacam aliran adrenalin yang membuat orang terbiasa. Tubuh Anda akan ‘terbakar’ dan menjadikannya sulit berpikir jernih sehingga memperburuk keadaan.

Sebuah tulisan berjudul ‘Forgiveness’ yang diterbitkan oleh Healing Current Magazine edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau terhadap suatu peristiwa telah menimbulkan suatu emosi negatif pada diri seseorang. Emosi negatif ini berpotensi kuat untuk merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani seseorang. Mereka yang menyadari bahwa kemarahan ternyata telah mengganggu hubungan baik dengan keluarga dan masyarakat secara luas, kemudian berupaya memperbaiki kerusakan hubungan ini dengan cara meredam emosi negatif yang tak terkendali dengan baik. Mereka mengambil langkah-langkah untuk dapat memberikan kemaafan. Pada gilirannya, mereka kemudian tersadarkan bahwa mereka tidak ingin menghabiskan waktu-waktu yang sangat berharga dari kehidupan mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan diri mereka sendiri serta orang lain.
Semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain, meskipun terasa berat, akan terasa membahagiakan. Ini merupakan suatu bagian dari akhlak terpuji, yang menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan dan membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin. Telah dibuktikan secara ilmiah, dan telah disebutkan bahwa memaafkan adalah salah satu dari sekian banyak sumber kearifan yang dikandungnya.
Semoga kita menjadi orang-orang yang sehat lahir dan batin serta menjadi pribadi yang arif dengan sifat melapangkan dada selebar-selebarnya untuk memberikan kemaafan pada siapapun.




Jumat, 19 November 2010

Nikmatilah Perbedaan!

Ditulis oleh: Anne Ahira untuk Zakaria Hsb!

Perbedaan adalah anugrah dari
Yang Maha Kuasa!

Lihatlah sekeliling kita, indahnya
warna-warni bunga, warna-warni satwa,
dan segala keragaman lain yang
menghiasi dunia.

Bayangkan kalau kita hanya mengenal
warna hitam saja! Alangkah gelapnya
dunia ini! :-)

Tanpa adanya perbedaan dan warna-warni,
kita tidak akan merasakan hidup
semeriah dan seindah sekarang ini,
betul?! :-)

Begitu pun dengan kehidupan, setiap
insan selalu berhadapan dengan segala
macam perbedaan dan warna-warni
kehidupan.

Tapi sayang, tidak semua orang mampu
melihat perbedaan sebagai kekayaan.
Banyak orang merasa tersiksa karena
perbedaan alias mereka tidak mampu
menikmatinya.

Berbagai bentuk kejahatan dimulai hanya
karena perbedaan. Entah itu perbedaan
warna kulit, agama, suku bangsa,
prinsip, atau sekadar pendapat.

Sebenarnya, perbedaan bukanlah sesuatu
yang bisa dihindari. Setiap orang lahir
dengan perbedaan dan keunikannya
masing-masing. Mulai dari perbedaan
fisik, pola pikir, kesenangan, dan
lain-lain.

Tidaklah mungkin segala sesuatu hal sama.
Bahkan kesamaan pun sebenarnya tidak
selalu menguntungkan.

Coba bayangkan, seandainya semua orang
memiliki kemampuan memimpin, lantas
siapa yang mau dipimpin? Kalau semua
orang menjadi orang tua, siapa yang mau
jadi anak? Siapa juga yang akan
menerima sedekah, jika semua orang
ditakdirkan kaya?

Perbedaan ada bukan untuk dijadikan
alat perpecahan. Banyak hal positif
yang bisa kita peroleh dengan perbedaan.
Namun, tentu saja semua itu harus
bersyarat. Nah, syarat apa saja yang
harus dipenuhi?

Berikut di antaranya...
1. Cara pandang kita terhadap perbedaan.
    Berpikirlah positif dengan mensyukuri
    adanya perbedaan. Anggaplah perbedaan
    sebagai kekayaan. Cara pandang yang
    benar akan melahirkan sikap yang tepat.
    Ada baiknya kita mencari persamaan
    terlebih dahulu, sebelum mencari
    perbedaan.
2. Kelola perbedaan sebaik mungkin.
    Musyawarah untuk mencapai kesepakatan
    adalah jalan yang tepat untuk mengelola
    perbedaan.
    Berlatihlah utk menghargai, menerima,
    menjalankan dan bertanggungjawab
    terhadap keputusan bersama, meski
    berlawanan dengan ide awal kita.
3. Selalu posisikan segala sesuatu
    pada tempatnya.
    Saat bekerja sama dengan orang lain,
    salurkan potensi, karakter, minat yang
    berbeda-beda pada posisi 'yang tepat'.
    Cara ini akan mendorong tercapainya
    tujuan bersama dan mendukung
    pengembangan potensi masing-masing
    individu.
4. Jangan pernah meremehkan orang lain.
    Apapun dan bagaimana pun kondisi atau
    pendapat orang lain, perlakukan mereka
    selayaknya diri kita ingin diperlakukan.
    Anggaplah semua orang penting. Mereka
    memiliki peran tersendiri, yg bisa jadi
    tdk bisa digantikan oleh orang lain.
5. Jangan menonjolkan diri atau sombong.
    Merasa diri paling penting dan lebih
    baik daripada orang lain *tidak akan*
    menambah nilai lebih bagi kita. Toh
    kita tidak bisa hidup tanpa orang lain.
    Jadilah beton dalam bangunan. Meski
    tidak nampak, namun sesungguhnya ialah
    yang menjadi penyangga kokohnya sebuah
    bangunan. :-)
6. Cari sumber informasi yang terjamin
    kebenarannya.
    Perbedaan bisa muncul karena informasi
    yang salah. Oleh sebab itu, pastikan
    sumber informasi kita bisa terjamin dan
    dapat dipercaya kebenarannya. Lebih
    bagus lagi jika disertai bukti yang
    mendukung.
7. Koreksi diri sendiri sebelum
    menyalahkan orang lain.
    Menyalahkan orang lain terus menerus
    tidak akan banyak membantu kita. Bisa
    jadi kesalahan sebenarnya terletak pada
    diri kita. Karenanya, koreksi diri
    sendiri terlebih dahulu merupakan
    langkah yang paling bijaksana.
So, berhentilah menyesalkan perbedaan.
Karena jika tidak, Zakaria Hsb akan
kehilangan sumber kebahagiaan! :-)
Sukses selalu untuk Zakaria Hsb!
Sampai ketemu minggu depan! :-)
*********** Resource Box ****************
Belajar Bisnis bersama Anne Ahira:
Download 5 Video Training pertama
Gratis di member area!
Kunjungi: http://www.AsianBrain.com  klik!

Rabu, 17 November 2010

Westernisasi dan Rekontruksi Islam

Pada awal abad 19 kekhalifahan islam yang telah terkonsep dan tersusun rapih berabad-abad silam berubah menjadi bentuk republik islam, organisasi dan kelompok oposisi ilegal serta gerakan-gerakan islam, mulai dari mesir sampai Pakistan, yang ikut terlibat dalam aktivisme sosial dan politik, serta berpartisipasi dalam kelangsungan negara dan masyarakat islam majmuk.,

Dunia mengklaim terhadap bentuk negara islam seperti arab Saudi dan iran sebagi negara pembentuk dan penggodok teroris yang selama ini menghantui keamanan internasional. Padahal yang selama ini menjadi realita adalah mereka yang berteriak teroris adalah teroris yang sebenarnya dan masyarakat dunia hendaknya mengetahui hal ini.

Sebagai generasi muslim kita telah maklum bahwa masyarakat dunia bukan masyarakat yang bodoh dan mudah untuk dikendalikan. Moncong senapan api belaras panjang milik musuh-musuh islam sudah siap dihadapan kita untuk memuntahkan peluru apinya. Umat islam dipalestina misalnya, mereka tak bisa berkutik untuk melawan dan hanya pasrah kepada sang ilahi yang membuat mereka bertahan hidup sampai sekarang.

Kita tidak usah berpanjang lebar membicarakan itu. Karena yang paling penting adalah bagaimana masyarakat muslim bersama-sama melawan pengaruh-pengaruh kesesatan westernisasi yang telah ditanamkan kaum barat selama ini. Karena fakta yang ada adalah generasi muslim kurang bisa memilah mana yang bisa dimanfaatkan dari westernisasi yang telah ada untuk kemajuan islam dan mana yang haru dicampakkan, serta kebayakan dari mereka lebih terpengaruh dengan system a moril barat yang cenderung merugikan dab menyesatkan.

Sebuah tugas besar bagi muslim dunia untuk mengembalikan ajaran islam yang sebenarnya dan menata hidup kita sebenarnya, seperti yang termaktub dalam alkitab dan asssunah. Akan tetapi apakah kekhalifahan islam yang telah roboh akibat imperalis barat dulu akan berdiri kembali ataukah islam bangkit dengan wajah baru?. Pertanyaan seperti ini yang harus kita perhitungkan bagi generasi muslim karena yang telah kita maklumi bahwa imperalis barat dan westernissasi yang selama ini telah menggerogoti islam majmuk tak bisa dielakkan lagi dan sekarang telah merayap melalui aliran darah setiap muslim dipenjuru dunia.

Yang harus kita garis bawahi adalah kita jangan terlalu terbawa dengan emosional untuk segera merealisasikan hal tersebut, toh penegakan syariat islam tak harus dengan geraka-gerakan yang faktatif. Karena yang perlu kita tekankan bagaimana islam berjalan dari berbagai aspeknya baik itu dalam politik, sosial dan kemasyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi (islam kaffah) tanpa adanya system kekhalifahan atau yang telah kita miliki dahulu.

Dikawasan timur tengah, misalnya Saudi Arabia dan iran yang mengaku negaranya berbentuk atas dasar islam akan tetapi dari berbagai aspek mereka kecolongan dengan negara-negara yang berasaskan sekuler seperti mesir. Arab Saudi yang selama ini diklaim sebagai satu-satunya negara islam yang berlandaskan atas islam kaffah ternyata moral masyrakatnya dekat sekali dengan kata mengecewakan dan mempermalukan islam sendiri.

Seperti yang telah disampaikan tadi bahwa mesir satu contoh kongkrit wujud penerapan islam kaffah. Masyarkat yang majmuk, yang terdiri dari berbagi golongan, ras, suku dan budaya serta agama mampu menjaga hubungan harmonis antara masyarakat satu dengan yang lain bahkan rasa saling menghargai dan menghormatinya terjaga rapih. Padahal dibandingkan dengan negara-negara timur tengah yang lain mesir mempunyai beban peradaban yang berat karena berbagi transisi kebudayan dan agama terjadi disini. Peradaban romawi kemudian kekhalifahan islam dan akhirnya kekhalifahn islam roboh, kemudian digantikan imperalis dan westernisasi yang ujungnya menjadi negara yang berfaham sekuler. Dengan berbagi timpang tindih peradaban seperti itu ternyata mesir bukanlah negara yang rapuh, negara yang mudah terpengaruh dengan kebudayaan-kebudayaan baru yang silih berganti, akan tetapi mesir telah menjadi negara yang mampu menyelaraskan ketimpangan-ketimpangan yang ada, malahan Mesir sendiri mampu mengambil beberapa hal penting yang terjadi pada ketimpangan-ketimpangan yang ada. Westernisasi progresif dan sekulerisasi masyarakat yang telah diterapkan mampu memberikan hal yang lebih dalam kemajuan negara ini dan tanpa mengurangi pemberlakuan syariat yang ada.

Tidak hanya mesir yang melakukan hal seperti ini, meskipun arab Saudi muncul sebagai negara islam dan memproklamsikan dirinya sendiri, mayoritas negara muslim berusaha membangun negara modern dengan paradigma barat yang diperlunak dengan undang-undang ad hoc, seperti pesyaratan bahwa kepala negara harus seorang muslim atau penetapan syariat(hukum islam) sebagai sumber hukum, terlepas dari apakah hukum tersebut sesuai.

Namun demikian tak berlangsung lama, wajah luar yang ditampilkan negara-negara tersebut mulai retak. Six days war antara Arab-israel pada tahun 1967 memperlihatkan kekalahan telak gabungan pasukan Arab dengan Israel dan hilangnya beberapa kota penting di Palestiana bahkan Yerusalem yang sebagai kota suci ketiga islam pun jatuh ketangan kaum Yahudi atau perang sasudara Pakistan dan Bangladesh yang sama-sama negara muslim membuat nasionalisme muslim terpecah belah.

Dengan kejadian-kejadian yang ada dunia islam, pihak-pihak yang merasa kecewa mulai mengkaji ulang tentang nasib mereka kedepan. Mengapa masyarakat dan negara muslim yang baru merdeka mandul, otoritan, miskin, buta huruf dan korup? Mengapa, terlepasa dari sekutu dan model pembangunan barat yang mereka terapkan masih membuat lemah dan rapuh?.

Pemikiran-pemikiran seperti ini yang harus ditiadakan dari dunia islam. Melihat hal ini, mereka kaum barat akan berbangga ria dengan westernisasi yang mereka lakukan selama ini. Melihat kaum muslim hancur, rapuh dan patah semangat serta hanya bisa meratapi kegagalannya tanpa ada gebrakan baru yang membuat mereka bangkit dari kesemua itu. Apalagi gerakan westernisasi yang secara mendasar telah melakukan upaya pengubahan berbagai pemahaman islam didunia, memisahkan antara umat islam dari sejarah masa lampau dan kejayaan mereka, dan usaha untuk melenyapkan sisa-siasa kejayaan islam juga disertai dengan penanaman keraguan-keraguan, menyebarkan syubhat seputar masalah agama, bahasa, sejarah, alam pemikiran, pemahaman secara menyeluruh bisa dikatakan sebagai kesuksesan besar bagi mereka dan hal ini merupakan bencana besar bagi umat islam dunia.

Ada sebuah catatan kecil yang ditulis oleh seorang kristiani tua yaitu raja prancis, lois kesembilan saat dipenjara di al-Manshuroh setelah kekalahan bala tentaranya pada perang salib kedua, catatan itu berisi tentang sikap terhadap dunia islam usai perang salib. Lois kesembilan itu dalam catatannya menyinggung bahwa satu-satunya jalan menguasai kaum muslimin bukanlah melalui perang dengan power. Sebabnya adalah muslim punya perangkat jihad fi sabilillah. Perang melawan muslim harus dimulai dengan merusak akidah mereka yang sudah berurat akar dan segera dipisahkan antara akidah dan syariat.

Dari perhelatan panjang yang telah penulis sampaikan tadi dapat dipetik beberapa hal yan seharusnya kita umat muslim menyadari bahwa yang telah kita alami dalam beberapa kurun terakhir ini adalah hasil dari target agung mereka untuk merobohkan islam dan perlu digaris bawahi juga mereka mengorek akidah dan syariat kita dengan diam-diam dan kita tak pernah menyadari hal itu. Apakah kita akan diam menghadapi kenyataan yang ada dan bagaimanakah kita menyikapinya?.

Secara garis besar kita telah kecolongan, namun kini saatnya bagi kita memutar balikan fakta yang ada. Kita tak akan lagi menjadi konsumen produk-produk kesesatan westernisai tapi kita akan memproduksi hasil produksi westernisasi tersebut menjadi hal lain yang tentunya menjadi sebuah produk yang diselaraskan dengan akidah dan syariat islam didalamnya yang nantinya produk tersebut akan kita hadiahkan kepada umat muslimin dunia untuk meghidupkan kembali akidah dan syariat islam yang hampir terkubur oleh waktu dan peradaban barat.

Dengan kondisi peradaban seperti ini tentunya kita harus mempunyai good strategy untuk merealisasikan islam yang sesungguhnya agar akidah dan syariat islam bisa ditegakkan walaupun tanpa mengubah system pemerintahan dunia yang telah ada. Kita tidak usah berpusing ria untuk mengrekonruksi ulang kekhalifahan islam yang telah tiada akan tetapi, merekontruksi islam sesungguhnya dalam setiap muslimlah yang harus kita hidupkan.